Harga Listrik di Indonesia Termahal Dibandingkan Amerika Serikat dan Bangladesh

| dilihat 1748

Harga listrik di Indonesia termahal dibandingkan Amerika Serikat dan Bangladesh. Di Indonesia harga listrik USD 11 cent per KwH, sedangkan di Amerika Serikat dan Bangladesh hanya USD 3 cent per Kwh. Karenanya, kita tak relevan bicara kedaulatan energi.

Begitu yang disampaikan anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Satya Widya Yudha, ketika bicara dalam Seminar Akhir Tahun Perkumpulan Usaha Memajukan Anakbangsa (UMA) di Jakarta, Senin (17/12).

Menurut Satya, kita fokus saja pada ketahanan energi. Seminar itu sendiri mengambil tema, "Ketahanan Energi Terancam. Mengurai Masalah Menemukan Solusi."

Satya mengemukakan, Ketahanan Energi adalah terpenuhinya ketersediaan, kemampuan untuk membeli, dan adanya akses, serta ramah lingkungan.

Akan halnya kemandirian energi dia pahami sebagai kemampuan negara dan bangsa untuk memanfaatkan keanekaragaman energi dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

Tentang kedaulatan energi, Satya memahaminya sebagai hak negara dan bangsa untuk secara mandiri, menentukan kebijakan pengelolaan energi untuk mencapai ketahanan dan kemandirian energi.

Menurut Satya, ketahanan energi penting dan relevan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi global sampai tahun 2050, yang sering digambarkan, bahwa pasar yang sedang berkembang akan terus menjadi mesin pertumbuhan ekonomi global. PWC (PriceWater House Cooper) memprediksi, ekonomi negara-negara anggota E7 dapat meningkatkan bagian mereka dari GDP (gross domestic product) -- nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan berbagai unit produksi suatu negara -- dunia dari sekitar 35 persen menjadi hampir 50 persen.

Ekonomi China bisa menjadi terbesar di dunia, dan menguasai sekitar 20% dari PDB dunia pada 2050. India menempati posisi kedua, dan Indonesia di posisi keempat. Bappenas (2017) juga memprediksi demikian.

BPPT Energy Outlook 2018 memprediksi, pada tahun 2020, GDP Indonesia akan mencapai 11.651 triliun (dengan pertumbuhan 5,70 persen), tahun 2025 menjadi 15.873 triliun (dengan pertumbuhan 6,80 persen), dan tahun 2050 diproyeksikan menjadi 69.394 triliun (dengan pertumbuhan 5,08 persen) dari rata-rata target pertumbuhan 6,04 persen/tahun.

Proyeksi pertumbuhan penduduk masing-masing 1,16 persen (2020), 0,98 persen (2025), dan 0,42 persen (2050). Pada kurun waktu itu, harga minyak dunia (crude price) berkisar pada 65,3 USD/barrel (2020), 62,0 USD/barrel (2025), dan 57,1 USD/barrel (2050). Sedangkan harga batubara di pasar dunia (Coal Price) akan berkisar pada 64,9 USD/tonne (2020), 57,2 USD/tonne (2025), dan 43 USD/tonne (2050). Harga LNG (gas) pada kurun waktu itu berkisar pada 9,1 USD/MMBTU (2020), 9,1 USD/MMBTU (2025), dan 8,7 USD/MMBTU (2050).

Sektor energi Indonesia akan menghadapi tantangan, menurut Satya. Yakni: sumber energi masih menjadi sumber devisa negara; penurunan produksi dan gejolak harga migas; akses dan infrastruktur energi; ketergantungan terhadap impor BBM dan LPG; Harga energi baru terbarukan belum kompetitif dan pemanfaatannya masih rendah dan belum efisien.

Satya juga menyebut penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di sektor energi masih terbatas. Tantangan lain adalah persoalan geo politik dan isu lingkungan. Ujungnya, belum adanya mandatori cadangan energi nasional. Ketahanan energi menurun.

Kajian BPPT mengisyaratkan, dengan pola konsumsi dan ekspor sumber energi kita, dengan mengikuti tren selama ini -- dan bila tak ada penemuan cadangan baru, Indonesia akan menjadi all net import.

Apalagi, kajian tahun 2016 menunjukkan, Indonesia sangat bergantung pada sumber energi fosil, terutama pada bahan bakar minyak dan barubara.

Satya mengemukakan pula, hasil audit Badan pemeriksa Keuangan RI tahun 2018, terdapat gap antara target RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) dan realisasi energi baru terbarukan, masih minum 3,12 persen (2015) dan minus 2,72 persen (2016), yang antara lain disebabkan oleh kondisi perekonomian dan sosial tidak lagi sesuai saat RUEN disusun. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang meleset, dari proyeksi 7,1 persen menjadi 5 persen/tahun. Pun demikian dengan target pencapaian dari proyeksi 0,9 persen menjadi 0,54 persen.

Beranjak dari semua itu, menurut Satya perlu perubahan paradigma dalam pengelolaan energi, dari hanya melihat komoditas untuk mencari uang, menjadi modal untuk pergerakan pertumbuhan ekonomi. Peruntukannya adalah memenuhi kebutuhan domestik, mendukung dan memperkuat industri dalam negeri. Dan harus ada kebijakan, energi tidak diekspor dalam bentuk mentah. Ini yang oleh Satya disebut sebagai Shifting Paradigm, basis pendapatan untuk basis pertumbuhan ekonomi.

Langkah selanjutnya adalah, kebijakan industry follows the energy concept. Aksinya adalah membuat multiplier effect yang lebih besar, mengubah dari global value change menjadi national value change.

Perubahan lain yang harus dilakukan melalui Satya adalah konversi dari minyak ke gas bumi. Antara lain dengan menggunakan gas alam untuk mengurangi ketergantungan pada batubara dan minyak, sampai alternatif bersih, menjadi skala yang lebih besar untuk masa depan yang lebih rendah karbon.

Lantas? "Menjalankan roadmap konversi BBM (bahan bakar minyak) ke BBG (bahan bakar gas) dengan membangun infrastruktur yang diperlukan," ungkapnya.

Satya mencontohkan, misalnya penggunaan BBG untuk nelayan, pemanfaatan CNG untuk City Gas, dan penggunaan BBG untuk transportasi.

Antara lain dengan pemberian intensif untuk kendaraan berbahan bakar gas. "Konsumen dapat berhemat, karena harga BBG hanya Rp4.100 per liter, setara premium," jelasnya.

Di bagian lain paparannya, Satya mengemukakan, untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, Indonesia perlu meningkatkan rasio elektrifikasi dan produksi listrik, Diperkirakan perlu untuk menggandakan kapasitas produksi listrik yang memerlukan investasi sebesar USD 79 miliar.

Target rasio elektrifikasi untuk 6 provinsi Indonesia Timur: Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat, kurang lebih 90 persen di tahun 2020. Dia juga mengemukakan, harga listrik Indonesia termahal, mencapai USD 11 cent. Sedangkan negara lain, seperti Vietnam USD 7 cent, Pakistan USD 6,6 cent, Korea Selatan USD 6 cent, Bangladesh USD 3 cent, Malaysia USD 6 cent, dan Amerika Serikat USD 3 cent.

Untuk melakukan perubahan di sektor energi, Satya mengeappeal seluruh kalangan untuk mendorong upaya sinergi lintras kementerian dan lembaga untuk mencapai tujuan pengurangan emisi dalam Nationally Determined Contriubutions Indonesia, serta pembangunan nasional berkelanjutan. | Fathima

Editor : Web Administrator
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 166
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 337
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 364
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 333
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 633
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 781
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 750
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya