Polemik Transportasi Berbasis Aplikasi

| dilihat 2786

AKARPADINEWS.COM | Perkembangan teknologi aplikasi transportasi online tidak dapat dibendung. Di Indonesia, khususnya Jakarta, transportasi publik berbasis online atau daring, seperi GrabCar dan UberTaksi, makin marak. Namun, kehadiran moda transportasi daring tersebut mengundang polemik. Para pengemudi transportasi umum konvensional menentangnya.

Senin (14/3), ribuan pengemudi angkutan umum melakukan demonstrasi besar-besaran di depan Balaikota DKI Jakarta, di Jalan Medan Merdeka Selatan. Massa yang berasal dari pengemudi taksi, bajaj, dan bis umum, mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melarang transportasi publik berbasis aplikasi daring. Pasalnya, kehadiran angkutan umum berbasis daring berdampak kurangnya pemasukan bagi pengemudi angkutan umum konvensional.

Agus, salah satu supir taksi yang ikut berunjuk rasa, mengatakan, keberadaan angkutan umum daring mengurangi jumlah penumpangnya tiap harinya. Dalam sehari, Agus mengaku, harus membayar setoran sebesar Rp300 ribu hingga Rp360 ribu setiap hari secara bertahap karena jumlah penumpang menurun.

“Keberadaan angkutan online (daring) telah mengurangi penumpang. Setiap hari kami menomboki setoran. Setoran itu susah dicapai. Belum termasuk bensin dan sarapan. Bagaimana dengan kehidupan keluarga di rumah?” ujarnya.  

Selain pendapatan menurun, keberadaan angkutan umum daring dituding sebagai angkutan umum ilegal. Hal itu berkaitan dengan kelengkapan kendaraan yang tidak memenuhi peraturan kelengkapan angkutan umum publik. Mulyadi, perwakilan pengemudi taksi Express Group mengatakan, kendaraan aplikasi daring beroperasi menggunakan plat hitam, melanggar peraturan pemerintah. Karenanya, dia mendesak untuk ditutup. “Aplikasi harus ditutup karena telah melanggar undang-undang," tegasnya. Ironisnya, lanjut dia, pelanggaran itu justru dilakukan pemerintah. "Kenapa (pemerintah) melanggar sendiri?” imbuh Mulyadi.

Sedangkan angkutan umum konvensional, lanjutnya, sudah memenuhi peraturan pemerintah seperti berplat kuning, telah memenuhi KIR atau uji kelayakan kendaraan bermotor, dan menggunakan argometer untuk taksi.

Keberadaan teknologi aplikasi memang memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam mengakses transportasi publik. Namun, semestinya memiliki izin sebagai angkutan umum massal sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku.

Ignansius Jonan, Menteri Perhubungan menekankan, pengelola angkutan umum berbasis aplikasi, GrabCar dan UberTaksi, harus mengurus izin operasi sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). “Di dalam undang-undang sudah jelas, untuk mengoperasikan angkutan yang dipakai massal, harus mengurus izinnya, bukan izin aplikasinya,” katanya.

Dalam UU tersebut juga diatur perizinan penyelenggaraan angkutan umum oleh perusahaan dan uji kelaikan kendaraan. Dengan begitu, Jonan mengatakan, kendaraan yang dijadikan angkutan umum, dapat diketahui kondisinya dan dimonitor keberadaannya. “Kalau dipakai untuk melakukan kejahatan, kita bisa monitor pemiliknya siapa, kalau mereka keberatan untuk uji kir atau mengurus izin, enggak usah disewakan,” ujarnya.

Perusahaan aplikasi GrabCar dan UberTaksi, bukan perusahaan kecil. Grab adalah perusahaan induk GrabCar, merupakan perusahaan dari Malaysia. Perusahaan itu didirikan oleh Anthony Tan pada tahun 2011 dengan produk awal GrabTaxi. Awalnya, aplikasi itu bernama MyTeksi, hanya beroperasi di Malaysia. Kini, perusahaan ini merambah ke Indonesia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Filipina.

Sedangkan, perusahaan Uber didirikan Travis Kalanick dan Garrett Camp tahun 2009 di San Francisco, California, Amerika Serikat. Dengan aplikasinya, Uber memungkinkan seseorang dengan kepemilikan mobil pribadi untuk menjajakan jasa melalui aplikasinya. Perusahaan ini sudah beroperasi di Amerika Serikat, beberapa negara di Amerika Selatan, Asia, dan Eropa.

Sebagai perusahaan besar, Jonan mengkritik, seharusnya sudah mengurusi izin sejak dahulu. “Perusahaan ini UKM (Usaha Kecil Menegah) atau perusahaan besar? Kalau perusahaan besar enggak mungkin enggak bisa mengurusnya (izin),” kritiknya.

Jonan pun menerbitkan Surat Nomor AJ 206/1/1 PHB 2016 yang menyatakan Uber Asia Limited (Uber Taksi) dan PT Solusi Transportasi Indonesia (GrabCar) telah melanggar peraturan UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang LLAJ. Surat itu juga ditujukan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika agar memblokir aplikasi daring yang digunakan dua perusahaan itu.

Triawan Munaf, Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), menilai, perlu ada kebijakan yang memayungi perusahaan-perusahaan inovasi seperti GrabCar dan UberTaksi. Inovasi tersebut, menurutnya, sebagai suatu perkembangan digital akan terus tumbuh dan harus harmonis dengan peraturan dari pemerintah.

“Kita butuh payung kebijakan supaya tidak hanya sekedar sebagai pemadam kebakaran saja. Kami dengan kementerian dan lembaga negara akan membicarakan peraturan yang lebih terbuka bagi para inovator," ujar Triawan, Selasa (15/3). Dengan begitu, Triawan berpendapat, dapat menjauhkan kreator inovasi dari tuntutan pelanggaran, khususnya pelanggaran hukum.

Terkait desakan pemblokiran aplikasi tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informasi memutuskan, tidak akan memblokir. Namun, untuk menyelesaikan permasalahan transportasi aplikasi daring, kementerian itu bersama Kementerian Perhubungan dan Dinas Perhubungan DKI Jakarta, melakukan pertemuan dengan pihak Uber dan GrabCar pada Selasa (15/3). Dalam pertemuan tersebut telah disepakati bahwa seluruh angkutan daring akan menyelesaikan segala kewajiban melalui tatanan hukum.

Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informasi, mengatakan Uber dan GrabCar ada kemungkinan akan memiliki wadah usaha untuk menaungi pelaksanaan bisnisnya. Salah satunya, diarahkan menjadi koperasi. Untuk itu, kementerian yang dipimpinnya akan berkordinasi dengan Kementerian Koperasi dan UKM untuk mengeluarkan izin menjadi koperasi. Solusi itu didasari bahwa kendaraan untuk transportasi umum harus memiliki wadah, baik bentuk swasta, BUMN, ataupun koperasi.

“Nanti wadahnya adalah koperasi. Saya sekarang akan secepatnya (mengurus wadah untuk Uber dan Grab), saya minta staf khusus saya ke Kemenkop untuk komunikasikan langsung ke Pak Nyoman Puspa Yoga (Menkop) agar secepatnya dikeluarkan izinnya,” ujar Rudiantara.

Rudiantara juga mengatakan, pihaknya akan meminta kepada Uber dan GrabCar untuk mendirikan pelayanan pelanggan yang berbasis di Indonesia berikut servernya. Dengan begitu, pelanggan dapat langsung berkomunikasi dengan kantor perwakilan di Indonesia, bila terdapat masalah keamanan dan kenyamanan.

Terkait adanya pelayanan pelanggan, akan ada perlindungan data pelanggan karena aplikasi tersebut menyimpan data pelanggan di Indonesia. “Ini juga untuk customer protection karena data pelanggan ada di dia (penyelenggara angkutan daring). Bagaimana ini, pemerintah juga harus berperan menjaga data pribadi tersebut,” ujar Rudiantara.

Solusi yang ditempuh pemerintah itu agaknya belum menjawab kerisauan pengemudi kendaraan konvensional. Mereka menentang angkutan publik berbasis aplikasi online, karena memangkas pendapatannya. Karenanya, akan lebih baik, bila angkutan umum konvensional juga disertai dengan layanan aplikasi daring.

Dengan begitu, penerapan teknologi ke dalam ranah pelayanan transportasi umum akan lebih baik dan sopir kendaraan umum konvensional pun dapat memiliki kesempatan yang sama dalam mengais pendapatan.

Muhammad Khairil

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Antara
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 226
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 322
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 237
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 407
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 256
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya