Derita Anak-anak Suriah

| dilihat 2409

TALBISEH, AKARPADINEWS.COM | AYA, tak henti-hentinya menangis. Dia begitu takut dengan peristiwa yang dialaminya. "Oh... ayah...., ayah..... Saya ingin ayah," katanya sambil menangis. Kondisi bocah perempuan berusia delapan tahun itu memprihatinkan. Rambutnya dan tubuhnya ditutupi debu. Darah pun mengalir di wajahnya.

Dalam sebuah kamera yang direkam, seorang pria bertanya pada Aya yang saat itu tengah ditangani petugas medis. "Di mana kamu ketika hal ini terjadi?" "Di rumah, tetapi atap jatuh (menimpa) kami," Aya menjawab sambil terus-terusan menangis.

Aya adalah salah satu korban yang terluka akibat serangan udara yang menghujam Talbiseh, kota di bagian barat laut Suriah, sekitar 10 kilometer sebelah utara Homs. Aktivis kemanusian menyebut, sedikitnya dua orang tewas dan 30 terluka dalam tiga kali serangan udara pada Senin (10/10) lalu yang menargetkan pemukiman warga di kota itu.

Wajah Aya yang terekam di video dan foto, menjadi viral yang menghiasi media sosial. Kelompok aktivis pro-oposisi, Talbiseh Media Center yang menyebarkan kondisi dilematis yang dialami Aya di media sosial. Beruntung, Aya selamat. Dia kini mendapatkan perawatan medis. Staf rumah sakit dan para relawan telah membersihkan tubuhnya. Aya pun berusaha ditenangkan. Namun, dia terus menangis.

Aya diselamatkan relawan saat tertimpa reruntuhan rumahnya yang hancur akibat serangan udara. Ayah, ibu, dan tiga saudara kandung Aya pun mengalami luka. Mereka kini bersatu kembali. Namun, mereka harus mencari tempat tinggal yang layak setelah rumahnya hancur.

Aktivis memposting gambar Aya dengan kondisi yang berbeda di Facebook. Salah satu foto menunjukkan, Aya sedang berada sekolahnya di Talbiseh, sehari sebelum serangan mengerikan itu. Sementara foto kedua, menunjukan kondisi tragis Aya saat akan mendapat perawatan medis setelah serangan mengerikan itu. Aktivis lalu menulis komentar bernada sarkastis di Facebook. "Pesawat-pesawat tempur mengacaukan rambut indahnya dan wajahnya yang berwarna merah."

Bukan kali pertama foto-foto anak-anak yang menjadi korban peperangan di Suriah disebarkan para aktivis kemanusiaan. Sebelumnya, khalayak merasa pilu saat melihat foto bocah bernama Omran Daqneesh menjadi sorotan dunia. Omran menjadi viral utama di media sosial sebagai korban pengeboman jet-jet tempur militer pro Bashar al-Assad yang membombardir Qaterji, Aleppo.

Kondisi tragis Omran direkam Mahmoud Raslan, fotografer perang, yang kemudian dipublikasikan oleh Aleppo Media Centre, pada 22 Agustus lalu. Rekaman video yang disiarkan CNN dengan judul Crisis In Syria. A Boy, A Bomb & The Horrors Of War & Survival, sungguh menggambarkan momen yang mengharukan ketika Omran dievakuasi.

Di antara gaduhnya suasana penyelamatan, seorang lelaki dewasa menggendong Omran, lalu mendudukkan bocah lugu itu di sebuah kursi di dalam mobil ambulans. Awalnya, bocah itu terlihat kebingungan. Sekujur tubuhnya dipenuhi debu. Sebelah matanya terluka dan keningnya berlumuran darah yang nyaris menutup matanya yang tertutup debu.

Wajah Omran tanpa ekspresi. Dan, yang mengharukan tatkala Omran mengusap debu di wajahnya, lalu tanpa sadar melihat darah di tangannya. Dalam kondisi tragis, Omran tetap tegar dan tak bergeming. Dia hanya mengusapkan darah itu berkali-kali ke kursi yang didudukinya. Momen inilah yang menyayat hati penonton jika menyaksikannya. Sampai-sampai, presenter CNN Amerika Serikat, Kate Bolduan yang melaporkan peristiwa itu tak kuasa menahan tangis. Bolduan pun terlihat beberapa kali mengatur emosinya saat menyiarkan berita mengharukan tersebut.

Raslan pun tak kuasa menahan tangis saat mengabadikan momen itu. Melalui fotonya, Raslan ingin mengatakan pada dunia, untuk menghentikan peperangan yang telah menelan banyak korban, khususnya anak-anak.  "Saya ingin dunia melihat fakta ini," tuturnya.

Omran adalah salah satu bocah dari lima anak yang terluka akibat serangan udara pada Rabu (17/8) malam. Lewat video dan foto mengharukan itu, Omran menjadi perhatian dunia. Kondisi tragis yang dialami Omran mewakili kondisi korban perang Suriah dan kekejaman rezim Assad yang sudah berlangsung lebih lima tahun. Aleppo benar-benar seperti neraka bagi penghuninya. Setelah berhasil dikuasai mujahidin, kota itu kembali dibombardir oleh jet-jet tempur militer rezim Bashar al-Assad.

Kisah Aylan Kurdi, awal September 2015 juga sangat menyayat hati. Bocah berusia tiga tahun ditemukan tewas di pantai Turki itu setelah kapal yang mengangkut 23 pengungsi tenggelam di perairan Aegea. Aylan bersama kakaknya yang berusia lima tahun dan ibunya, menjemput maut di tengah laut.

Duka Aylan menjelma menjadi duka dunia tatkala seorang fotografer asal Turki, Nilufer Demir, mengabadikan peristiwa penemuan jasad Aylan oleh seorang petugas pantai Akyarlar, Turki.  Jasad kaku Aylan ditemukan tergeletak di pantai, dengan masih berpakaian lengkap. Bocah itu memakai baju berwarna merah, bercelana pendek jins, dan bersepatu.

Abdullah Al-Kurdi, ayah Aylan, mengatakan, kapal oleng karena diterpa ombak besar. Sang kapten pun terlihat panik. Dia pun terpaksa mengambil alih kemudi sehingga meninggalkan isteri dan kedua anaknya itu. Kapal yang berukuran kecil itu sebenarnya tidak akan mampu mengarungi Laut Mediteriania hingga Laut Aegea lantaran gelombangnya yang begitu besar. Namun, mereka terpaksa mengarungi Mediterania yang menjadi jalur utama menuju Eropa lantaran tidak ingin menjadi korban peperangan di negaranya. Mereka terpaksa melalui Mediterania yang merupakan jalur mematikan bagi para pengungsi yang umumnya berasal dari daerah konflik di timur tengah dan Afrika.

Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang menangani Pengungsi (UNHCR) mencatat, di tahun 2015, jumlah pengungsi yang melintasi Mediterania selama enam bulan terakhir mencapai 137 ribu jiwa. Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan tahun 2014, yang mencapai 75 ribu jiwa. Sementara organisasi yang menangani pengungsi dari Jenewa merilis jumlah pengungsi yang melalui perairan itu sudah mencapai 250 ribu orang.

Lebih dari 2.000 jiwa yang meninggal dunia sepanjang tahun ini lantaran nekat berlabuh dengan kapal berukuran kecil. Selain Italia, otoritas Yunani juga kelimpungan mengatasi lonjakan pengungsi yang datang dari jalur Mediterania.

Tragedi yang menimpa Aylan dan pengungsi lainnya mengggugah hati masyarakat dunia. Ilustator dunia, Murat Sayin, mempersembahkan sebuah lukisan untuk Aylan. Melalui akun Facebook-nya, Sayin melukiskan Aylan tengah berbaring di pinggir pantai, ditemani sebuah perahu kertas di dekatnya.

Sayin juga menuliskan dukanya dalam cuitannya tersebut dan menyayangkan Aylan menjadi korban perang yang gagal mencari tempat untuk berlindung. “Melihat seorang anak meninggal dengan posisi seperti itu di pantai negara tempat tujuannya mencari perlindungan dan masa depan. Aku melihat seorang anak yang berjuang lari dari perang dan mati sehingga tidak dapat merengkuh perahu kertasnya (masa depan),” ujarnya.

Di Indonesia, seorang komikus, Sheila Rooswitha Putri, memaparkan ilustrasinya untuk dipersembahkan kepada Aylan. Dalam akun Fanpage Facebook-nya, Sheila mengajak pengikutnya untuk mendoakan Aylan. “Kita doakan saja yuk, semoga pemimpin dunia terbuka hatinya untuk memerhatikan para pengungsi,” ujarnya dalam akunnya.

UNICEF memperkirakan, 1 dari tiga anak-anak Suriah yang jumlahnya mencapai 3,7 juta jiwa lahir sejak konflik terjadi lima tahun lalu. Kehidupan mereka dibentuk oleh kekerasan, ketakutan, dan migrasi. Jumlah tersebut termasuk 306.000 anak Suriah yang lahir di tempat-tempat pengungsian sejak tahun 2011.

Totalnya, UNICEF memperkirakan, dari 8,4 juta anak, lebih dari 80 persennya terkena dampak konflik, baik di dalam negeri maupun saat tinggal di pengungsian, di negara tetangga Suriah.

"Di Suriah, kekerasan telah menjadi biasa, di rumah, sekolah, rumah sakit, klinik, taman, taman bermain, dan tempat-tempat ibadah," kata Peter Salama, Direktur Regional UNICEF untuk Timur Tengah dan Afrika Utara. Di Suriah, Peter menegaskan, tidak ada tempat yang layak untuk anak-anak. "Hampir tujuh juta anak hidup dalam kemiskinan, merugikan masa kecil mereka."

Di tahun 2015, UNICEF mencatat, hampir 1.500 pelanggaran berat dialami anak-anak. Lebih dari 60 persennya adalah pembunuhan dan melukai anak-anak akibat senjata dan peledak yang digunakan dalam peperangan di kawasan penduduk. Lebih dari sepertiga anak-anak yang tewas saat berada di sekolah maupun saat menuju atau dari sekolah.

Di negara-negara tetangga Suriah, jumlah pengungsi hampir 10 kali lebih tinggi dibandingkan tahun 2012. Setengah dari jumlah pengungsi itu adalah anak-anak. UNICEF mencatat, lebih dari 15.000 anak-anak Suriah tidak mendapatkan pendamping dan dipisahkan orang tuanya setelah menyeberangi perbatasan Suriah.

Selama lima tahun perang di Suriah, jutaan anak-anak tumbuh terlalu cepat menjadi seorang yang dewasa. Mereka pun terlibat dalam peperangan, terpaksa harus putus sekolah, dan banyak yang dipaksa menjadi buruh. Sementara anak-anak perempuan dipaksa untuk menikah dini.

Di kala awal konflik bersenjata meletus, sebagian besar anak-anak itu direkrut oleh angkatan bersenjata. Anak-anak remaja yang berusia 15-17 tahun digunakan untuk berperang di lini depan. Dan, ketika perang makin mengerikan, di tahun 2014, semua pihak yang terlibat konflik merekrut anak-anak di usia yang jauh lebih muda, tanpa izin orang tuanya. Lebih dari setengah jumlah anak-anak yang diverifikasi UNICEF tahun 2015, usianya di bawah 15 tahun.

Mereka mendapatkan pelatihan militer dan berpartisipasi dalam pertempuran. Ada juga yang berpartisipasi sebagai penjaga senjata, pos pemeriksaan, merawat dan mengevakuasi korban luka akibat peperangan. Pihak yang terlibat konflik juga menggunakan anak-anak untuk menjadi pembunuh, termasuk sebagai algojo dan penembak jitu.

UNICEF juga memaparkan kondisi memprihatinkan terkait aktivitas pendidikan anak-anak Suriah. Diperkirakan, lebih dari 2,1 juta anak-anak di Suriah dan 700 ribu anak-anak di pengungsian, tidak sekolah. Kondisi ini bila dibiarkan akan menyebabkan hilangnya satu generasi (lost generation). Meski demikian, Salama mengingatkan, saat ini kondisinya belum terlambat bagi anak-anak Suriah untuk kembali bersekolah. "Mereka memiliki harapan untuk kehidupan yang bermartabat. Mereka masih menghargai impian perdamaian," katanya. | M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : CNN/Independent/Reuters
 
Energi & Tambang
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 823
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1089
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1342
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1483
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya