Fantacy Leap Anak-Anak Sumur Kroban Tsunami

| dilihat 1227

Catatan Bang Sém

Anak-anak Sumur. Begitu mereka dipanggil. Padahal, yang dimaksudkan adalah anak-anak dari Kecamatan Sumur. Anak-anak yang sejak tsunami menghempas Banten Selatan, ketika Anak Gunung Krakatoa longsor akibat terjadi erupsi dinihari, Sabtu (12/12/18), menjadi korban.

Anak-anak ini tinggal jauh, beberapa kilometer di luar Tanjung Lesung - yang namanya populer sejak dekade 80-an, kala dijadikan sebagai sentra wisata, dan kini disiapkan sebagai kawasan ekonomi khusus.

Ketimpangan antar wilayah Sumur dengan Tanjung Lesung, pun nampak menyolok mata. Kedua wilayah itu, bagai dipisahkan oleh kawasan konservasi Ujung Kulon, tempat Badak Jawa masih bertahan.

Kecamatan Sumur terdiri dari 7 (tujuh) desa. Masing-masing: Ujung Jaya, Taman Jaya, Cigorondong, Tunggal Jaya, Kerta Mukti, Kerta Jaya, dan Sumber Jaya. Kecuali desa Cigorondong, nama-nama desa di Kecamatan Sumur, adalah formulasi fantasi - setidaknya idealistic frame - menjadi kerta mukti - kawasan yang yang makmur, dan jaya.

Sejak kepemimpinan Bupati Karna Suwanda (1968 - 1980) sampai Bupati Irna Narulita (isteri Bupati Achmad Dimyatie Natakusumah yang biasa dipanggil Endeh, mantan Sekjend Partai Persatuan Pembangunan) kini, desa-desa di Kecamatan Sumur, perkembangannya relatif lamban.

Di era Bupati Suyaman (1980-1990) pernah muncul gagasan menjadi daerah paling ujung barat Kabupaten Pandeglang - sekaligus paling ujung barat Pulau Jawa, itu sebagai kawasan wisata alam di samudera Indonesia, karena mempunyai pantai indah, pulau Panaitan, dan beberapa pulau kecil - termasuk Pulau Umang yang molek. Tapi, belum kesampaian, kendati di berbagai spot sudah bergerak ke arah itu.

Pada masa Bupati Muhammad Zein dan Yitno, itulah KH Muhammad Nawawi yang lebih dikenal sebagai Buya Otong Nawawi mengambil inisiatif mengembangkan pendidikan islam. Meski pesantren dan kediaman beliau di Ciandur - Saketi, Buya Otong Nawawi menyempatkan diri tinggal di Sumur.

Pada masa Bupati Suyaman, sekali sekala saya datang berkunjung, mengemban amanah orang tua nyatroni saudara yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Bupati murah senyum yang banyak gagasan, itu bisa menghabiskan waktu cukup lama pada malam hari untuk diskusi dengan saya dan kawan-kawan tentang pengembangan daerah itu. Termasuk mengambil inisiatif perencanaan daerah dengan pendekatan tradisi dan budaya. Pada masa penghujung masa Yitno ini, saya hampir dua pekan sekali diundang Buya Otong Nawawi datang ke Sumur.

Beberapa kali, guru mursyid thariqah yang memusatkan perhatian pada aktualisasi sifat rahman dan rahim, ini mempertemukan saya dengan beberapa muridnya, para kyai dari seluruh Kecamatan Sumur. Lantas, memberikan saya kesempatan berbagi pengetahuan. Buya menyebut saya, "Kyai Gondrong."

Saya faham betul bagaimana wilayah itu, bagaimana babak belurnya infrastruktur pedesaan di beberapa ruas yang menghubungkan beberapa desa, termasuk infrastruktur jalan dan jembatan yang mestinya masuk kategori jalan kelas kabupaten atau provinsi, karena potensi alamnya memang memungkinkan untuk dikembangkan. Tak hanya dari sisi perkebunan dan industri asas tani, serta kelautan. Ruas jalan beberapa desa memang sudah dipenetrasi dengan pembetonan, seperti pernah dilakukan di ruas Saketi - Malingping.

Beberapa kali penelitian dilakukan di wilayah, yang diyakini sebagai tempat terbaik persemaian bayi Tuna, yang kala berusia 'remaja' bergerak hingga ke Chrismast Island, dan kala 'dewasa' bergerak hingga perairan Banda. Karenanya, jangan heran, bila di Taman Jaya dan beberapa desa lain, bermukim para pelaut pemberani dari Sulawesi (Bone dan Bulukumba).

Kala tsunami menghempas Banten Selatan, Kecamatan Sumur yang berpenduduk 23.996 jiwa itu, termasuk yang terparah. Bantuan datang terlambat, karena akses yang berat, dan memerlukan nyali tersendiri untuk sampai di sana. Survey kependudukan tahun 2016 menyajikan data, jumlah anak-anak Sumur, masing-masing 2.768 jiwa (anak usia balita 0-4 tahun), 2.810 jiwa (anak usia 5-9 tahun), dan 2,340 jiwa (anak usia 10-14 tahun).

Bagi saya, Anak-anak Sumur adalah potret kemiskinan yang mengalami persoalan sosial (inner problem) yang tersembunyi, seperti diisyaratkan dalam rumpaka (kawung mabur carulukna), nira yang kehilangan bibit unggulnya, lantaran gizi buruk dan kompleksitas masalah sejenisnya.

Ironisnya, prosentase matapencaharian penduduk di kecamatan ini adalah perdagangan, hotel dan resto. Masing-masing: Ujung Jaya (150 orang), Taman Jaya (135 orang), Cigorondong (151 orang), Tunggal Jaya (157 orang), Kerta Mukti (137 orang), Kerta Jaya (430 orang), dan Sumber Jaya (640 orang). Memang banyak vila dan penginapan, sejak dari Ciputih. Tapi dengan ruas jalan yang masih 'kubangan munding' bagaimana hendak memajukan wisata, kendati Tanjung Lesung kelak berkembang menjadi KEK.

Terbayanglah anak-anak Sumur yang sekaligus korban tsunami. Anak-anak yang secara alamiah boleh jadi terbiasa dengan derita, tetapi tak bisa dibiarkan terhimpit depresi dan stress, dengan asupan pangan ala kadar. Bagaimana juga mereka adalah insan berjiwa yang mesti dimotivasi agar punya impian. Setidaknya, impian keluar dari kemiskinan, impian dari problematika sosial yang agaknya terpelihara karena pembiaran. Dan, biasanyta hanya disatroni jelang Pemilihan Umum.

Saya terkejut ketika Koordinator Presidium Majelis Nasional FORHATI (Forum Alumni HMI-wati) bersama PT Pembangunan Jaya Ancol menggagas dan merancang melakukan aksi corporate community responsibility (CCR), dengan menggabungkan dua format sekaligus. Kedua lembaga ini menggelar aksi bertajuk, "Menjemput Impian Bersama."

Pertama, Melakukan training of trainer untuk guru yang akan memotivasi skill (paduan harmoni think, instink, sense, dan feel) via origami di lokasi. Muaranya akan luar biasa, memotivasi guru memelihara proses tumbuh kembang anak 'capetang jeung ngopepang' - terampil secara alamiah - yang sekaligus akan menghidupkan idea kreatif dan fantasi anak usia 0 - 8 tahun.

Kedua, Memfasilitasi 100 anak-anak sumur korban tsunami berkunjung ke Dunia Fantasi - Taman Impian Jaya Anco, sebagai bagian dari proses récupération intérieure - setara pemulihan batin, tak sekadar dalam bentuk aksi trauma healing. Karena menitikberatkan sisi psikososial dan paedagogis.

Saya hormat dengan metode aksi corporate (and institute) community responsibilities yang terjebak dalam format community development fisikal yang umum. Terutama untuk anak-anak dari lingkungan sosial yang kerap mengalami dutch desease - penyakit walanda, yang banyak diderita anak-anak jajahan dari negeri yang kaya raya sumber daya alamnya, tetapi terbiarkan miskin persisten.

100 anak-anak yang diundang khas menikmati aneka wahana di dunia fantasi dengan 'titian edukasi,' melengkapi mimpi mereka tentang wahana sukacita tak hanya kereta-keretaan atau sejenisnya. Kegiatan ini, saya sebut, "fantacy leap" bagi Anak-Anak Sumur, korban tsunami Pandeglang - Banten.

Direktur Utama Ancol, C. Paul Tehusijarana, Selasa (26/2/19), ketika menyambut anak-anak Sumur yang bersukacita, itu mengatakan, "Kami bersama Forhati mengajak anak-anak dari Kampung Sumur untuk berkreasi di Ancol supaya bisa menghilangkan trauma. Anak-anak berkreasi di Clubhouse Allianz Ecopark, dan kemudian menikmati wahana di Dunia Fantasi - Ancol."

Anak-anak Sumur yang terdiri dari siswa kelas 3 – 6 SD yang didampingi oleh Guru SD Taman Jaya Kampung Sumur. Mereka diajak ke Dunia Fantasi Ancol untuk menikmati seluruh permainan dan wahana yang ada di kawasan rekreasi.

"Hari ini, anak-anak kita ini akan terhibur dengan wahana seru dan menyenangkan. Kami harap kegiatan hari ini bisa menghibur serta menambah wawasan dan juga membantu anak-anak dalam memulihkan kondisi psikologisnya," ucap Paul.

Hanifah Husein, Koordinator Presidium MN FORHATI menyatakan, "Dengan pendekatan dan cara semacam ini, kita kombinasikan psychosocial approach, trauma healing, dan  exploration of happiness secara terintegrasi. Ini bagian dari program ketahanan keluarga kita."

Jumrana Salikki, Sekretaris Jenderal MN Forhati, "Kita juga menggunakan cara cepat perubahan perilaku dengan menanamkan akhlak kariimah dan dimensi religi dalam interaksi sosial."

Sasarannya, ungkap Hanifah, anak-anak yang tak hanya bebas dari trauma bencana dan selalu siap menghadapi fenomena alam dan kehidupan. Pun, berketerampilan dalam mengelola potensi dirinya. "Kami ingin anak-anak kita ini punya mimpi dan kerangka idealistik, gaya hidup lestari, dan kelak menjadi para pemberani menghadapi tantangan kehidupan."

Hanifah berterima kasih dengan PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk yang telah bermitra untuk kedua kalinya. Sebelumnya kedua lembaga ini bekerjasama 'memakmurkan' musalla di Kepulauan Seribu.

Di mata saya, kedua lembaga ini, telah menawarkan pola 'pengabdian masyarakat' yang kontekstual. Anak-anak Sumur, dari pantai selatan ke pantai utara, merekam dalam benak mereka, bagaimana pantai mesti dikelola secara kreatif. Heugh !! |

Editor : Web Administrator | Sumber : berbagai sumber dan dokumentasi
 
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 521
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1044
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 263
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 737
Momentum Cinta
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 236
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 459
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 450
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 418
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya