Cinta itu....

| dilihat 2247

AKARPADINEWS.COM | CINTA adalah sebuah perasaan istimewa yang sifatnya pribadi dan secara universal dirasakan setiap manusia. Dalam konteks hubungan antar lelaki dan perempuan, cinta yang mengandung dimensi nilai yang abstrak, dapat mendorong manusia melakukan tindakan yang dapat menyenangkan pasangannya.

Cinta yang terbentuk dari interaksi manusia, tak pernah sepi untuk dianalisa. Bagi para ilmuan sosial, cinta tidak sekedar ungkapan perasaan semata. Namun, tatkala seseorang mencintai orang lain, maka di dalamnya terkandung perasaan dan logika. Perasaan itu ada agar cinta dapat dirasakan. Logika pun hadir agar cinta tidak dibutakan. Karenanya, ilmuwan sosial, Erich Fromm menilai, "Cinta bukan memiliki, tapi menjadi...."

Pemikir di era mahzab Frankfurt generasi pertama ini mengurai cinta secara teoritik, dari persfektif modus (motivasi/pemikiran) yang dimiliki setiap individu dalam bukunya yang terkenal berjudul: Memiliki atau menjadi (1987).

Cinta yang buruk adalah yang “memiliki”. Motif memiliki (to have/havingitu menyebabkan seseorang akan bersusah payah menutupi segala kekurangannya. Namun, setelah orang yang dicintainya dimiliki, maka lambat laun akan terungkap kekurangan dan keburukan yang selalu disembunyikan.

Cinta yang dilandasi keinginan memiliki, akan memunculkan pemaksaan, kesewenang-wenangan, posesif, hingga perilaku diktator, “Kau milikku, kau berada penuh dalam kuasaku.”

Dan, bagi Froom, cinta yang demikian, tidak akan bertahan lama dan hanya akan memunculkan penderitaan. Di masyarakat, begitu banyak kasus perselingkuhan hingga berakibat pembunuhan. Hal itu karena didasari cinta yang berorientasi memiliki atau menguasai pasangannya.

Berbeda dengan “Cinta yang menjadi” adalah cinta yang ideal. Menurut Froom, cinta tersebut membebaskan, mengedepankan toleransi, dan dilandasi sendi-sendi kemanusiaan. Cinta yang berorientasi demikian, menimbulkan perasaan dan logika, “Saya telah menjadi dia, dan sebaliknya, dia telah menjadi saya.” Dengan begitu, kedua pasangan akan saling menerima kekurangan masing-masing.

Bahkan, ketika seseorang yang dicintainya telah bersama yang lain, maka perasaan dan logika tersebut akan ikhlas melepaskan kepergiannya. Mengapa? Karena “Saya telah menjadi dia” dan saya turut senang apabila dia lebih bahagia dengan yang lain. Bagi Froom, cinta yang “menjadi” adalah cinta yang murni dan abadi.

Berbeda dengan prespektif cinta di mata kaum eksistensialis seperti Sarte. Baginya, cinta adalah keyakinan yang buruk. Beberapa argumen yang mendasarinya adalah cinta merupakan sebuah bentuk penindasan yang halus.

Seseorang akan berusaha mengabulkan apapun yang diinginkan orang yang dicintainya, demi menyenangkan hatinya. Misalnya, membelikan barang-barang mahal untuk pasangannya atau melakukan segala tindakan, asalkan dapat menyenangkan pasangannya. Cinta menjadi bentuk yang halus dan tak kasat mata, namun memiliki kekuatan untuk menindas.

Cinta pun dapat membuat individu terasing dengan dirinya disebabkan oleh berbagai tuntutan, seperti sang kekasih yang meminta untuk mengubah penampilan, mengurangi berat badan, berdandan lebih menarik dan merubah sikap. Dalam konteks ini, Sartre melihat cinta menggiring seseorang terjebak pada dunia orang lain.

Selanjutnya, pemikir postmodernisme Jacques Derrida yang menggunakan konsep dekonstruksi dalam menganalisis cinta. Menurutnya, seseorang yang jatuh cinta itu narsis. Derrida mengungkap, seseorang yang sedang jatuh cinta, pada dasarnya membutuhkan perhatian, kasih sayang, bahkan “pemujaan” dari orang yang dicintainya. Karenanya, Derrida menegaskan, orang yang jatuh cinta adalah orang yang narsis.

Sedangkan Friedrich Wihelm Nietzsche mengungkap, cinta mengantarkan manusia pada keharusan bertindak dalam kehidupan dan sifat cinta yang selalu berulang. Cinta adalah formula keagungan bagi umat manusia, setiap momen dan kenangan tentang cinta adalah “keberulangan abadi”.

Nietszhe pun terkenal dengan ungkapan cintanya “Obat yang paling baik untuk menyembuhkan cinta adalah obat yang telah diketahui sepanjang zaman: Membalas cinta”.

Mencintai, lalu kehilangan dan membalas cinta yang lain adalah sebuah bentuk keberulangan. Melalui konsepnya, Nietszhe berharap, seorang tidak larut dalam perasaan sedih lantaran kehilangan cinta, namun melakukan pengulangan cinta tersebut hingga sampai pada tingkat kebenaran. Nietzsche mengungkapkan gagasan tentang “Menjalani hidup sepenuhnya” untuk mencari kebenaran dalam cinta.   

Dari penjelasan itu, maka seseorang yang setuju untuk membingkai satu ikatan cinta, selain rasa yang ada di dalam hati, fungsi logika dalam cinta juga harus diberdayakan. Karena hati dan pikiran (perasaan dan logika), dapat saling mengisi dan mengingatkan. Hadirnya logika dalam cinta, sangat berarti untuk menentukan mana yang benar, mana yang salah, mana yang harus diperbaiki, dan mana yang harus dipupuk dalam rasa. Saling melengkapi dalam menggunakan perasaan dan logika, akan membuat cinta mendapatkan kebenarannya.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 537
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1060
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 289
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 754
Momentum Cinta
Selanjutnya
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 247
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 342
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya