Bincang Malam tentang Perbudakan Intelektualisme Sukarela

| dilihat 1053

Catatan Sem Haesy

Malam merambat di Johor Bahru. Sembang-sembang (diskusi ringan) tentang pengembangan modal insan yang berpusat di kawasan perniagaan Riverside, baru saja usai. Chairman lembaga pendidikan pengembangan akalbudi, yang biasa saya panggil Emway, menutup diskusi.

Emway, doktor filosofi lulusan Oxford University - United Kingdom, yang mengabaikan gelar akademik dan sosial (datuk seri) dan cantik itu menatap tajam ke arah saya. Dia sedang getun menebar memetika (virus akalbudi) yang mengharmonisasi intelektualisme dengan kedalaman nilai ajaran agama.

Dia mengajukan pertanyaan sederhana, ihwal sensitivitas sejumlah kalangan yang mengklaim diri sebagai penggiat filsafat dan kehilangan nalar sehat menghadapi fenomena sofisme di ruang publik. Khasnya penggunaan perspektif filsafat untuk mengupas beragam fenomena politik di ruang publik secara terbuka.

Ada kecenderungan mereka yang mengklaim sebagai penggiat filsafat hendak membatasi siapa saja menggunakan perspektif filsafat untuk mengkritisi kekuasaan. Terutama karena terjadinya polarisasi pemikiran berdasar keberpihakan dan pembangkangan atas realitas kekuasaan.

Fenomena ini sedang menggeliat di sejumlah negara-negara Asia Tenggara, khasnya di Myanmar, Malaysia, Indonesia, Thailand, Laos, dan Filipina. Vietnam, Laos, dan Singapura justru sudah tak hirau lagi dengan hal itu. Terutama karena filsafat memang bukan sesuatu yang ditempatkan di menara gading, seperti yang berlangsung di India dan Jepang.

Kecenderungan komunitas penggiat filsafat yang belakangan sibuk memberikan pembenaran -- karena keberpihakan -- pada penguasa dan alergi terhadap kritik terbuka.

Saya tersenyum, ketika Emway menatap serius. Tiba-tiba saya teringat pada pandangan Ètienne de La Boètie sekitar wacana perbudakan sukarela di paruh pertama abad ke 16 (1548) yang menjelma lagi.

Sehari sebelumnya ketika berbincang dengan anak-anak muda, produser dan programmer di stasiun saluran siaran televisi Astro Awani, meski hanya beberapa saat, pertanyaan Emway sempat kami diskusikan secara sepintas. Khasnya dalam melihat kecenderungan paradoks antara para pembenar kekuasaan dan pengeritik kekuasaan.

Seorang philosopes atau raisonner kritis akan selalu diposisikan sebagai pembangkang (oposan) dan 'pemandu lancung' di tengah masyarakat yang strukturalis berorientasi pada kekuasaan, di mata penggiat filsafat yang asik berkemul dengan teori-teori filsafat, dan 'mengurung' filsafat di 'kotak keramat' yang seolah-olah jauh dari realitas pertama kehidupan. Padahal pemikiran filsafat itu justru cair dan interaktif dengan persoalan-persoalan sehari-hari. Menggerakkan fenomena ke kuantum paradigma.

Para penggiat filsafat yang sibuk di dunianya sendiri, di dalam menara gading, menurut La Boètie, adalah mereka yang secara sukarela memperbudak diri sendiri, memotong leher mereka (memisahkan nalar dan naluri), dan terhanyut untuk memilih menjadi budak daripada 'orang merdeka' yang memperjuangkan akal sehat - akalbudi.

Para penggiat filsafat yang jumlahnya lebih banyak, itu melepaskan kemerdekaan mereka dan bertekuk di bawah penguasa, yang mereka pandang sebagai penguasa yang baik dan menawarkan  perlindungan Negara, tanpa hirau pada realitas sesungguhnya dan membiarkan sang penguasa dengan 'cara paling halus dan sederhana,' mencengkeram  masyarakat. Mereka sibuk memilih jalan dengan beragam cara, mengabaikan 'penindasan' atas akal sehat dan ketidakadilan, untuk kesenangan tiran.

"Mereka itu adalah orang-orang yang langsung tak langsung menyetujui kejahatan ketika mereka sibuk berkutat melakukan pencarian pembenaran atas setiap aksi penguasa," ungkap de La Boètie.

Mereka mengalami 'rabun petang,' dan tak mampu melihat fenomena perbudakan sukarela akademisi dalam praktik kehidupan sehari-hari. Mereka menolak, cahaya yang dibawa analisis filosofis, tanpa mampu mengungkapkan wajah subjektif tersembunyi.

Mereka tak hendak memecahkan teka-teki antara kebenaran ilutif dan kebenaran riil,  yang  sebenarnya dapat berkontribusi untuk menjelaskan kontradiksi semantik (oxymoron) dan paradoks teoretis -praktis yang mengemuka pada realitas kehidupan sehari-hari (yang dirasakan masyarakat banyak dan mendorong perlawanan).

Mereka cenderung melihat penguasa sebagai orang baik dan siapapun lawannya (kaum oposan) merupakan bukan orang baik. Meminjam pertanyaan Molinier (2005), mereka yang mengklaim diri sebagai penggiat filsafat, cenderung abai memberikan solusi untuk mengatasi atau mengobati persoalan 'nalar dan naluri' sosial yang terjadi akibat 'diamnya orang-orang baik yang sesungguhnya' membiarkan perilaku penguasa 'yang seolah-olah baik.'

Mereka tak mampu bersikap kritis atas fenomena kekinian dan sibuk mengkritisi sesuatu yang sudah lampau, sehingga lupa dirinya sudah menjadi avatar perbudakan lama yang dikritiknya di masa lalu. Akibatnya, mereka akan menganggap, para penggiat filsafat yang kritis dan masuk ke ruang praktis kehidupan nyata, telah melakukan pembusukan atas masyarakat. Padahal pembusukan itu dilakukan oleh perilaku penguasa dengan tebaran memetika (virus akalbudi) palsu.

Mereka akan menuding pemikir dan penggiat filsafat kritis telah melakukan praktik sofisme, astuce de jeu (bermain helah atau tipudaya), kesesatan berfikir dengan mengabaikan kaidah-kaidah berlogika, dogmatisme politik, penyebaran disinformasi, dan menuding para pemikir kritis - pembangkang melakukan tindakan yang anti demokrasi.

Mereka, para penggiat filsafat yang sibuk dengan busana 'kebesaran' akademik dan intelektualisme (bukan intelektualitas), kekal dengan frame pro - kontra ihwal penyelenggaraan kekuasaan. Mereka abai, dengan isyarat filsuf Eugen Fink, bahwa "kekuasaan berhubungan dengan watak terdalam untuk 'membunuh,' - via character assasination - kepada lawan berfikirnya, mereka yang sadar untuk menggeleng katimbang mengangguk. Para pemikir kritis yang teguh, akan selalu bersikap, "lebih baik mati daripada menjadi budak penguasa."

Para 'pembenar' kebaikan kemasan penguasa, seperti diisyaratkan Memmi (1957) atau bahkan Tocqueville, (1841) adalah mereka yang membiarkan dirinya bertekuk dan terjajah di dalam memori kebebasannya.  Meminjam istilah Montesquieu (1748) mereka adalah penganut intelektualisme yang meyakini bahwa "perbudakan sesuai dengan kejeniusan pemerintah yang lalim."

Spinoza (1632-1677) menggambarkan, tahapan intelektual sebagai bagian dari perbudakan asli manusia merupakan konsekuensi dari penyerahan total pada determinisme.  "Tidak seorang pun gagal memahami apa yang bermanfaat baginya atau untuk melestarikan keberadaannya, jika tidak diatasi oleh penyebab-penyebab eksternal (kepentingan sesaat) yang bertentangan dengan sifatnya."

Emway tersenyum. Dia mengatakan, perjuangan akal sehat ataui akalbudi yang orisinal, memang tidak mudah, karena kekuasaan dan penguasa punya perangkat kekuasaan untuk membuka lebih luas, ladang perbudakan intelektualisma. Motivasinya adalah melestarikan kekuasaan dengan cara meredupkan cahaya akal sehat dan akalbudi sebenar, melalui pernyataan politis. Bukan examen intellectuel untuk memilah kebenaran dan pembenaran. |  (JB,14/2/19)

Editor : Web Administrator
 
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 246
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 425
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 318
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 274
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya
Energi & Tambang