Siaga Menangkal Ancaman Krisis

| dilihat 2041

AKARPADINEWS.COM | NILAI tukar rupiah terus menukik. Angkanya menyentuh level di atas Rp14.000 per dolar AS. Indonesia pun dikhawatirkan akan terseret dalam pusaran krisis ekonomi jilid baru. Jika rupiah terus mengalami depresiasi, maka dapat membahayakan perekonomian negara.

"Ini membahayakan, baik bagi pemerintah maupun dunia usaha," kata Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali, di Jakarta, Senin (24/8). Nilai kurs rupiah saat ini memang nyaris serupa saat Indonesia diterpa krisis tahun 1998. Kala itu, kurs dolar menyentuh level di atas Rp15.000. Inflasi yang tidak terkendali, akhirnya memicu krisis sosial. Karenanya, perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.

Di tengah kekhawatiran itu, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dituntut untuk lebih siaga menghadapi ancaman krisis. Sejauh ini, pemerintah, BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mencermati pergerakan nilai tukar mata uang dunia. Pemerintah dan BI juga selalu menyakinkan masyarakat dan pelaku pasar jika perekonomian Indonesia saat ini jauh lebih sehat dibandingkan tahun 1998.

Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brojonegoro memastikan, kondisi makro perekonomian nasional sangat baik. Meski rupiah tengah terpuruk, Menkeu memastikan, "Kondisi ekonomi kita terkendali," tegasnya di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (25/8). Menkeu menambahkan, inflasi saat ini masih rendah, pertumbuhan ekonomi masih positif, dan rasio kredit macet (non performing loan/NPL) pun terkendali.

Pemerintah pun mengklaim, dengan fundamental perekonomian yang kuat, bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal IV-2015 yang ditargetkan mencapai 5,44 persen.

Gubernur BI Agus Martowardojo juga memastikan, fundamental perekonomian Indonesia saat ini lebih lebih baik dibandingkan tahun 1998 dan tahun 2008. Pasalnya, cadangan devisa Indonesia jauh lebih tinggi dan inflasi yang terkendali. Dia menjelaskan, di tahun 1997-1998, inflasi mencapai 60 persen, berbeda jauh dibandingkan saat ini yang berkisar empat persen.

Dibandingkan tahun 1998, depresiasi rupiah mencapai lebih dari 80 persen. Nilai tukar rupiah menukik tajam dari kisaran Rp4.850 per dolar AS di tahun 1997 hingga menembus level Rp17.000 per dollar AS pada Januari 1998.  Sementara saat ini, nilai tukar rupiah memang sejak tahun 2014, menunjukan performa yang tidak menyakinkan. Penurunan tajam terlihat sejak Maret hingga Agustus 2015, dari kisaran Rp13.200 menjadi Rp14.020 per dolar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, rupiah mengalami depresiasi sebesar 1,25 persen sepanjang Juli 2015.

Memang, tak bisa dipungkiri, melemahnya nilai tukar rupiah lebih disebabkan faktor eksternal yang sulit diintervensi pemerintah. Keterpurukan rupiah disebabkan karena pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS). Kondisi makin mengkhawatir lantaran Tiongkok melakukan devaluasi mata uangnya, Yuan, yang berpotensi memicu perang mata uang (currency war). Dinamika perekonomian dua negara adidaya itu, mempengarui gejola finansial berbagai negara, termasuk Indonesia.

Negeri Paman Sam telah berhasil melepas jerat krisis dengan pertumbuhan ekonomi para kuartal II-2015 menembus angka 2,3 persen. Ekonomi AS menguat 0,6 persen dibandingkan kuartal I-2015. Meningkatnya belanja konsumen memicu pertumbuhan ekonomi AS, dan menekan angka pengangguran yang kini menjadi 5,3 persen. Pasar tenaga kerja yang kondusif dan rendahnya inflasi, membuat investor yakin terhadap perekonomian AS. Akibatnya, aliran modal asing banyak yang terserap ke negara itu. Sementara negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang perekonomiannya ditopang investasi tentu terkena imbas, di mana pergerakan arus modal menjadi lambat.

Indonesia sendiri dihadapi posisi dilematis. Tatkala kondisi perekonomian Paman Sam terpuruk, tetap saja Indonesia terkena imbasnya. Di tahun 2008, perekonomian Indonesia keteteran menghadapi gejolak perekonomian global yang dipicu langkah bank utama Eropa, BNP Paribas membekukan beberapa sekuritas yang terkait dengan kredit perumahan berisiko tinggi di AS (subprime mortgage) pada Agustus 2007.

Keterpurukan ekonomi global kala itu dimulai saat bangkrutnya bank investasi terbesar AS Lehman Brothers, yang kemudian diikuti sejumlah lembaga keuangan berskala besar di AS, Eropa, dan Jepang.

Jatuhnya harga perumahan di AS, meningkatnya foreclosures (pengambilalihan) kepemilikan rumah akibat ketidakmampuan debitur dalam melakukan pembayaran dan juga kerugian dari akitivitas di pasar finansial, membuat konsumen di AS dan Eropa kehilangan daya beli. Kondisi ini memukul aktivitas bisnis dunia karena AS dan beberapa negara Eropa merupakan pasar dunia. Krisis finansial tersebut kemudian merambah ke seluruh perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Perekonomian domestik bergerak melambat akibat gejolak di pasar modal dan pasar uang. Nilai tukar rupiah terkoreksi tajam hingga mencapai level Rp10.900 per dolar pada akhir Desember 2008.

Di era perdagangan bebas saat ini, setiap negara akan terkena dampaknya tatkala negara lain mengalami krisis. Kondisi itu merupakan konsekwensi interdependensi perekonomian global. Apalagi, tatkala krisis itu melanda negara-negara maju. Pergerakan ekonomi global sangat dipengarui kebijakan ekonomi yang diluncurkan bank sentral negara-negara tersebut. Karenanya, saat perekonomian AS tumbuh, dolar menjadi mata uang yang perkasa, lantaran dipicu kebijakan stimulus The Fed, Bank Sentral AS, Indonesia juga kelimpungan.

Kondisi perekonomian global saat ini, seperti digambarkan Menkeu Bambang Brojonegoro, tidak rasional dan sentimen pasar yang berlebihan. Namun, pemerintah baiknya tidak melulu menyalahkan faktor eksternal sebagai biang keterpurukan rupiah. Jika tidak ada cara jitu mengantisipasi dampak perekonomian global itu, maka selamanya perekonomian Indonesia akan mudah goyah.

Dalam konteks ini, pemerintah harus lebih fokus pada penanganan masalah domestik dengan lebih meningkatkan kepercayaan pasar dan investor. Di tengah melemahnya nilai tukar rupiah, pemerintah dituntut lebih ramah kepada investor, pelaku usaha, bukan justru menerapkan kebijakan-kebijakan yang memberatkan.

Pemerintah sebenarnya tidak diam menyikapi keterpurukan rupiah. Pemerintah sudah pernah meluncurkan paket kebijakan ekonomi pada Maret 2015 lalu untuk menjaga stabilitas perekonomian dan pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dengan menekan defisit neraca transaksi berjalan.

Pemerintah juga memberlakukan pengenaan bea masuk anti dumping, bea masuk pengamanan sementara untuk produk impor yang terindikasi dumping, dan insentif pajak untuk perusahaan yang produknya minimal 30 persen untuk ekspor. Insentif juga diberikan kepada industri galangan kapal dengan tidak lagi dipungut PPN, dan insentif pajak bagi perusahaan asing yang tidak mengirimkan deviden 100 persen ke negara asal.

Pemerintah juga terus berupaya meningkatkan dan menjaga aliran modal (capital inflow). Sejauh ini, arus modal keluar (capital outflow) lebih banyak terjadi di pasar modal dibandingkan dari sisi obligasi pemerintah dalam hal ini Surat Utang Negara (SUN). Para pelaku pasar cenderung lebih memilih ke negara-negara yang aman untuk investasi seperti Amerika Serikat.

Namun, paket kebijakan ekonomi dan beragam upaya yang dilakukan pemerintah itu nyatanya belum ampuh menaklukan dolar. Faktor lemahnya kepercayaan pasar diyakini sejumlah pengamat menjadi penyebabnya. Karenanya, keterlibatan pengusaha juga menjadi sangat penting dalam menyikapi masalah keterpurukan rupiah.

Senin, 24 Agustus lalu, Presiden Joko Widodo mengumpulkan gubernur, pengusaha, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati), Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda), dan sejumlah menteri di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat. Kepada pelaku usaha, pemerintah menyakinkan agar tetap semangat dalam menghadapi situasi perekonomian saat ini.

Dalam pertemuan itu, pemerintah mengakui jika melonjaknya nilai tukar dolar juga disebabkan persoalan domestik. Karenanya, salah satu upaya yang akan dilakukan pemerintah adalah memaksimalkan penyerapan anggaran. Dalam pertemuan itu, Presiden menyarankan agar kepala daerah tidak takut dikriminalisasi karena menerapkan kebijakan terkait penggunaan anggaran.

Kepala daerah selama ini merasa takut menggunakan anggaran karena khawatir terjerat hukum. Akibatnya, anggaran tidak terserap dengan maksimal dan disimpan di bank. Kementerian Keuangan mencatat, penyerapan belanja pemerintah masih rendah. Hingga akhir Juni lalu, anggaran yang terserap berkisar Rp436,1 triliun (33,1 persen) dari pagu Rp1.319,5 triliun. Padahal, optimalisasi penyerapan belanja pemerintah daerah untuk pembangunan dapat menjadi stimulus bagi investor sehingga tertarik berinvestasi yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional.

Sementara Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menyarankan agar Indonesia tidak perlu terpengaruh dengan irama perekonomian global, namun menempatkan posisi sebagai lawan. Dia juga mendorong pemerintah melakukan deregulasi besar-besaran. Dengan demikian, dapat menyakinkan investor dan mempercepat pertumbuhan.

Upaya pemerintah menyakinkan pelaku usaha memang harus terus dilakukan. Melemahnya rupiah tentu dapat memicu kepanikan pelaku usaha yang dapat berpengaruh terhadap likuiditas keuangan dan meningkatnya risk aversion atau keengganan untuk mengambil resiko karena adanya ketidapastian sehingga memicu realokasi ke aset ke tempat yang lebih aman. Jika itu terjadi, maka akan berdampak menurunnya kinerja neraca transaksi modal dan finansial, termasuk kinerja ekspor. Ketidaksigapan pemerintah membaca ekspektasi pelaku usaha juga akan berdampak pada eksistensi usaha, yang tentu akan berpengaruh terhadap nasib tenaga kerja.

Selain itu, kondisi perekonomian yang tidak stabil di sejumlah negara tentu akan berpengaruh terhadap ekonomi domestik. Karenanya, pemerintah jangan hanya fokus mencermati realitas ekonomi di AS. Namun, dinamika ekonomi di negara-negara Eropa, Tiongkok, dan negara-negara lainnya, juga harus harus dicemarti karena juga dihadapi persoalan melambatnya pertumbuhan ekonomi.

Melambatya perekonomian Tiongkok misalnya, tentunya turut berdampak bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut catatan BI, jika perekomian Tiongkok tergerus satu persen, maka ekonomi Indonesia akan ikut tergerus 0,4-0,6 persen. Pasalnya, Tiongkok merupakan pasar utama komoditas perdagangan Indonesia. Pada Juni 2015, ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai US$6,64 miliar. Ekspor Tiongkok Januari-Juni 2015 itu mengalami penurunan 25,97 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2014. Indonesia juga perlu lebih ekspansif mendorong ekspor ke negara-negara lain yang selama ini belum maksimal dijamah.

M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Dari Berbagai Sumber
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 30
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 228
Cara Iran Menempeleng Israel
14 Apr 24, 21:23 WIB | Dilihat : 232
Serangan Balasan Iran Cemaskan Warga Israel
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 918
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1153
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1411
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1556
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya