Teringat Kedung Ombo

Perjanjian Gaib Itu Urung Terjadi

| dilihat 3935

AKARPADINEWS.COM | Salah satu hal menarik dari kasus penggenangan waduk Jatigede yang mengundang kisruh, adalah berkembangnya realitas lain. Yaitu, keyakinan sejumlah kalangan masyarakat setempat yang memfasilitasi perjanjian baresan (kesatuan) seuweu siwi dengan negara.

Cerita tentang perjanjian gaib ini, mengemuka dari pandangan sejumlah komunitas, khasnya komunitas Cipaku. Mereka menyusun konsep perjanjian baresan itu, dengan mempertimbangan ketetapan pangauban, sebagai landasan baresan.

Dalam konsep itu, mengemuka beberapa butir sikap, yaitu: menolak rencana pembangunan waduk tersebut (meski waduk sudah dibangun dan memakan waktu selama lima dasawarsa), karena melanggar hukum dan norma-norma pangauban. Antara lain, berupa: Larangan teu meunang dirempak buyut teu meunang diobah. Yaitu, larangan yang tidak boleh dilanggar, aturan (termasuk ketetapan situs / patilasan) tidak boleh diubah.

Pembangunan waduk tersebut, kalaupun dilanjutkan, harus memperhatikan kondisi alam, yang sangat berpotensi terhadap terjadinya bencana. Terutama, karena waduk itu dibangun berada pada jalur sesar baribis.

Dalam konsep itu juga mengemuka pandangan, daya dukung sumberdaya air tidak memasai, terutama di wilayah hulu sungai Cimanuk, yang kondisi lingkungannya kritis (lara). Kondisi tersebut, juga menyebabkan tingkat sedimentasi tinggi, yang akan berdampak pada pendangkalan bendungan.

Jika pemerintah memaksakan kehendak menggenangi Jatigede, menurut konsep perjanjian itu, mereka menuntut: Biarkan kawasan larangan, titipan atau buyut meliputi kawasan mata air dan tutupan larangannya, situs atau patilasan (buyut – sasaka karuhun) berada pada posisi semula.

Sejengkal tanah, sehelai daun, sepotong ranting pun tidak boleh diganggu atau dipindahkan. Jika apa yang dikuatirkan ini, dan kelak terjadi bencana, maka pemerintah harus tegas menghentikan proyek pembangunan waduk Jatigede. Karena lebih berdampak buruk bagi kehidupan, keselarasan alam, dan keselamatan khalayak (rakyat).

Konsep perjanjian itu juga menegaskan, jika dalam kurun waktu 220 hari, sebagaimana ditetapkan pemerintah terkait penggenangan tidak terlaksana, maka pemerintah harus menghentikan seluruh operasi waduk. Lantas, mengembalikan wilayah Jatigede itu kepada fungsinya semula, sebagaimana diatur oleh pangauban seuweu siwi.

Konsep perjanjian ini agaknya tak mendapat tanggapan dan karenanya, pemerintah melangkah sesuai dengan rencana yang dilakukan berdasarkan pertimbangan teknik dan teknis. Alhasil, perjanjian gaib itu urung terjadi. Dan, 33 situs budaya di situ pun akan tenggelam bersama perkampungan penduduk dan kelak akan menjadi telaga besar.

Kisah Waduk Jatigede ini mengingatkan kita pada peristiwa di seputar pembangunan Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah, yang direncanakan pada 1985. Pembangunan Waduk Kedung Ombo yang sempat menjadi isu nasional itu, selain untuk kepentingan pengairan sawah, juga untuk membangun pembangkit listrik tenaga air berkekuatan 22,5 megawatt.

Waduk didesain untuk menampung air sesuai kebutuhan untuk mengaliri 70 hektar sawah di sekitarnya. Pembangunan Waduk Kedung Ombo ini dibiayai USD 156 juta dari bank Dunia, USD 25,2 juta dari Bank Exim Jepang, dan APBN, dimulai tahun 1985 sampai dengan tahun 1989.

Waduk Kedung Ombo digenangi 14 Januari 1989.  Menenggelamkan 37 desa, 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu Sragen, Boyolali, Grobogan. 5268 keluarga mengorbankan lahan pertanian garapan dan kediaman mereka.

Ketika waduk sudah digenangi, masih ada 600 keluarga bertahan di kediamannya, karena ganti rugi yang diberikan kepada mereka sangat kecil. Kala itu, Menteri Dalam negeri Soepardjo Roestam menetapkan ganti rugi sebesar Rp 3.000,-/m², tapi warga – oleh oknum-oknum -- dipaksa menerima Rp 250,-/m². Warga yang bertahan tak urung dikepung teror, intimidasi dan kekerasan fisik akibat perlawanan mereka terhadap proyek tersebut. Pemerintah memaksa warga pindah dan tetap ngotot mengairi lokasi tersebut. Drama pemindahan mereka, berujung pada tindakan yang dinilai tidak manusiawi. Rakyat yang bertahan, kemudian terpaksa tinggal di tengah-tengah genangan air.

Ketika itulah, Romo Mangun – yang berhasil membangun pemukiman Kali Codee – Yogya -- dan KH Hammam Ja’ far – pengasuh Pondok pesantren Pabelan – Magelang, mendampingi rakyat yang masih bertahan di lokasi. Romo Mangun dan Kyai Hammam membangun sekolah darurat untuk sekitar 3500 anak-anak. Juga membangun sarana transportasi air, berupa rakit, karena sebagian besar desa sudah berubah menjadi danau.

Waduk Kedung Ombo, kemudian diresmikan Presiden Soeharto (18/5/91), dan warga tetap berjuang menuntut haknya atas ganti rugi tanah yang layak. Tahun 2001, selepas gerakan reformasi, warga yang tergusur menuntut Gubernur Jawa Tengah untuk membuka kembali kasus Kedung Ombo dan melakukan negosiasi ulang untuk ganti-rugi tanah. Tetapi, Pemda Propinsi dan Kabupaten bersikeras, masalah ganti rugi tanah sudah selesai. Pemerintah meminta pengadilan negeri setempat untuk menahan uang ganti rugi yang belum dibayarkan kepada 662 keluarga penuntut. | Bang Sem

Editor : Web Administrator | Sumber : berbagai sumber
 
Polhukam
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 203
Cara Iran Menempeleng Israel
14 Apr 24, 21:23 WIB | Dilihat : 187
Serangan Balasan Iran Cemaskan Warga Israel
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 424
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 216
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 424
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 426
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 397
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya