Menilik Program Agus - Sylvi

BLT Program Pengaman Sosial

| dilihat 2311

Bang Sem

LEBIH dari sebulan saya dan isteri tidak bisa beraktivitas seperti hari-hari sebelumnya. Kesibukan saya sepanjang masa itu, lebih banyak pergi pulang ke dan dari rumah sakit ke rumah. Dalam aktivitas yang relatif sangat terbatas, itu saya bersyukur, lebih banyak berinteraksi dengan berbagai kalangan.

Saya berinteraksi dengan tukang parkir, pedagang kaki lima, dan berbagai kalangan masyarakat kebanyakan, termasuk mereka yang bekerja serabutan, yang sangat bersabar memperoleh akses terhadap jaminan sosial.

Para pengguna jaminan sosial kesehatan saja, misalnya harus sabar mendapatkan akses pelayanan di rumah sakit milik daerah dan pemerintah.

Berbagai tema mengemuka dalam perbincangan, yang bahkan terjadi lewat tengah malam.

Salah satu perbincangan menarik adalah pandangan mereka, masyarakat kebanyakan, terkait program yang ditawarkan pasangan kandidat Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni. Khasnya program Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Program ini oleh sejumlah kalangan intelektual dan akademisi, banyak dikritik sebagai program pemanjaan kepada warga miskin. Dan, bahkan dinilai tidak akan efektif dalam menyelesaikan kemiskinan di Jakarta.

Bila hendak dicermati dengan seksama, program ini sebenarnya aktualisasi dari program social safety net dalam situasi perekonomian tidak stabil. Baik karena pengaruh perekonomian global, maupun berbagai faktor lain, termasuk kompetisi sosial terkait dengan akses rakyat kebanyakan terhadap modal. Program ini, bila dipastikan hanya bersifat sementara, sampai tercapai pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta pada kisaran 6 – 7 persen, akan bermanfaat. Khasnya untuk meningkatkan daya beli masyarakat terhadap kebutuhan primer, selagi social security – jaminan sosial – baru terkait pada jaminan kesehatan dan jaminan sosial tenaga kerja.

Sambil berharap social security reform terus dilakukan di tingkat nasional, BLT adalah cara yang memang bisa ditempuh untuk mempersempit kesenjangan untuk akhirnya mencapai gini rasio yang ideal, antara masyarakat berpenghasilan rendah, menengah, dan tinggi.

Sistem Jaminan Sosial yang tersedia (yang dikelola BPJS Kesehatan dan BPJS Tenaga Kerja) secara program memang telah diberlakukan kepada seluruh masyarakat dan tenaga kerja. Namun, belum menjamin seluruh warga bebas dari persoalan primer reguler. Termasuk meningkatkan daya beli.

Karenanya, diperlukan strategi lain terkait dengan jaring pengaman sosial (social safety net) yang bersifat sementara. Terutama, karena berhubungan langsung dengan pendapatan daerah, tak terkecuali pendapatan asli daerah.

Terutama untuk mereka yang mengalami penurunan (atau bahkan kehilangan) pendapatan sementara akibat menjadi korban kebijakan pemerintah kota, seperti penggusuran.

Kendati demikian, perlu kerja keras Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, termasuk Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta untuk merumuskan ulang definisi dan standar hidup (garis) kemiskinan yang lebih obyektif. Tak terkecuali menghitung efek jaminan sosial terhadap kemiskinan, dan redistribusi pendapatan berbasis pajak terhadap orang-orang miskin. Dari situ, program BLT yang lazim diterapkan untuk memelihara daya beli masyarakat akan berlangsung efektif. Apalagi, dalam satu tarikan nafas disertai dengan kebijakan kuat untuk vitalisasi pedagang kaki lima dengan tata kelola yang mendorong mereka tumbuh sebagai pengusaha kreatif mandiri. (Baca: Bantuan Langsung Bukan Bagi Bagi Duit)

Contoh paling dekat untuk penerapan program tersebut kini, adalah program BR1M (Bantuan Rakyat 1 Malaysia) yang diterapkan pemerintahan Perdana Menteri Moh Najib. Program ini tak berdiri sendiri, karena ditunjang oleh program lain, termasuk program Menu Rakyat 1 Malaysia, terkait dengan gizi rakyat.

Saya berharap, program BLT yang ditawarkan Agus – Sylvi, yang disertai dengan penguatan akses rakyat terhadap modal untuk menumbuh-kembangkan kewirausahaan (entrepreneurhsip), minimal untuk menciptakan independent bussiness owner (IBO) di kalangan ibu rumah tangga. Mulai dari bisnis sangat mikro (berjualan gado-gado dan ketoprak, lontong dan pastel, kerak telor dan selendang mayang), sampai kedai nasi uduk, gabus pucung, pindang bandeng, sop dan gorengan (gule) Betawi.

Mengaitkan program tersebut dengan rencana Agus – Sylvi menambahkan besaran program selama lima tahun sampai Rp15 triliun, penerapan BLT sebagai Program Pengaman Sosial untuk memperkuat program jaminan sosial, bisa diharapkan. Dan masuk akal, bila dikatakan program ini berkontribusi (sebesar 2 persen) menurunkan angka pengangguran dari 5,7 persen saat ini menjadi 3,7 persen kelak.

Saya yakin, ketika program BLT tersebut dijadikan program andalan, Agus – Sylvi dengan seluruh tim ahlinya sudah menyiapkan strategi yang saling menguatkan antara program jaring pengaman sosial dengan program jaminan sosial yang sudah berlaku secara nasional. Terutama, terkait dengan redistribusi kepada komunitas sasaran kebijakan sebagai bagian dari social security reform dalam skala lokal DKI Jakarta.

Program BLT yang saling menguatkan dengan program jaminan sosial, itu boleh diharapkan dapat diikuti dengan program kreatif dan produktif (inisiatif – aspiratif) warga. Dari dialog-dialog Agus – Sylvi dengan warga yang dikunjunginya selama tiga bulan, terlihat masyarakat mempunyai potensi untuk itu.

Tim ahli Agus – Sylvi, setelah menyerap aspirasi dan inspirasi warga (melalui dialog-dialog) itu, barangkali, sudah dapat merumuskan model sederhana tentang cara mendapatkan dan mengelola pendapatan seumur hidup individu, selepas program BLT berakhir.

Antara lain dengan mengembangkan berbagai fitur yang terkait dengan program peningkatan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Umpamanya: korelasi antara mortalitas dan status sosial ekonomi, penyatuan sumber pendapatan suami-istri dalam rumah tangga, termasuk perhitiungan potensi benefit dan profit mereka, ketika mengembangkan diri sebagai IBO.

Saya membayangkan, dari korelasi berbagai fitur tersebut, tim ahli sudah dapat merumuskan policy design sejak kini, terkait dengan langkah-langkah penerapan kebijakan yang berhubungan dengan dustribusi pendapatan dengan mempertimbangkan gini koefisien dan dampak ketidaksetaraan pendapatan sebelum pajak.

Begitu juga halnya dengan rancang kebijakan yang diarahkan pada perbandingan sosial berbasis pendapatan, dan kontribusi warga (sesuai dengan prinsip tata kelola jaminan sosial yang berlaku kini) terhadap iuran BPJS, di luar program jaminan sosial lain yang sepenuhnya dibiayai APBD DKI Jakarta (misalnya, Kartu Jakarta Pintar yang sering juga dipergunakan untuk kepentingan belanja primer, karena akun tidak di-block hanya untuk kepentingan sekolah.)

Dengan tetap memandang program BLT  sebagai BLT Mandiri yang bersifat sementara, yang perlu mendapat perhatian dari Agus – Sylvi dan tim ahlinya adalah bagaimana program dilaksanakan dengan tetap menangkap redistribusi keseluruhan sistem, yang secara keseluruhan berorientasi mempersempit ketimpangan pendapatan warga.

Sejalan dengan penerapan program BLT (Mandiri) tersebut, hal yang paling utama, upaya pemerintah mendidik rakyat untuk berkemampuan mengelola uang (finance viability) sampai ke tingkat rumah tangga juga menjadi penting. Antara lain dengan menggerakkan kesadaran dan budaya menabung.

Dengan kemampuan mengelola uang, diharapkan warga – yang sekarang miskin dan kurang mampu – dapat menggerakkan sendiri perubahan ekonomi mereka lebih baik. Manfaatnya kemudian (melalui kewirausahaan yang menyertainya) adalah meningkatkan partisipasi angkatan kerja meningkat dari perempuan.

Untuk itu, kelak bersama dengan DPRD, Agus – Sylvi selaku pemimpin di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dapat mendorong good governance melalui peraturan daerah, yang menyerap beragam fenomena kehidupan nyata, dengan melihat heterogenitas, variabilitas potensi kreatif, status perkawinan, dan tingkat kematian, yang bermuara pada pencapaian human development index (indeks pembangunan manusia) yang lebih baik. Tidak lagi nol koma.

Tentu semua itu berkorelasi dan terintegrasi dengan program lain yang menyangka peningkatan pendapatan daerah dan kesejahteraan rakyat. Antara lain, program percepatan dan penambahan infrastruktur jalan, prasarana perumahan rakyat,  hingga prasarana air bersih. Tak terkecuali program kota pintar dengan akses internet murah dan mudah, kreatif, dan ramah lingkungan.

Basisnya adalah perencanaan kota yang sistematis, berorientasi rakyat, fokus pada program, dan anggaran yang berorientasi kesejahteraan rakyat. Tak cukup sekadar mencapai predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) – yang baru sekadar menjadi standar pencapaian anggaran sesuai good governance. Anggaran dan programnya, harus sungguh berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat. | 

Editor : sem haesy
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 712
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 869
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 820
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 200
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 375
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 221
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya