Untung Rugi Menaikkan Harga Rokok

| dilihat 2197

AKARPADINEWS.COM | WACANA pemerintah menaikkan harga cukai rokok hingga mencapai Rp50 ribu per bungkus disambut pro kontra. Bagi para penghisap rokok, khususnya yang berkantong pas-pasan, harga yang kelewat mahal, tentu rada berpikir membeli rokok.

Daripada membeli rokok, lebih baik membeli kebutuhan pokok. Selain menghemat pengeluaran, berhenti--atau setidaknya mengurangi rokok, bakal menyehatkan. Karena, zat yang terkandung dalam rokok diyakini dapat menyebabkan penyakit kanker, jantung, gangguan pada janin, dan kematian. 

Masalahnya, tak hanya itu. Melonjaknya harga rokok yang berpengaruh menurunkan daya beli konsumennya, akan mengancam nasib buruh pabrik rokok dan petani tembakau. Industri rokok dipastikan akan menurunkan tingkat dan biaya produksi. Mau tidak mau, rasionalisasi pun dilakukan. Dan, buruh pun terpaksa dirumahkan.

Karenanya, para buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSBI) menolak wacana menaikkan harga rokok. Buruh setuju pertimbangan kesehatan menjadi prioritas dalam menentukan harga rokok. Tetapi, rencana kenaikan harga rokok juga harus mempertimbangkan nasib buruh.

Apalagi, 80 persen pekerja di industri rokok adalah pekerja outsourcing yang sudah puluhan tahun bekerja dan rentan terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dari hitung-hitungan KSPI, menaikkan harga cukai rokok akan menambah angka pengangguran baru, khususnya pekerja rokok hingga mencapai 4,7 juta orang. Nasib 1,2 juta petani tembakau pun terancam.

"Apakah pemerintah sudah menyiapkan lapangan kerja yang baru dan kebijakan diversifikasi baru buat petani tembakau? Pemerintah jangan hanya mau enak dan gampangnya saja mendapat dana tambahan cukai rokok, tapi tidak memikirkan nasib buruh industri rokok dan petani tembakau yang akan makin suram masa depan anak dan keluarganya," tegas Presiden KSBI Said Iqbal dalam pernyataan persnya di Jakarta, kemarin.

Buruh juga tidak yakin tingginya cukai rokok diarahkan untuk meningkatkan anggaran kesehatan. Karena, KSPI pernah mengusulkan agar dana cukai rokok digunakan untuk meningkatkan anggaran dan memperluas jumlah peserta JKN-KIS dan BPJS Kesehatan untuk orang miskin, termasuk buruh penerima upah minimum. Tetapi, tidak pernah disetujui.

Buruh pun curiga, jika kebijakan menaikkan harga rokok yang dana cukai rokok hingga mencapai ratusan triliun rupiah, hanya akal-akalan pemerintah untuk menutupi kegagalan implementasi tax amnesty demi menambal defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Buruh juga menyakini, mahalnya harga rokok tidak akan menekan konsumsi perokok. Bahkan, bisa memicu masuknya rokok ilegal yang dijual dengan harga murah. "Kita tahu pengawasan pemerintah lemah dan mental korupt birokrat yang masih kuat," terang Iqbal.

Bagi buruh, bila pemerintah menaikkan harga rokok, sama saja menghisap darah rakyat kecil--yang sebagian besar adalah perokok. "Karena itu, KSPI berpendapat, menaikkan harga rokok, tapi memperkuat pendidikan dan kampanye tentang bahayanya merokok terutama di kalangan generasi muda serta menaikkan sebesar-besarnya pajak penghasilan para pengusaha industri rokok," terangnya.

Faktanya, pengusaha rokok di negara ini adalah orang terkaya, sementara buruhnya dibayar dengan upah buruh murah dan sebagian besar adalah buruh outsourcing.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon juga mengingatkan pemerintah pentingnya memperhatikan nasib buruh dan para petani tembakau. "Jangan tiba-tiba menetapkan harga Rp50 ribu. Ini kan dampaknya sangat besar, bagi para petani tembakau, para pengguna. Jadi bukan hanya industrinya," katanya di Gedung DPR, Jakarta.

Fadli sepakat bila rokok membahayakan kesehatan. Namun, politisi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang mengaku tidak merokok itu menekankan pentingnya melakukan kajian mendalam sebelum pemerintah menaikkan harga rokok. "Saya setuju rokok membahayakan kesehatan, tetapi bagaimana dengan ekonomi kita yang masih di supply cukai rokok," katanya. Harus diakui, kontribusi cukai rokok bagi penerimaan negara sangat besar. Di tahun 2015, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan negara dari cukai rokok mencapai Rp139,5 triliun.

Tingginya penerimaan negara dari cukai rokok tidak terlepas dari tingginya tingkat penghisap rokok di negara ini. Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah perokok terbanyak di Asia Tenggara. Jumlah pengisap rokok diperkirakan mencapai 51,1 persen dari total penduduknya.

Dan, para perokok itu sebagian besar berasal dari keluarga miskin. "Penduduk miskin menjadi korban utama rokok, begitu memprihatinkan," kata Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau dan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) di Jakarta, belum lama ini. Sementara proporsi terbanyak perokok aktif ada pada umur 30-34 tahun (33,4 persen), 35-39 tahun (32,2 persen).

Widyastuti yang juga dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) menyesalkan jika industri rokok mendapat perlindungan pemerintah, dibiarkan bebas beriklan dan menjadi stakeholder kebijakan pengendalian tembakau. Harusnya, kata dia, pemerintah melakukan pengendalian tembakau. "Kita ingin masa depan lebih sehat bagi masyarakat," katanya.

Ketua Pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, tarif cukai dan harga rokok di Indonesia, termasuk yang terendah di dunia sehingga masih bisa dijangkau oleh anak-anak dan masyarakat miskin.

Karenanya, menurut dia, naiknya tarif cukai dapat melindungi rumah tangga miskin dan anak-anak, sekaligus meningkatkan penerimaan negara untuk dialokasikan ke anggaran kesehatan. "Rokok berbahaya bagi kesehatan dan sama sekali tidak memiliki kandingan kalori sama sekali. Bila tidak bisa membeli rokok, rumah tangga miskin bisa menggunakan uangnya untuk menambah kalori keluarga," tuturnya.

Karenanya, Tulus menambahkan, sudah seharusnya harga rokok mahal. Di negara maju, harga rokok sudah lebih dari Rp100 ribu dan tidak membuat pabrik rokok bangkrut. "Pabrik rokok memberhentikan buruhnya karena pabrik melakukan mekanisasi, menggantikan buruh dengan mesin," katanya.

Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, Kementerian Keuangan belum menetapkan aturan terbaru mengenai harga jual eceran maupun tarif cukai rokok.

Dia menambahkan, Kementerian Keuangan akan melakukan kajian mengenai kebijakan penetapan harga jual eceran maupun tarif cukai rokok sesuai Undang-Undang (UU) Cukai, dan dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2017. Keputusan mengenai harga baru cukai dan harga jual rokok diperkirakan akan diputuskan sebelum pembahasan UU APBN 2017.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi menjelaskan, kenaikan harga jual terbaru mempertimbangkan sejumlah faktor berdasarkan masukan dari penggiat kesehatan, termasuk dari petani tembakau dan cengkeh, pekerja industri rokok, distributor, pedagang, dan masyarakat.

Pengaruh kenaikan harga rokok terhadap inflasi juga menjadi pertimbangan.  "Jumlahnya, kalau ditotal dari supply chain tadi sekitar hampir enam juta orang sehingga kita harus memperhatikan," kata dia. Heru memperkirakan, kenaikan harga rokok diumumkan di akhir September 2016.

*****

Rencana kenaikan harga cukai rokok harus benar-benar dipertimbangkan secara matang. Karena, tembakau, cengkeh, dan produk turunan lainnya, memiliki nilai ekonomi, yang tidak hanya menyangkut pendapatan negara, namun juga nasib para petani dan buruh industri rokok. Namun, pemerintah juga harus mempertimbangkan suara-suara masyarakat yang anti tembakau, lantaran menggangu kesehatan dan lingkungan hidup.

Di beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa, karena terbukti asap rokok menebar penyakit, menerapkan kebijakan yang tidak mendukung industri rokok. Namun, industri rokok asal AS, Philip Morris International Inc, gencar melakukan ekspansi, termasuk ke Indonesia.

Perusahaan penghasil asap yang bermarkas di 120 Park Ave, New York City, New York itu pada tahun 2013, masuk dalam daftar Fortune 500, sebuah daftar peringkat perusahaan berdasarkan pendapatan kotornya.

Philip Morris International Inc berada dalam peringkat 100, sebelumnya peringkat 99, dengan pendapatan sekitar US$31,217 miliar, keuntungan sebesar US$8,57 miliar, dan total aset sebesar US$38,16 miliar.

Di awal Januari 2005, Philip Morris International Inc membeli 40 persen saham PT HM Sampoerna, Tbk, perusahaan rokok terbesar di Indonesia. Nilai transaksi diperkirakan mencapai US$5,2 miliar. Aksi korporasi itu makin mengukuhkan Philip Morris International Inc sebagai produsen terbesar rokok di dunia. Keuntungan rokok yang diraup sangat besar. Di tahun 2014, PT HM Sampoerna meraup keuntungan bersih hingga mencapai Rp80,69 triliun, naik 7,55 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp75,02 triliun.

Di Indonesia, gerakan anti-rokok juga gencar dilakukan. Sejumlah peraturan juga diterbitkan. Misalnya, Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok, Pergub Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok, dan Pergub Nomor 50 Tahun 2012 tentang Pembinaan, Pengawasan, dan Penegakan Hukum Kawasan Dilarang Merokok.

Lalu, berdasarkan Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 ditegaskan pula ketentuan tentang penggunaan zat adiktif agar tidak membahayakan kesehatan perokok dan manusia lainnya yang terpapar asap rokok. Gerakan antirokok juga mengacu pada Konvensi Kerangka Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang diresmikan 27 Februari 2005 lalu.

Saat ini, sebanyak 168 negara telah menandatangani FCTC yang 57 di antaranya telah meratifikasinya antara lain Australia, Kanada, Singapura, Sri Langka, Thailand dan Jepang. Indonesia merupakan salah satu negara yang belum menandatangani FCTC. Alasannya, akan mengancam industri rokok kretek Indonesia.

******

Jika kuba dikenal sebagai cerutunya, maka Indonesia dikenal dengan kreteknya. Mark Hanusz dalam The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes menjelaskan, "Kretek itu tidak ada di Amerika Serikat, tidak ada di Eropa, atau negeri-negeri lain. Hanya ada di sini, khas Indonesia.”

Krektek, dengan tembakau dan cengkeh yang memiliki citarasa khasnya, diyakini menjadi salah satu pemicu bangsa-bangsa asing menjajah Indonesia. Agus Salim, salah satu tokoh bangsa, yang menjadi penikmat kretek, saat bertandang ke Istana Buckingham pada tahun 1953 pernah lugas menjawab pertanyaan pangeran Philips suami Ratu Inggris Elizabeth II. Kala itu, Philips bertanya, "Apakah gerangan rokok yang Tuan hisap itu?”

Sembari menikmati kreteknya, Agus Salim menjawab, “Inilah (krektek) sebabnya 300 atau 400 tahun yang lalu, bangsa Barat mengarungi lautan mendatangi (menjajah) negeri kami.” Dia menilai, bangsa asing, khususnya Belanda selama ratusan tahun menjajah Indonesia karena kaya rempah-rempahnya, termasuk tembakau.

Rokok sendiri dikenal pertama kali pada abad ke-15, saat Colombus menginjakkan kaki di Benua Amerika tahun 1518. Saat itu, penduduk asli, Indian, sudah terbiasa mengisap rokok.

Sejak itu, orang-orang Spanyol ketularan mengisap rokok. Tahun 1850, rokok pun menjalar ke Eropa yang diperkenalkan tentara Inggris saat perang. Di Amerika Serikat, rokok dikenal sekitar tahun 1865. Di negara timur tengah, kebiasaan merokok berkembang di akhir abad 10 hijriah yang diperkenalkan orang Yahudi dan Nasrani. Di Mesir, rokok merambah tahun 1601. Dalam perkembangan berikutnya, rokok diproduksi besar-besaran di Meksiko sekitar tahun 1765. Produksi makin masif saat ada mesin Peace Cutter tahun 1860.

Di Indonesia, perkembangan produksi kretek tidak terlepas dari penanaman tembakau yang diinisiasi Pemerintah Kolonial Belanda di bawah kekuasaan Van De Bosch tahun 1830 melalui penerapan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) di Semarang, Jawa Tengah. Namun, sempat mengalami kegagalan.

Karena tingginya kebutuhan pasar, pada tahun 1856, Belanda kembali menanam tembakau di lahan yang lebih luas lagi di Besuki, Jawa Timur dan berbagai daerah lainnya. Hingga saat ini, Besuki, Klaten (Jawa Tengah), dan Deli (Sumatera Utara) merupakan daerah penghasil tembakau potensial.

Dalam masyarakat Indonesia, dikenal pula tradisi ”menginang” yang dianggap cikal bakal persentuhan orang Indonesia dengan kretek, dengan mencampurkan kapur (injet), gambir, dan tembakau, lalu dibungkus kulit jagung kering (klobot).

Berbeda dengan bangsa asing, di Indonesia, tembakau terlebih dahulu dirajang, dikeringkan, dicampur dengan cengkeh atau rempah lain, dan digulung dengan klobot atau kertas sehingga jadilah kretek.

Penamaan kretek, tidak bisa dilepaskan dari nama Haji Djamhari, petani dari Kota Kudus, Jawa Timur. Pada suatu hari, sekitar akhir abad ke-19 (1870-1880), secara tidak sengaja, Djamhari menambahkan cengkeh ke dalam lintingan tembakau miliknya. Setelah menghisap lintingan tersebut, penyakit asma dan sakit dada yang dideritanya sembuh. Sejak itulah, orang-orang mulai mengikuti jejaknya. Mengenai penamaan kretek sendiri, disebut-sebut karena menyerupai bunyi tembakau saat terbakar, "Kretek.... kretek..." Kretek sebenarnya berbeda dengan rokok putih yang hanya berbahan tembakau. Kretek juga tidak ada filter.

Kota Kudus dikenal penghasil kretek dengan basis produksi industri rumahan hingga industri besar. Dalam perkembangannya, eksistensi rokok kretek Indonesia itu menghadapi persaingan di pasar global.

Kretek bertarung dengan rokok putih, sekaligus menghadapi gencarnya kampanye antirokok yang disuarakan perusahaan obat dunia. Dalam buku bertajuk, "Membunuh Indonesia: Konspirasi Global Penghancuran Kretek" disebutkan bahwa persaingan tersebut merupakan usaha untuk mematikan perekonomian lokal Indonesia.

Kalangan komunitas kretek menganggap, konspirasi penghancuran rokok kretek Indonesia akan berdampak matinya perusahaan kretek yang mengakibatkan suramnya masa depan petani tembakau dan buruh pabrik. Selain itu, pemasukan negara akan berkurang drastis mengingat pemasukan negara dari cukai rokok sangat besar. "Terlalu naif jika kita membicarakan rokok atau kretek sebagai satu-satunya pemicu Kanker, banyak tuduhan buruk yang kita patahkan,” ucap Jibal Windiaz, pendiri Komunitas Kretek Jakarta beberapa waktu lalu (Baca: Kretek dalam Pusaran Global)

Komunitas itu mencurigai motif industri-industri asing yang memproduksi rokok putih dan farmasi internasional, yang begitu intensif menggulirkan wacana yang menghantam eksistensi kretek Indonesia.

Memang, tak bisa ditampik jika kretek merupakan komoditas yang menjadi incaran kepentingan bisnis asing. Seperti halnya kekayaan rempah-rempah nusantara yang menjadikan negeri ini dijajah Belanda.

Meningkatnya gerakan antirokok, termasuk makin tingginya pengenaan cukai tentu akan mengancam industri rokok dan petani tembakau dan cengkeh di Indonesia. Sementara di sisi lain, pemerintah tidak bisa mengabaikan kontribusi industri rokok bagi penerimaan negara dari cukai, termasuk menyerap banyak tenaga kerja.

Karenanya, pemerintah harus benar-benar menghitung untung rugi dengan mengedepankan analisis cost and benefit sebelum menaikkan harga cukai rokok. Memang rokok dapat menganggu kesehatan sehingga dapat menyebabkan munculnya cost seperti biaya pengobatan. Namun, cukai rokok yang mencapai ratusan triliun rupiah harusnya benar-benar dialokasikan untuk anggaran kesehatan, termasuk mengantisipasi dampak sosial bagi pekerja industri rokok yang terancam akan terkena dampak akibat naiknya cukai rokok.

Artinya, wacana menaikkan harga rokok, tidak hanya berorientasi meningkatkan devisa negara atau mempertimbangkan pentingnya mencegah rokok bagi kepentingan kesehatan. Namun juga harus mempertimbangkan nasib pekerja yang kehilangan pekerjaan. Selain itu, bila industri rokok terancam, yang rugi juga pemerintah karena kehilangan pemasukan yang bersumber dari cukai rokok. Di sinilah pentingnya mengacu pada konsep Pareto optimality, di mana kebijakan yang diterapkan tidak sekadar berdasarkan pertimbangan ekonomi, namun harus juga benar-benar menciptakan keadilan dan makin menyejahterakan seluruh masyarakat.

M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Antara/Berbagai sumber
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1095
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 273
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 136
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya