Renegosiasi Tambang Tak Hanya Soal Bisnis

| dilihat 2104

MASIH ingat? AGUSTUS 2012, usai membuka rapat koordinasi di gedung Pertamina, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) angkat bicara ihwal kontrak tambang.

Di masa lalu ada kontrak yang tidak adil dan merugikan Indonesia. Padahal, menurut Presiden SBY, kontrak tambang harus menguntungkan rakyat Indonesia.

Itu sebabnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan renegosiasi. Tentu yang lebih bernilai dan bermanfaat secara adil untuk bangsa ini. Muaranya, kesejahteraan rakyat. Renegosiasi bukan lagi keniscayaan, melainkan keharusan. Melelahkan, pasti. Tapi, bila logikanya tepat, tak akan bertele-tele.

Selama ini, isu yang berkembang di sektor ini adalah: Kontrak tambang harus sesuai amanat UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Yaitu, meliputi: luas wilayah kerja, penerimaan negara baik pajak maupun royalti, kewajiban divestasi, kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri, dan perpanjangan kontrak.

Dengan rezim kontrak karya era Presiden Soeharto, negara banyak dirugikan. Itulah sebabnya, renegosiasi harus dilakukan sesuai amanat UU No.4/2009 tentang Minerba adalah jalan terbaik.

Bagi penambang domestik dan menengah, keenam isu pertambangan itu relatif dapat direspon dengan baik. Tidak begitu dengan penambangan ‘world class company.’

Renegosiasi berlangsung alot. Terkesan, mereka terlalu banyak mau, dan ‘ngeyel’ dengan prinsipnya sendiri. Mereka tak mau melihat realitas, telah terjadi berubahan besar dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, yang berbeda dengan era Presiden Soeharto. Cukuplah kontrak karya, itu berjangka waktu 30 tahun, dan berakhir 2021, kelak.

Salah satu sikap ‘ngeyel’ itu adalah memilih jalan arbitrase internasional. Bahkan ada perusahaan tambang yang kepemilikan dan namanya tak lagi sesuai dengan perjanjian kontrak karya, pun ngotot berpegang pada kontrak karya. Mereka juga ngeyel menolak kewajiban pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Seolah-olah, kontrak karya adalah pengambil-alihan otoritas negara atas pertambangan, dari pemerintah kepada mereka.

 Renegosiasi pengalihan rezim kontrak karya ke rezim perizinan, memang tak mudah. Memerlukan sikap teguh dan konsisten terhadap pelaksanaan undang-undang. Juga, memberi manfaat langsung bagi kesejahteraan rakyat.

Dalam renegosiasi, banyak hal yang harus menjadi isu-isu pokok untuk diselesaikan. Salah satu yang prioritas itu adalah royalti. Kalangan penambang -- di manapun -- akan berkilah, kekayaan mineral atau migas tak akan ditemukan bila tidak ada yang menemukan. Tak usaha dibicarakan, hal ini sudah dengan sendirinya berlaku.

Setiap perusahaan pertambangan berskala dunia, tentu mafhum, bisnis mereka adalah bisnis berinvestasi jangka panjang. Sejak sebelum melakukan eksplorasi dan menemukan resources, sudah ada cost besar yang harus ditanggung. Begitupula ketika eksploitasi dan produksi dilakukan. Itulah sebabnya berlaku masa kontrak sekitar 25 – 30 tahun untuk mencapai profit.

Selain soal royalti, kepemilikan saham pemerintah, divestasi saham, dan pelepasan saham kepada publik, hal pokok yang prioritas dalam renegosiasi adalah kewajiban melakukan pemurnian di dalam negeri.

Intinya adalah renegosiasi harus memberi manfaat langsung kepada kesejahteraan rakyat. Terutama karena di Indonesia tidak berlaku hums. Yaitu hak rakyat atas lingkungan sehat, cerdas, dan mampu (secara ekonomi), termasuk jaminan reklamasi dan human securities.

Karena, yang ‘dirusak’ pertambangan, bukan sekadar lingkungan fisik alam, melainkan juga lingkungan sosial dan budaya.. Renegosiasi tambang tak hanya soal bisnis, ekonomi, dan politik. Tapi juga budaya.

Beranjak dari pandangan demikian, sepanjang 2013 kita mendapat kabar, ihwal renegosiasi kontrak tambang, terutama terhadap penambang multi nasional belum juga usai. Freeport termasuk yang kerap ‘membangkang’ dari kehendak menata ulang kontrak karya yang dilakukan pemerintah.

Ironisnya, pemerintah via Kementerian ESDM lebih senang memburu kontrak karya penambang nasional. Hadeuh !

Editor : N Syamsuddin Ch. Haesy
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 220
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 435
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 432
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 403
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Energi & Tambang