Agar Bekerja Terasa Bahagia

| dilihat 1885

AKARPADINEWS.COM | MENJADI pegawai kantoran dengan penghasilan yang lumayan merupakan impian banyak pekerja. Tak heran jika ribuan lulusan perguruan tinggi berlomba-lomba menjadi karyawan kantoran. Namun, fakta pun mengurai. Tidak semua karyawan kantoran merasakan kebahagiaan.

Baru-baru ini, JobStreet Indonesia melakukan riset mengenai motivasi kebahagiaan di tempat bekerja. Dari rilis yang disampaikan JobStreet Indonesia, riset yang dilakukan pada Juni-Juli 2016 dengan merekrut 27.000 responden menunjukan, sebanyak 33,4 persen responden yang merupakan Generasi Y dengan rentang usia 22-26 tahun dan pengalaman bekerja 1-4 tahun, menyatakan tidak bahagia dalam bekerja. Alasan utamanya, tidak ada kesempatan mengembangkan karir.

Selain itu, sebanyak 6.000 responden merasa pekerjaan yang dilakukan memiliki variasi pekerjaan yang tidak memperkaya pengalaman bekerja. Responden yang mewakili Generasi Y menilai, terdapat tiga faktor utama yang menciptakan ketidakbahagiaan di tempat kerja. Selain kesempatan pengembangan karir yang terbatas, faktor penyebab ketidakbahagian karyawan kantoran adalah jumlah insentif yang kurang memuaskan, serta gaya kepimimpinan manajemen yang otoriter dan kaku.

Terbatasnya kesempatan pengembangan karir diungkapkan 1.800 responden yang bekerja di bagian administrasi dan akuntansi. Mereka merasa jenuh dalam bekerja sehingga ingin berpindah ke bagian lain dengan fungsi yang berbeda agar bisa meningkatkan produktifitas dan keahliannya. Tetapi, keinginan itu kerap tidak terwujud karena kurangnya perhatian manajemen terhadap perkembangan berkarir karyawan di perusahaan tersebut.

Lalu, sebanyak 6.200 responden merasa kurang memuaskannya penghasilan yang diberikan perusahaan berupa gaji pokok, bonus, jaminan kesehatan, transportasi serta komunikasi. Mereka pun menganggap, pembagian keuntungan dari pencapaian kinerja perusahaan dengan prestasi yang mereka lakukan, dianggap tidak sepadan.

Ketidakbahagiaan di tempat bekerja juga karena gaya kepemimpinan yang otoriter. Sebanyak 5.500 responden juga mempersoalkan kurangnya kepercayaan atasan dalam mendelegasikan tugas. Akibatnya, Generasi Y harus menunggu agar tugas dan pekerjaannya diberikan sehingga membentuk kurangnya rasa bangga terhadap pekerjaan yang dilakukan.

Agar tidak melulu tidak bahagia, sebanyak 5.500 responden mengharapkan agar perusahaan memberikan gaji berdasarkan kinerja. Namun, tidak semua perusahaan bisa mengabulkannya, termasuk menerapkan gaya kepimpinan yang fleksibel dan tidak kaku.

Hasil riset itu melengkapi riset sebelumnya yang dilakukan lembaga survei internasional, Gallup dan Accenture. Survei itu dilakukan di 30 negara. Hasilnya, karyawan di Indonesia yang paling merasakan ketidakbahagiaan dengan pekerjaannya. Hanya 18 persen responden yang menyatakan puas akan pekerjaannya.

Alasannya, mulai dari persoalan kurangnya kompensasi, keseimbangan kehidupan pribadi dengan pekerjaan, dan terbatasnya kesempatan untuk mengembangkan karir. Peter Drucker dalam Management: Tasks, Responsibilities, and Practices (1993) memaparkan, saat ini nilai ekonomis dipandang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya di dalam sebuah pekerjaan. Karena, konsep kepuasan hidup telah menyempit menjadi kepuasan ekonomis.

Sebenarnya, kebahagiaan bagi pekerja dapat diciptakan dengan menata organisasi atau institusi dengan tujuan meningkatkan produktivitas, sekaligus memperoleh kepuasan bagi pekerja. Mereka yang bisa bertahan di dalam rencana dan pengaturan tersebut, tentu akan memperoleh apresiasi berupa kenaikan pangkat, gaji maupun bonus. Tentu saja, menurut Drucker, dibutuhkan kontrol kekuasaan.

Dalam konteks ini, dalam masyarakat pekerja modern, Drucker menambahkan, didalamnya terdapat relasi kekuasaan. Otoritas digunakan di dalam organisasi yang modern. Selama ada otoritas, selama itu pula ada relasi-relasi kekuasaan. Dengan kata lain, Drucker menjelaskan, apa yang bagus di dalam rekayasa industri untuk kerja, ternyata sangat jelek bagi manusia yang bekerja. Misalnya, kontrol yang berlebihan justru membentuk alienasi (keterasingan). Para pekerja menjadi tidak mengenal dirinya, orang lain, dan hasil kerjanya jika bekerja di perusahaan yang digerakan dengan sistem tersebut.

Lantas, bagaimana agar pekerjaan dapat membuat pekerja bahagia? Merujuk pada filosofi bekerja, di mana pekerjaan berorientasi pada makna sebagai identitas, yang menjadi sentral di dalam kehidupan manusia. Filsuf Inggris, John Locke, berpendapat, pekerjaan merupakan sumber untuk memperoleh hak milik pribadi. Friedrich Hegel, filsuf Jerman menilai, pekerjaan membawa manusia menemukan dan mengaktualisasikan dirinya. Sementara Karl Marx, murid Hegel, berpendapat, pekerjaan merupakan sarana manusia untuk menciptakan diri. Karena dengan bekerja, seseorang akan mendapatkan pengakuan.

Pendapat itu menekankan makna bahwa bekerja itu tidak sekadar menghasilkan barang atau materi. Tetapi, bekerja lebih pada upaya menghasilkan konsep kreatif sesuai passion. Jika pekerja dipaksa untuk bekerja sesuai ritme dan otoritas orang lain, maka akan melepaskan hormon stress yang mengakibatkan seluruh saraf menjadi tegang sehingga menghambat kebahagiaan.

Karenanya, menurut Drucker, agar bisa bahagia dan produktif dalam bekerja, maka pekerja perlu melepaskan diri dari ketegangan di dalam dirinya. Atau, setidaknya dia memiliki kontrol penuh pada perasaannya agar dapat menikmati pekerjaanya, selain keterlibatan perusahaan untuk membahagiakan pekerjanya.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 917
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1153
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1410
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1555
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Energi & Tambang