Direktur Utama BNI Syariah, Abdullah Firman Wibowo

Berzakat dengan Cinta dan Amal Nyata

| dilihat 1716

Bang Sém 

Berbincang dengan Abdullah Firman Wibowo, Direktur Utama BNI Syariah, selalu ada yang baru dan mengekspresikan kreativitas dan inovasi dalam melihat jalan hidup islami, Hasanah Way.

Belakangan hari, dalam forum kajian tentang zakat yang digelar Universitas Padjadjaran, Bandung - salah satu dari sedikit pemimpin bank syariah yang tak pernah lelah berinovasi, Firman - begitu dia biasa dipanggil, melintarkan gagasan menarik tentang zakat.

Melontarkan tajuk Zakat Love Story, Firman mengusik kesadaran umat Islam, untuk melihat zakat dimensi cinta dan kasih sayang (rahman dan rahim) di balik rukun zakat.

Basis spiritualnya adalah esensi asasi Allah mengutus dan memberikan holy assignment kepada Muhammad Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam (SAW), sebagai rahmat atas semesta, rahmatan lil alamiin (QS Al-anbiya 107).

Basis logikanya adalah hadits Rasulullah Muhammad, "Jika kamu menunjukkan kasih sayang kepada mereka yang ada di bumi, Dia (Allah) yang ada di Surga akan menunjukkan belas kasih kepadamu." (HR Abu Dawud).

Pemahaman itu, menurut Firman, dapat dimulai dengan pendalaman pemahaman tentang praktik syariah dalam kehidupan sehari-hari, yang mengandung makna, 'mengubah kesalahan pribadi untuk mencapai kesalehan sosial,' seperti yang diisyaratkan Allah dalam QS Al Maidah 89.

Khasnya dalam melaksanakan komitmen secara konsekuen dan konsisten, contoh yang paling sederhana adalah, memberikan sanksi personal kala melakukan pelanggaran atas komitmen.

Antara lain dengan memberi makan 10 orang yang membutuhkan, memberi pakaian orang yang membutuhkan, berpuasa selama tiga hari, dan (pada masanya) membebaskan seorang budak.

Dalam praktik keislaman sehari-hari, khasnya di bidang ekonomi, menurut Firman, Allah memandu setiap muslim mengenali lebih mendalam tentang: Prinsip Akuntansi (Al-Baqarah 282), Bisnis yang baik dan tak merugi (An-Nisa 29), Transaksi yang Wajar (Al-Muthaffifin 1-3), dan Restrukturisasi (Al-Baqarah 280).

Sistem ekonomi Islam, sebagaimana dipandu Allah tersebut, jauh berbeda dengan teori ekonomi klasik Adam Smith (The Wealth of Nation), yang bertumpu pada akumulasi modal dan keuntungan personal. Karenanya berlaku riba.

Padahal, menurut Firman, riba adalah 'mesin uang' - atau praktik traksaksi yang merupakan antitesa dari kebaikan. Mereka yang terantuk riba, selalu menderita.

Firman mengamsalkan Nigeria yang terperangkap dalam jebakan riba, seperti diungkapkan Olusegun Obasanjo, Presiden Nigeria (1999-2007).

Firman mengutip pernyataan Obasanjo, “Semua yang kami pinjam hingga 1985 atau 1986 adalah sekitar $ 5 miliar dan kami telah membayar sekitar $ 16 miliar namun kami masih diberitahu bahwa kami berutang sekitar $ 28 miliar. $ 28 miliar itu muncul karena ketidakadilan dalam suku bunga kreditor asing. Jika Anda bertanya kepada saya apa hal terburuk di dunia. Saya akan mengatakan itu adalah bunga majemuk. "

Dalam praktik riba, tidak ada rahman dan rahim, tak ada kasih sayang. Tak ada juga sense of solidarity, jauh dari empati.

Zakat, menurut Firman adalah cara yang diberikan Allah, diajarkan dan dipraktikkan Rasulullah Muhammad untuk keluar dari derita mendalam yang diciptakan riba.

"Kita mesti mengenali cahaya Zakat berbasis rahman dan rahim, cinta dan kasih sayang,," ujar Firman dalam suatu kesempatan berbincang di kantornya yang damai.

Cahaya zakat memancar, karena zakat, mendistribusikan kekayaan dan mengukuhkan keadilan berkesejahteraan, berdimensi soaial yang luas. Zakat, memberdayakan. Bukan memperdayakan seperti riba.

Zakat, menurut Firman, tak hanya menegaskan kepatuhan muslim terhadap prinsip-prinsip syariah, khasnya rukun (arkanul) Islam. Zakat adalah wujud kepatuhan kepada Allah, agar dalam kehidupan semesta berlangsung interaksi antar manusia berbasis kasih sayang. Yang kaya membantu yang miskin, yang kuat membantu yang lemah, dan yang mampu membantu yang tak berdaya.

Firman mengemukakan, "Kami percaya bahwa jalan hidup kami lebih panjang dari apa yang dilihat, saat kami melanjutkan perjalanan ke akhirat. Dan menjadi penting bagi kita untuk membuat setiap nafas bermakna dan berharga. Dengan itu, kami berusaha sebaik mungkin untuk mengembangkan dan memberikan produk atau layanan yang memiliki lebih dari manfaat komersial, tetapi juga manfaat spiritual," ungkat Direktur Utama BNI Syariah itu.

Ini,katanya, termasuk melayani Zakat sebagai Rukun Islam ke-4. Dikatakannya, dia dan pihaknya, tidak merujuk apa pun kecuali Al-Qur'an, dalam Al Baqaroh 201 "Robbana aatina fiddunya hasanah, wa fil akhiroti hasanah, wa qinaa adzaabannar".

Firman menyebut, bila setiap muslim bersungguh-sungguh mewujudkan kesadaran, antusiasme dan empati terhadap saudara-saudaranya yang masih miskin, tak mampu, dhu'afa, dan berada dalam dalam ruang terbatas, dengan memenuhi kewajiban zakat, sekaligus infaq dan shadaqah, insyaAllah kita tak akan susah.

Firman menyimpulkan, Zakat memiliki potensi pendanaan yang sangat besar mengingat mayoritas penduduk muslim di Indonesia. Harus ada pendekatan dan model bisnis baru yang berbeda untuk mengoptimalkan dana zakat melalui Digital Transaction dan Fintech bekerja sama dengan Bank Syariah serta Lembaga Wakaf untuk memberdayakan Kesejahteraan Sosial yang lebih optimal di negara ini.

Tak salah yang dikatakan Firman, penelitian yang dilakukan Firdaus dan kawan-kawan (2012), menyebutkan bahwa potensi zakat nasional pada tahun 2011 mencapai angka 3,4 persen dari total PDB, atau dengan kata lain potensi zakat di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 217 triliun.

Jumlah ini meliputi potensi penerimaan zakat dari berbagai area, seperti zakat di rumah tangga, korporasi, serta deposito dan tabungan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional), potensi zakat Indonesia pada tahun 2015 sudah mencapai Rp 286 triliun. Angka ini dihasilkan dengan menggunakan metode ekstrapolasi yang mempertimbangkan pertumbuhan PDB pada tahun-tahun sebelumnya.

Dalam sejarah perzakatan di zaman Rasulullah SAW dan pemerintah setelah kewafatan Nabi, pengelola amanah umat (baca: pemerintah) menangani secara langsung pengumpulan zakat dan pendistribusiannya.

Negara memiliki kewenangan untuk untuk melantik seseorang atau membentuk lembaga dalam mengelola zakat, sebagai manifestasi dan pengamalan firman Allah SWT (QS at-Taubah:103). Ayat tersebut, menurut buku laporan Baznas 2019, secara eksplisit menuntut kepada Negera untuk hadir secara langsung dalam memastikan agar kewajiban zakat dapat ditunaikan secara baik dan tepat.

Dengan dasar ayat tersebut para ulama fiqih menyimpulkan bahwa kewenangan untuk melakukan pengambilan zakat dengan kekuasaan hanya dapat dilakukan oleh pemerintah yang memiliki otoritas dan kewenangan yang dapat dipertanggung-jawabkan.

Apapun, menurut Firman, sesuai dengan Jalan Hidup Hasanah (Hasanah Way), pengamalan zakat, infaq, dan shadaqah sebagai manifestasi dari prinsip syariah, mestinya menjadi kisah cinta dan kasih sayang dalam kehidupan setiap muslim. Sekaligus sebagai tabung akhirat..

Sohail Hanif, Kepala Penelitian dan Pengembangan Zakat Nasional - United Kingdom, mengungkapkan, pengumpulan dan distribusi zakat yang dikelola dengan benar di komunitas-komunitas seluruh dunia dapat menjadi langkah besar menuju perbaikan ekonomi dan spiritual komunitas Muslim. |

 

Editor : Web Administrator | Sumber : AFW, BAZIS
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 196
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 373
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 219
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Polhukam
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 203
Cara Iran Menempeleng Israel
14 Apr 24, 21:23 WIB | Dilihat : 194
Serangan Balasan Iran Cemaskan Warga Israel
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 424
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
Selanjutnya