Soal TKA Yang Diperlukan Cara Bukan Alasan

| dilihat 4025

N. Syamsuddin Ch. Haesy

INI catatan ringan tentang tenaga kerja asing. Berangkat dari realitas dan pengalaman yang pernah terjadi di negeri ini.

Perusahaan penanaman modal asing INCO (kini bernama Vale) tahun 2006 – 2010. Ketika itu masih didominasi kepemilikannya oleh Canada dan Jepang. Ketika itu yang memimpin sebagai President Director sekaligus Chief Executive Officer adalah Arief S. Siregar.

Arief, jebolan Institute Teknologi Bandung (ITB) melakukan tindakan nyata, melakukan pengurangan tenaga kerja asing (TKA) secara gradual. Sampai dia berhenti sebagai CEO, sebelum akhirnya saham INCO dibeli oleh Vale, dia berhasil mengurangi tenaga kerja asing di perusahan tambang nikel yang terletak di Sorowako, itu sampai 25 persen.

Pertimbangannya : setiap tahun kemampuan tenaga kerja domestik (nasional dan lokal) terus berkembang baik. Bahkan di pasar tenaga kerja pertambangan internasional, permintaan terhadap tenaga kerja Indonesia, antara lain lulusan ITB terus meningkat, baik untuk sektor mineral maupun Migas.

Arief bersikap, meskipun perusahaan tambang internasional itu merupakan bagian dari foreign direct invesment (FDI), tak serta-merta investor harus membawa serta tenaga kerja asing untuk masuk dan bekerja, khususnya padaposisi-posisi yang sudah mampu dikerjakan oleh orang Indonesia.

Arief menyadari, sikapnya bukan merupakan ekspresi dari narrow nationalism, justru merupakan ekspresi nasionalisme berdimensi global.

Arief tak hanya memberikan peluang kepada tenaga kerja domestik Indonesia untuk menempati posisi-posisi strategis. Melalui kebijakannya di sektor human invesment dan dalam konteks praktik corporate social responsibility (CSR), dilakukan program penyiapan tenaga kerja lokal yang berkemampuan mengelola tambang dan berbagai sub sektor yang terkait dengan hal itu.

Cara yang ditempuh adalah menyiapkan beasiswa bagi anak-anak di lingkungan masyarakat sekitar tambang, baik untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah, program strata 1, strata 2 dan strata 3.

Ada kesadaran luar biasa, dengan mengurangi tenaga kerja asing dan memberi porsi proporsional – sesuai perkembangan kemampuan pengetahuan dan teknologi – bagi tenaga kerja domestik (lokal dan nasional Indonesia).

Ternyata mampu. Belakangan, beberapa mantan tenaga kerja domestik yang dibinanya, bahkan berhasil menyelesaikan studi strata 3 dan meraih gelar Doktor. Beberapa lainnya, kini memimpin perusahaan tambang, yang mampu berkompetisi dengan perusahaan tambang asing. Bahkan memimpin ekspansi perusahaan tambang nasional ke jiran, seperti Jresource yang mengambil alih tambang emas di Penjom – Kuala Lipis – Negeri Pahang.

Mencontoh apa yang dilakukan Arief, para kadernya yang memimpin perusahaan tambang di jiran, memberlakukan hal yang sama. Memberi porsi proporsional kepada tenaga kerja domestik, dan merekrut tenaga kerja Indonesia. Kemampuan tenaga kerja domestik ternyata mampu mengganti tenaga kerja asing yang sebelumnya selama bertahun-tahun menguasai pertambangan itu.

Untuk penambangannya di Indonesia, perusahaan tambang nasional itu, hanya memberi porsi kepada tenaga kerja asing tak lebih dari 3 persen, sesuai dengan bidang kompetensi yang belum bisa diisi oleh tenaga kerja domestik Indonesia.

Dari pengalaman tersebut, menjadi ironis, ketika pada perusahaan smelter nikel di Morowali – yang bersebelahan dengan Sorowako – meski beda provinsi, dominasi tenaga kerja asing justru lebih besar. Padahal bidang tugas dan posisi yang diberikan kepada tenaga kerja asing tersebut, sudah mampu dikerjakan oleh tenaga kerja domestik Indonesia.

Soal TKA bukan hanya berkait dengan berapa lama mereka bekerja dan bagaimana pengawasannya, tetapi lebih ke soal bagaimana pemerintah mempunyai keberanian bersikap tegas untuk mendahulukan tenaga kerja domestik Indonesia di perusahaan-perusahaan modal asing untuk posisi dan bidang pekerjaan yang sudah dikuasai oleh tenaga kerja Indonesia.

Sangat tidak relevan membandingkan jumlah tenaga kerja Indonesia yang menjadi migran workers di negara lain dengan jumlah tenaga kerja yang dibawa pemodal asing (khasnya dari Tiongkok) ke Indonesia.

TKI di luar negeri ada karena negara-negara tujuan migran workers memang memerlukannya, dan sama sekali tidak berhubungan dengan investasi perusahaan Indonesia di luar negeri. Kalaupun ada, bilangannya sedikit, dan itu terjadi pada paruh pertama dekade 90-an, ketika sejumlah pengusaha Indonesia berinvestasi di Vietnam.

Keberadaan TKA dari Tiongkok, tak hanya meresahkan di Indonesia, di Vietnam dan Malaysia, keberadaan mereka juga dipersoalkan. Terutama karena keberadaan mereka dianggap ‘merampas’ peluang bagi tenaga kerja domestik.

Indonesia perlu mencontoh Jepang yang tak memberi peluang bagi TKA, kecuali dalam konteks program magang, kenshusei sesuai dengan program alih teknologi yang diberlakukan oleh pemerintah Jepang untuk negara-negara sahabatnya.

Kenshusei memang melakukan pekerjaan atau bekerja sebagaimana halnya tenaga kerja domestik Jepang bekerja. Hal itu dilakukan tanpa mengurangi peluang bagi tenaga kerja domestik, dan terkait dengan kerjasama bilateral terkait dengan transfer of knowledge and technology.

Kelak ketika mereka kembali ke Indonesia, dengan pengalaman menyeluruh – termasuk nilai dan budaya kerja – mereka bisa bekerjasama dengan industri Jepang yang berada di Indonesia.

Belakangan hari, dari apa yang kita serap informasinya melalui media (khususnya media mainstream) dalam hal TKA (khususnya dari Tiongkok) di Indonesia, yang dilakukan pemerintah lebih kepada memberikan alasan-alasan. Bahkan kadangkala dengan logika yang tidak menyentuh substansi.

Padahal yang kita perlukan adalah cara, bagaimana pemerintah mengatasi hal tersebut. Misalnya, seberapa jauh, misalnya, Kementerian Tenaga Kerja melakukan manpower plan – termasuk carrier and renumeration plan – untuk tenaga kerja Indonesia.

Dalam komnteks ini pelatihan warga sebagai tenaga kerja domestik menjadi penting dilakukan, sehingga Balai Latihan Kerja (BLK) tidak hanya diperuntukkan hanya untuk memenuhi pasar kerja internasional.

Lantas, seberapa jauh pula Kementerian Tenaga Kerja telah sungguh melakukan konsolidasi ketenagakerjaan melalui sinergi dengan kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Perindustrian, dan kementerian-kementerian lain.

Apalagi di dalam Kabinet Kerja Presiden Jokowi ada Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang dapat melihat dengan seksama relevansi manpower plan secara menyeluruh dengan Kementerian Teknis lainnya.

Ke depan, siapapun yang akan memerintah negara ini, perlu memberi prioritas pada perencanaan modal insan. Inilah yang kita sebut dengan politik modal insan. Dengan cara itu, bangsa ini akan memiliki nation dignity proporsional dan relevan untuk menyandingkan foreign direct investment (FDI) dengan human invesment (termasuk human capital) di dalamnya. |

Editor : sem haesy
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 712
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 869
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 820
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 498
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1581
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1371
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya