Polemik Seorang Bernama Tuhan

Agar Tuhan Tak Bersepadan

| dilihat 3090

AKARPADINEWS.COM | Seorang warga Banyuwangi, Jawa Timur yang bernama Tuhan menjadi buah perbincangan netizen, bahkan memicu polemik. Beberapa ulama dan tokoh agama menyerukan agar si empunya nama, mengganti atau menambahkan namanya. Namun, ada sebagian pihak yang tak ambil pusing sebab apalah arti sebuah nama.

Toha, sapaan si empunya nama Tuhan, tak begitu terkejut bila namanya jadi sumber tanya. Pertanyaan yang terkadang berulang dari petugas catatan sipil, mengenai nama aslinya, acapkali ia peroleh saat mengurus administrasi kependudukan. Bapak dua orang anak ini dengan sabar menjelaskan bahwa nama pemberiaan kedua orang tuanya itu asli. Persis sebagaimana tertera di akta kelahiran.  

Kehidupan keseharian Tuhan berjalan dengan wajar. Tak ada hal aneh yang ditimbulkan dari namanya. Masyarakat pun menerimanya. Namun, dua pekan terakhir, suasana berubah kalut. Begitu banyak pewarta yang ingin tahu keberadaanya, membuat Toha takut, bahkan kerabatnya berpikir kalau dirinya punya masalah serius.

Ia pun bingung bukan kepalang. Setelah memberanikan diri bersemuka dengan pewarta, warga RT 001 RW 02 Dusun Krajan, Desa Kluncing, Kecamatan Licin, Banyuwangi, Jawa Timur yang sehari-hari bekerja sebagai tukang kayu itu jadi terang apa pangkal soal sejatinya. Tak lain perkara nama dirinya: Tuhan.

Toha tak menyangka bila perkara namanya menjadi pusat silang pendapat banyak pihak di dunia maya. Hal itu bermula saat salah seorang yang pernah memfoto Kartu Tanda Penduduk (KTP) milik Toha, mengunggahnya ke laman Facebook.

Dunia maya sontak geger. Netizen merespon dengan pelbagai pendapat dan komentar. Ada yang menanggapinya sembari berkelakar, serius, dan ada pula yang bernada kecaman. Perkara itu semakin meluas kala pewarta memberitakan identitas pemilik KTP, seorang bernama Tuhan, dengan berbagai sudut pandang. Perkara itu kini jadi perbincangan yang menasional, dan memicu polemik.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, KH Andussomad Bukhori, menyarankan agar lelaki asal Bayuwangi itu mengganti, atau menambahkan namanya agar tidak terjadi salah penafisran. “Ditambah atau lebih baik diganti.

Sebagai seorang hamba, nama itu melanggar etika,” jelas KH Abdussomad Bukhori, Senin (24/8). Lebih lanjut, Abdussomad meminta kepada petugas catatan sipil untuk menarik KTP tersebut, agar yang bersangkutan tak dapat mengakses layanan apa pun dari pemerintah, hingga si pemilik KTP berganti nama.

Anjuran senada juga didengungkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siradj, yang memandang, nama itu tidak etis bagi manusia. Said Aqil mengungkap, pemilihan sebuah nama sudah diatur dalam Hadist, yang menyerukan agar berilah nama pada anakmu dengan nama yang baik.

Nilai etik dan pertimbangan keagamaan menjadi aspek penting anjuran penggantian identitas pemilik nama Tuhan. Dalam pusaran polemik, Toha berusaha menjelaskan bahwa dirinya tak tahu persis mengapa kedua orang tuanya, Jumrah dan Dawiyah, memberikan nama itu kepadanya saat lahir, pada 30 Juni 1973. Mendiang orang tuanya juga tak memberi sepatah penjelasan, apa sebab ia bernama Tuhan.

“Apalah arti sebuah nama,” begitulah William Shakespeare, sastrawan terkemuka asal Inggris menyua pendapatnya soal nama dalam karya monumental Rome and Juliet. Juliet Capulet berkata, nama bukan tangan, kaki, lengan, atau wajah. Bunga Mawar akan berbau manis dan harum walau disebut dengan nama lain.

Mungkin Juliet (persisnya Shakespeare) tak mengerti bahwa soal nama di Nusantara memiliki banyak hal dan beragam persoalan. Salah satunya mengenai seorang bernama Tuhan. Namanya justru menjadi substansi perdebatan. Ia sampai diminta berganti nama, walau dengan nama atau sebutan apa pun ia tetap bapak dua orang anak asal Banyumas, kelahiran 30 Juni 1973.

Sebelum mendakwa nama itu bersepadan dengan sang Maha Pencipta, bersifat ilahiah, ada baiknya menoleh riwayat masa lampau konteks dan arti kata Tuhan. Kata tuhan pada masa Jawa Kuna dapat dijumpai dalam struktur birokrasi pemerintahan. Kedudukannya berada di bawah pejabat tingkat desa (watak).

Dalam Sejarah Nasional Indonesia II, Zaman Kuno, Marwati Djoened Poesponegoro menulis bahwa seorang Rakai Patapan misalnya, disebut memiliki bawahan tuhan ning nayaka, parujar atau parwuwus, matanda (pembawa pataka atau cap), tuhan (atau juru) ning kalula (tetua dari pada abdi), tuhan ning lampuran (tetua dari para pesinden), tuhan ning mangrakat atau manapal (tetua dari para penari topeng), dan tuhan ning wadwa rarai.

Tuhan bersepadan dengan kata juru atau pemimpin dalam tata pemerintahan birokrasi tingkat desa yang kedudukannya berada di bawah seorang rakai atau pamgat. Dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia, karya PJ Zoetmulder, lema tuhan berarti penguasa atau orang yang berwenang. Pada masa Jawa Kuna, kata tuhan tidak bersifat profan, selaik kata Tuhan pada lema KBBI paling mutakhir.

Lantas bagaimana kata Tuhan yang bersifat ilahiah diserap ke dalam bahasa Indonesia baku. Remy Sylado, sastrawan, menerakan gagasannya bahwa kata Tuhan yang bersifat ilahi berasa dari kata tuan yang bersifat insani. Hal itu terjadi dalam bahasa orang Indonesia, yang awalnya tersua dalam bahasa tulis Melayu berhuruf Latin, juga melintas dari tradisi gereja, “Yaitu perkataan yang dengan sendirinya dipahami dari sudut teologi Nasrani, menyangkut substansi ilahi dalam insani. Perkataan yang dimaksud adalah Tuan dan Tuhan,” tulis Remy Sylado dalam Bapa Jadi Bapak, Tuan Jadi Tuhan, Bangsa Jadi Bangsat,” yang dimuat Kompas, 11 Oktober 2002.

Agaknya buku pertama yang memberi keterangan tentang Tuhan dengan cara yang mengejutkan awam, menurut Remy Sylado, adalah Ensiklopedi Populer Gereja karya Adolf Heuken SJ. Buku itu memuat keterangan arti kata Tuhan memiliki hubungan dengan kata Melayu tuan yang berarti atasan, penguasa, dan pemilik. Ensiklopedi yang hanya satu jilid terbit kali pertama pada tahun 1976, dan bertambah menjadi lima jilid yang lebih paripurna terbit pada tahun 1991.

“Melihat keterangan itu, dan meihat pula pemakaian kata Tuhan merupakan sesuatu yang mudasir dalam agama Kristen, maka boleh dibilang hal itu sepenuhnya merupakan masalah teologi Kristen,” tulisnya. Istilah Tuhan yang berasal dari kata Tuan , pertama hadir dalam peta kepustakaan Melayu beraksara Latin lewat terjemahan kitab suci Nasrani.

Mula-mula dalam kitab suci Nasrani berbahasa Melayu beraksara Latin terjemahan Brouwerius yang muncul pada tahun 1668, kata yang dalam bahasa Yunani, Kyrios, sebutan bagi peruntukan Isa Almasih, diterjemahkan menjadi Tuan. Terjemahan Brouwerius dianggap terlalu sulit karena banyak serapan kata dari bahasa Portugis, untuk itu timbul gagasan untuk menerjemahkan kembali seluruh bagian Alkitab: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam bahasa Melayu yang mudah dicerna. Tugas itu kemudian diserahkan kepada Melchior Leijdecker, pendeta tentara yang berlatar pendidikan kedokteran.

Melalui terjemahan Leijdecker itu kita dapat bersua perubahan harafiah dari Tuan menjadi Tuhan. Dalam kitab terjemahannya, Elkitab, ija itu segala suat Perdjandjian Lama dan Baharuw atas titah Segala Tuawwan Pemarentah Kompanija, pada lema yang sama dengan terjemahan Brouwerius, Tuan sepadan dengan Senhor (Portugis), Seigneur (Perancis), Lord (Inggris), dan Heere (Belanda), oleh Leijdecker dalam terjemahan berubah menjadi Tuhan. Terjemahan Leijdecker pun terus digunakan pada Alkitab dari masa ke masa.

“Kini kata Tuhan yang mula-mula ditemukan Leijdecker untuk mewakili dua pengertian pelik insani dan ilahi dalam teologi Kristen atas sosok Isa Almasih--masalah rumit yag memang telah menyebabkan gereja bertikai dan setelah itu melahirkan kredo-kredo; Nicea, Constantinopel, Chalcedon—akhirnya menjadi lema khas dalam bahasa Indonesia,” tulis Remy Sylado.

Kembali ke polemik seorang bernama Tuhan. Apakah kedua orang tuanya memberikan nama itu merujuk pada pengertian dan konteks masa Jawa Kuna, sebab ia bertanah air di ujung timur pulau Jawa yang dahulu menjadi wilayah Blambangan, atau memang bermakna ilahiah sepadan dengan kata bahasa Indonesia, atau ada pertimbangan lain.

Pastinya hal itu masih misteri. Sang empunya nama pun tak berniat mengubah namanya. Bagi orang Jawa, nama adalah takdir bagi jiwa raga si empunya. Bila melenceng, semesta akan mengingatkannya lewat sakit atau kesialan. Ia pun akan menemui takdirnya, namanya, bila setelah berganti nama, tak ada lagi sakit dan kesialan yang menimpa.

Dirga Adinata

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 248
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 344
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 248
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 474
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 465
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 438
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya