AKARPADINEWS.COM | MANUSIA diciptakan Tuhan untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagai rahmat atas alam. Dengan demikian, keberadaan manusia atas alam, semestinya berfungsi sebagai pemelihara. Bukan sebagai perusak alam.
Sesuai dengan tujuan penciptaan manusia untuk mengabdikan diri kepada-Nya, maka salah satu wujud nyata manusia di dunia adalah memberi perlindungan dan pemeliharaan atas alam, sehingga manusia memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari alam. Karena itulah, tugas manusia di atas muka bumi adalah mengelola alam dengan sebaik-baiknya.
Secara filosofis, pengelolaan sumberdaya alam, harus diperuntukan bagi kemakmuran rakyat seluas-luasnya secara berkeadilan. Tidak hanya untuk mencapai nilai keekonomian, melainkan juga untuk mencapai nilai yang jauh lebih besar: lingkungan hidup. Tidak hanya karena daya dukung sumberdaya alam selalu mengalami perubahan, dan cenderung menurun. Juga, karena kualitas sumberdaya alam amat bergantung kepada kepedulian dan sikap hidup manusia yang mengelolanya.
Untuk mewujudkan perilakunya yang baik dalam mengelola alam, Tuhan memberikan akal dan fikiran, agar manusia mampu mempelajari ilmu pengetahuan dan menguasai teknologi, sehingga mampu mengeolola alam secara lebih efektif dan efisien. Tuhan memberikan naluri kepada manusia, agar manusia dapat berinteraksi dengan sebaik-baiknya dalam mengelola alam. Tuhan memberikan perasaan kepada manusia, agar manusia memperlakukan alam dengan kasih dan sayang dan tidak mencederainya. Tuhan memberikan indria kepada manusia, yang dengan indrianya, itu manusia memperlakukan alam secara proporsional.
Kesemua itu, memberikan kesempatan sangat luas kepada manusia, untuk mengelola alam secara lebih baik dan mempertimbangkan berbagai aspek dan dimensi. Termasuk di dalamnya, pertimbangan-pertimbangan transgenerasi. Pertimbangan asasi, bahwa alam yang diberikan Tuhan kepada manusia saat ini, tidak hanya diperuntukan kepadanya semata. Bahkan untuk generasi yang selanjutnya. Dalam konteks itulah, pengelolaan alam berlangsung terus menerus, berkelanjutan.
Beranjak dari pandangan demikian, secara sederhana manusia dihadapkan kepada situasi kepedulian untuk selalu memperbarui dan mengubah cara pandang, pola pikir, sikap, dan perlakuannya atas sumberdaya alam. Yaitu, seluruh potensi alam, mulai dari air, minyak bumi, gas, api, angin, udara, hutan, materi tambang, dan lainnya.
SITUS PENAMBANGAN NIKEL DI SOROWAKO - LUWU TIMUR - SULAWESI SELATAN
Potensi sumberdaya alam itu, merupakan bahan dasar yang dapat dikembangkan manusia untuk memenuhi keperluan hidupnya terhadap pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan bahkan gaya hidup. Oleh karena itu, kepedulian manusia terhadap sumberdaya alam, berhubungan langsung dengan dimensi kedalaman iman manusia.
Imam Ali bin Abi Thalib karamahu wajhah, secara eksplisit menegaskan, Tuhan menciptakan alam dari non eksistensi. Karena itu, alam sebagai ciptaan bersifat orisinil. Alam tercipta tanpa proses berfikir, tanpa melalui eksperimen, tanpa merumuskan aksi dan program untuk mewujudkan kehendak, dan bukan karena adanya untuk mewujudkan kehendak. Juga bukan karena adanya keperluan untuk mendapatkan sesuatu. Karenanya, alam merupakan bukti kongkret bagi manusia untuk memahami eksistensi-Nya, dengan segala hukum yang menyertainya.
Ditegaskan oleh Imam Ali, dalam proses penciptaan alam, khususnya bumi, tempat Tuhan menitipkan sebagian kecil saja dari kekayaan dan kemurah-hatiannya kepada manusia, pertanda yang bisa dipahami oleh manusia adalah waktu. Artinya, sumberdaya alam yang diperuntukan bagi kehidupan manusia, itu mengali proses pembentukan dalam waktu yang sangat panjang bagi ukuran manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mendeskripsikan kepada manusia, bagaimana Tuhan menciptakan berbagai mineral dan energi di bumi, melalui proses pembentukan, hingga mencapai jutaan tahun.
Sebongkah batubara, mengalami proses pembentukan jutaan tahun, setidaknya dua puluh juta tahun. Demikian juga halnya dengan bebatuan, fosil, dan lainnya. Mereka yang menyadari proses pembentukan demikian, berbasis keimanan, ilmu pengetahuan, dan teknologi, manusia akan dapat mengelola alam dengan sebaik-baiknya.
Sebaliknya, manusia yang mengabaikan dimensi keimanan, menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kreasikan, sebagai perangkat untuk menghancurkan sumberdaya alam itu sendiri. Sebagai akibatnya, Tuhan menggerakkan alam untuk menghukum mereka.
KILANG PENGOLAH MIGAS DI BONGAS - INDRAMAYU - JAWA BARAT
Karena sumberdaya alam secara hakiki merupakan milik Allah secara absolut, maka pengelolaan sumberdaya alam itu oleh manusia, harus jelas manfaatnya, dan harus pula terjamin kelestariannya, sehingga dapat menjamin kehidupan yang berkelanjutan. Baik sumberdaya alam yang dapat diperbarui maupun yang tak dapat diperbarui.
Oleh sebab itulah, akhlak terhadap alam menjadi urgen dan prioritas. Karena pada akhirnya, akhlak terhadap sumberdaya alam ini, selalu berkorelasi dengan daya dukung lingkungan hidup dan kehidupan manusia. Dalam menjalani akhlak terhadap alam, itulah aspek kehidupan sosial budaya sedemikian penting, sehingga dapat memberikan nilai lebih atas pencapaian nilai keekonomian yang efisien, melalui penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi ramah lingkungan.
Akhlak manusia terhadap alam, merupakan bagian dari politik sumberdaya alam, sebagai landasan dan sistem pengelolaan yang baik dan benar. Ali bin Abi Thalib, mengingatkan akhlak manusia terhadap sumberdaya alam, akan memungkinkan manusia mengelola alam berdasarkan cintanya kepada Allah. Oleh karena itu, mereka yang berakhlak, tak akan pernah menimbulkan kerusakan sumberdaya alam, yang akan berakibat kepada binasanya suatu bangsa. Di atas landasan politik sumberdaya alam, berhimpun akhlak dan hukum yang tegas.
IRISAN TANAH DI PENAMBANGAN EMAS PENJOM
Sejarah mengajarkan, seringkali kehancuran suatu bangsa disebabkan oleh ulah manusia yang semena-mena, serakah, dan pongah terhadap alam. Mereka terang-terangan mengangkangi sumberdaya alam yang diberikan Tuhan untuk kepentingan hidup bermewah-mewahan, dan menggunakan nilai keekonomian sumberdaya alam untuk kemakmuran penguasa. Tidak untuk kesejahteraan rakyatnya. Menggunakan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta nilai keekonomian sumberdaya alam untuk menjajah bangsa-bangsa lain.
Mereka menjelajah berbagai belahan bumi, dan menebar kerusakan di mana-mana, usai mereka mengibarkan bendera-bendera kekuasaan di Timur dan di Barat. Kemudian Tuhan murka atas mereka dan melenyapkan mereka dengan berbagai bencana yang ditimbulkan oleh berubahnya daya dukung sumberdaya alam.
Kisah hancurnya suku Amalek yang diabadikan di dalam Perjanjian Lama sebagai bangsa penjajah. Mereka menyerang bangsa Yahudi yang eksodus dari Mesir, di kawasan Ephraim (sekitar Gunung Sinai) pada zaman Hezekiah. Setelah kehancurannya, bangsa ini menjadi obyek sumpah serapah, dan menyebabkan dendam tak berkesudahan bangsa Yahudi. Dendam kesumat yang digerakkan oleh hawa nafsu untuk menguasai sumberdaya alam dan menguasai bangsa lain, ini pula yang kemudian mendorong bangsa Yahudi akhirnya menjadi kaum zionis. |