Pariwisata

Rebranding & Rethinking Indonesia

| dilihat 2709

Bang Sem

PEMERINTAH Republik Indonesia, melalui Menteri Pariwisata Arief Yahya, menunjuk Prof. Phillip Kottler – begawan marketing dunia sebagai ambassador pariwisata Indonesia. Langkah yang ditempuh Arief dalam keseluruhan konteks upaya menjadikan Indonesia sebagai destinasi wisata dengan target mencapai 20 juta wisatawan, patut dipujikan, karena tepat.

Hal yang sama apresiasi juga patut diberikan, karena sebagai orang berbasis teknologi informasi, Arief memilih jalan promosi yang tepat: memperbesar volume promosi via sosial media.

Selaras dengan langkah tepat itu, satu hal yang semestinya juga dilakukan adalah melakukan perubahan angle dalam keseluruhan konteks branding Indonesia, sehingga kita tidak terjebak pada sekadar menjual ‘pesona,’ Wonderful Indonesia.

Dalam tulisan lain, saya kemukakan, lupakanlah pesona Indonesia, karena dalam banyak hal, sungguh tidak mempesona. Misalnya, akal budi manusia Indonesia yang dulu dielu-elukan, kini tak tampak lagi. Melalui siaran televisi internasional, yang justru menyebar adalah hal yang sebaliknya: Indonesia yang pamberang dan kehilangan akal budi.

Dalam hal keelokan alam dan kemampuan bangsa ini mengelola dan melindungi alamnya, juga tak sepenuhnya bisa dijadikan branding. Kasus kejahatan lingkungan pembakaran hutan hingga 1.7 juta hektar, menunjukkan bagaimana bangsa ini nyaris kehilangan daya untuk mempertahankan hakekat, “negeri elok” itu.

Di berbagai wilayah Indonesia, keelokan alam lingkungan, sudah kehilangan pesonanya, karena kita tidak tak pandai menjaga. Di sisi lain, kita juga terkesan kurang serius menjadikan pesona alam lingkungan Indonesia yang masih molek sebagai destinasi utama. Infrastruktur ke daerah-daerah destinasi itu masih sangat terbatas. Karenanya, hanya wisatawan yang punya nyali dan kesungguhan menikmati pesona alam Indonesia itu yang bakal sampai ke sana.

Tak usahlah yang jauh-jauh seperti Tanjung Teuku – Pulau Rubiah – Iboih di Pulau Weh atau raja Ampat di Papua, geopark di selatan Jawa Barat saja tidak terakses baik, karena infrastruktur yang sangat terbatas. Begitu juga dengan yang lainnya, seperti Derawan di Kalimantan Timur. Pun begitu halnya dengan Parapat, Nias, Triple Lake Matano – Towuti – Mahalona. Demikian pula halnya dengan Danau Batur dan sekitarnya di Bangli.

DANAU BATUR MULAI BERKURANG PESONANYA |

Dalam suatu kunjungan ke Bali beberapa waktu berselang, nampak sekali pesona alam lingkungan yang kita punya mulai surut pamornya. Demikian pula halnya dengan produk budaya sebagai atraksi wisata, di banyak daerah mengalami proses yang kian surut. Pergilah ke Toyabungkah atau beberapa bagian di ‘punggung Bali’ sudah nampak penurunan kualitas pesona itu.

Beberapa destinasi wisata di Sumatera dan Kalimantan yang dalam strategi pemasaran ‘pesona Indonesia,’ pernah menjadi entry point, spontan mengalami penurunan drastis akibat asap dari hutan yang dibakar para hantu.

Sambil melakukan rehabilitasi, sekaligus membuka akses infrastruktur dan suprastruktur, banyak hal yang bisa diolahdayakan, yakni dahsyatnya dimensi kesejarahan Indonesia sebagai jawaban atas adagium tentang surga yang ditemukan kembali. Paling tidak, bila kita merujuk pada pandangan Stephen Oppenheimer atau Aryoso. Temuan situs Gunung Padang – Jawa Barat, Leang-Leang dan Luwu Raya tempat turunnya Bhatara Guru (Sulawesi Selatan) adalah salah dua yang perlu dieksplorasi. Begitu juga Candi Muaro dan Muaro Takus di Jambi, dan banyak lagi.

Demikian pula halnya dengan Serambi Kahyangan (sepanjang gugusan pantai Samudera Indonesia dari Arafura sampai perbatasan Weh – Indira Point) atau Serambi Khatulistiwa dari Natuna sampai Sebatik dan Ulu (dari bibir Laut Kalimantan - bibir Pasifik) adalah sesuatu yang menegaskan, Indonesia merupakan destinasi wisata paling head to head sebagai pilihan wisatawan mancanegara.

ULUWATU. DESTINASI YANG BEGITU-BEGITU SAJA SEJAK LAMA |

Menunjuk Phillip Kottler sebagai ambassador wisata Indonesia adalah tepat, tentu dengan memberi ruang baginya untuk melihat sisi lain wisata Indonesia untuk melakukan dua langkah pokok, yaitu: Rethinking dan Rebranding Indonesia.

Saya sepakat dengan Wakil Gubernur Jawa Barat H. Deddy Mizwar, Gubernur Bali I Made Mangku Pastika, dan Gubernur Kalimantan Timur Awang Farouk Ishak. Dalam suatu percakapan dengan mereka, dua hal utama yang perlu perhatian untuk mencapai target 2 juta kunjungan wisatawan dunia. Yakni: produk budaya, nilai budaya, dan nilai historis Indonesia sebagai ‘surga yang ditemukan kembali.’ Setelah itu, pesona Indonesia sebagai negara tujuan wisata, akan dengan sendirinya menyertai.

Deddy Mizwar mengemukakan, kita perlu melakukan eksplorasi terhadap dimensi lain dari keunikan Indonesia sebagai wilayah yang dikelilingi cincin api dan patahan bumi, yaitu dengan mengekaplorasi keunggulan geologis, arkeologis, antropologis, dan sosiologis. Pandangan itu saya yakini, karena seperti yang tersisa dari pandangan Ptolemeus, Magellen, Columbus, dan Cheng Ho, Indonesia sesungguhnya bukan hanya rangkaian jalur sutra pengembaraan dunia untuk menemukan ‘surga di bumi.’ Melainkan, surga itu sendiri, selepas jaman es berakhir.

SUKAWAYANA - JAWA BARAT. INDAH PESONANYA, TAPI TAK TERGARAP |

Di sisi lain, ketika kita mengunjungi destinasi wisata di Timur Indonesia – mulai dari Kepulauan Alor dan sekitarnya, Bandaneira, sampai Raja Ampat – kita dapatkan kekayaan lain yang sungguh mencerminkan keberadaannya sebagai beranda Asia. Terutama dari sejumlah dokumen anthropography. Terutama bertemunya budaya Polinesia, Melanesia dengan Autronesia yang berakultasi dan berasimilasi dengan budaya Melayu.

Belum lagi merujuk dari pandangan Ibnu Rusyd dan Ibnu Khaldun yang kemudian dijelajahi oleh Ibnu Batutah, menegaskan titik temu bumi dari Barat dan Timur di jaziratul mulk atau jazirah para raja, yang terbentang dari Semenanjung Malaysia (Melaka) sampai ke Maluku. Dan Bali menjadi sangat menarik, karena merupakan tempat persinggahan abadi para dewata yang akhirnya memberi berkah eksistensinya sebagai tujuan wisata berbasis alam budaya dan alam lingkungan. Gubernur I Made Mangku Pastika, menyebutnya sebagai Pulau Cinta.

“Silakan mencari kebahagiaan dengan gemerlap dunia dan pesona (termasuk kuliner) di Amerika dan Eropa, silakan mencari hening di belahan Asia lain, tapi ketika Anda ingin menyegarkan dan memelihara kesegaran cinta Anda, datanglah ke Bali,” ungkapnya. Inilah yang kemudian memotivasinya memperkuat akses Bali dengan berbagai daerah di Indonesia, terutama sejak Bandara Internasional Ngurah Rai selesai dibangun baru.

Hal sama dari sudut pandang lain, dikemukakan Gubernur Awang Farouk Ishak dalam melihat keberadaan infrastruktur – sejak Bandara Internasional Sultan Aji Muhammad Sulayman – Sepinggan – selesai dibangun baru sebagai simpul akses yang akan memperkuat destinasi wisata Kaltim dengan Bali dan kawasan lain di Indonesia. Paling tidak dari infrastruktur yang sudah ada (bandara internasional Kualanamu – Minangkabau - Soekarno Hatta – Sultan Aji Muhammad Sulayman – Ngurah Rai) pemerintah sudah mulai melakukan rebranding dan rethinking wisata Indonesia.

Dalam konteks imagineering dan image engineering, Menteri Pariwisata Arief Yahya perlu menggelar dialog sceenario planing wisata Indonesia untuk membahas – setidaknya – tiga hal, yakni : resposisi Indonesia sebagai tujuan wisata utama di ASEAN dan ASIA, rehabilitasi citra – sekaligus rebranding Indonesia sebagai destinasi berbasis sumberdaya alam dan budaya, dan roadmap transformasi pemasaran wisata yang baru.

Dari sudut pandang ini, niat Menko Maritim dan Sumberdaya Rizal Ramli menggeber pariwisata Indonesia sebagai sumber devisa dan pendapatan negara utama, bakal kesampaian.|

Editor : sem haesy
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 275
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 138
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya