Pertahankan Pasar Tradisional

| dilihat 2366

AKARPADINEWS.COM| PEMERINTAH menargetkan pembangunan dan revitalisasi 5.000 pasar tradisional hingga tahun 2019. Di akhir tahun 2016, jumlah pasar yang dibangun dan direvitalisasi mencapai 1.880 pasar. Jumlah pasar tradisional di Indonesia hingga saat ini mencapai 9.559 pasar, dengan jumlah kios 1.722.071 unit dan 2.639.633 pedagang.

Di tahun 2016, pembangunan dan revitalisasi pasar tradisional mencapai 168 pasar dengan menghabiskan anggaran sebesar Rp1,46 triliun dari dana Tugas Pembantuan (TP). Sementara yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK), mencakup 710 unit pasar rakyat yang nilainya mencapai Rp1,006 triliun. Jumlah itu belum memenuhi target yang direncanakan yakni sebanyak 878 pasar.

Di tahun 2015, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengklaim telah membangun dan merevitalisasi 1.002 pasar. Di tahun 2017, kementerian itu menargetkan 272 pasar yang akan dibangun dan direvitalisasi yang dananya berasal dari TP. Sementara yang bersumber dari DAK, mencapai 728 unit pasar.

Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita menyatakan, pembangunan dan revitalisasi pasar menjadi perhatian pemerintah karena hampir sebagian besar kondisi pasar tradisional kumuh. "Hampir merata kondisi pasar becek, kumuh tidak sehat, dan orang dalam berdagang itu sulit," katanya seperti dikutip Antara, Minggu (23/10), kala meninjau Pasar Pecangaan dan Pasar Bangsri di Jepara, Jawa Tengah

Mendag menegaskan, pemerintah memprioritaskan pembangunan dan revitalisasi pasar-pasar kecil. Sementara untuk pengembangan pasar modern, pemerintah menggandeng swasta. "Pasar skala kecil tidak akan diamkan, kami akan terus berupaya dengan kemampuan anggaran yang ada, melalui dana TP dan DAK. Sementara untuk pasar modern, saya lebih cenderung untuk kerjasama dengan swasta," kata Enggartiasto.

Revitalisasi pasar tradisional merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan. Namun, pemerintah tidak cukup sekadar membangun dan memperbaiki infrastruktur fisisk pasar saja. Namun, pemerintah, baik pusat dan daerah bertanggungjawab meningkatkan kapasitas pengelolaan pasar lewat pemberdayaan guna meningkatkan daya saing.

Di era persaingan saat ini dan seiring masifnya pertumbuhan pasar modern, pengelola pasar tradisional tidak hanya dituntut memastikan ketersediaan barang kebutuhan masyarakat yang berkualitas dan harga yang bersaing. Namun juga mampu mengimplementasikan manajemen pengelolaan yang profesional sehingga eksistensi pasar tradisional sebagai penggerak perekonomian daerah, baik di kota maupun desa, dapat dipertahankan. Revitalisasi juga diharapkan menjadikan pasar tradisional lebih bersih, sehat, aman, segar, dan nyaman.

Dalam konteks ini, revitalisasi tidak sebatas membangun infrastruktur fisik, namun disertai penguatan pasar sebagai institusi sosial. Upaya pemberdayaan kepada pedagang pun perlu dilakukan sehingga sadar akan pentingnya memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat selaku konsumen. Jika tidak, masyarakat cenderung berbelanja di ritel modern, baik berskala besar seperti supermarket, mal, atau berskala menengah seperti minimarket.

Kenyataan menunjukan keberadaan pasar tradisional yang menjadi pusat perekonomian rakyat, khususnya kalangan menengah ke bawah, kian terancam karena gempuran pasar-pasar modern yang begitu masif melakukan penetrasi hingga ke pelosok perkampuangan. Apalagi, sejak disahkannya UU Perdagangan, yang tak jelas perlindungan terhadap pasar tradisional. Dalam Pasal 10 dan Pasal 11, pasar tradisional disamakan statusnya dengan ritel modern. Tanpa perlindungan dari pemerintah, dalam waktu 20 tahun mendatang, keberadaan pasar tradisional diperkirakan akan disingkirkan oleh pasar modern.

Kehadiran pasar modern, mampu meraih respons masyarakat karena menyuguhkan pelayanan yang lebih baik, kondisi pasar yang lebih bersih dan sehat, produk yang ditawarkan harganya relatif tidak mahal--sama dengan pasar tradisional, dan sistem transaksi yang tercatat secara elektronik. Tak hanya itu, pasar modern pun kini menjadi salah satu tempat bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan rekreatif. Tersedia pula aneka ragam barang dagangan dan jasa yang dibutuhkan masyarakat.

Berbeda hal dengan pasar tradisional yang umumnya kumuh, sumpek, produk yang ditawarkan mutunya kurang berkualitas dan pengemasan (packaging) yang kurang menarik. Belum lagi jaminan keamanan dan praktik kecurangan pedagang yang memunculkan kesan rada negatif bagi konsumen.

Belum lagi gencarnya iklan dan promosi yang ditebar pasar modern lewat diskon dan harga murah dalam skala besar-besaran, kian memancing masyarakat untuk berbondong-bondong ke pasar modern. Kini, telah terbentuk pula persepsi masyarakat umumnya jika berbelanja di pasar modern lebih elitis dibandingkan berbelanja di pasar tradisional. Pasar modern berkembang pesat seiring perubahan sosial.

Pasar tradisional pun kian terancam seiring berkembangnya pemasaran online. Kemajuan teknologi informasi kini memudahkan masyarakat dalam berbelanja. Masyarakat tidak perlu berlelah-lelah ke pasar untuk mencari produk yang dibutuhkan. Cukup dengan membayar via online, barang yang dibutuhkan, diantar ke rumah pemesan. Pasar modern dan online pun kian diminati lantaran harga produk yang ditawarkan relatif murah dan menawarkan berbagai pilihan.

Dengan dukungan modal yang kuat, pasar modern kian masif. Ribuan gerai seperti Indomart dan Alfamart, melakukan ekspansi hingga ke pelosok-pelosok desa. Targetnya tidak hanya kalangan atas dan menengah. Namun juga menyasar ke kalangan bawah lantaran menawarkan harga produk yang relatif murah. Lokasinya yang berada di posisi strategis, memudahkan masyarakat untuk berbelanja.

Pelayanan pun lebih nyaman dan manajemen yang dikembangkannya lebih profesional, Jam operasional pun lebih panjang. Dukungan sarana dan prasarana seperti alat pendingin, membuat barang dagangan di antaranya sayur, buah, daging, dan sebagainya, terjaga kesegarannya. Sistem transaksi pun tercatat secara elektronik sehingga dijamin pertanggungjawabannya. Kelebihan yang memuaskan masyarakat itu kurang dipenuhi pasar tradisional.

Meski demikian, pasar tradisional juga memiliki kelebihan yang tidak dimiliki pasar modern. Misalnya, pasar tradisional lebih banyak memasok produk-produk yang alamiah yang langsung dari petani. Harganya relatif lebih murah. Dengan kata lain, pasar tradisional menopang kegiatan ekonomi masyarakat petani maupun pelaku usaha kecil untuk memasarkan produknya. Berbeda dengan pasar modern, di mana produk yang ditawarkan berbentuk merchandise yang dimonopoli produsen tertentu.

Pasar tradisional juga menghidupkan interaksi antara pembeli dan penjual, khususnya dalam menetapkan harga. Adanya proses tawar menawar harga menunjukan kesetaraan antara pembeli dengan penjual. Dengan demikian, harga sebuah produk ditetapkan atas dasar kesepakatan antara pembeli dan penjual. Jika harga produk yang ditawarkan terlalu mahal, pembeli dapat mencari penjual lain yang menjual produk sama yang dibutuhkannya. Dalam kondisi tersebut, pembeli dituntut untuk pintar menawar harga sebuah produk yang dibutuhkan dengan kualitas yang tidak diragukan.

Namun, pasar tradisional kalah dari sisi penampilan, pelayanan, tata ruang, dan promosi. Jam operasionalnya pun terbatas. Dan, umunnya, pasar tradisional berwajah kumuh, becek, dan berbau sehingga kurang membuat nyaman pembeli. Produk yang ditawarkan pun harganya relatif bersaing sehingga memancing masyarakat untuk lebih memilih berbelanja di pasar tradisional.

Belum lagi tingkat keamanan, di mana seringkali terjadi kejahatan di pasar-pasar tradisional, termasuk kontrol dalam transaksi sehingga sering terjadi praktik curang dalam berdagang.

Karenanya, pembangunan dan revitalisasi pasar tradisional harus terus ditingkatkan. Pemerintah juga perlu meningkatkan kapasitas manajemen dalam pengelolaan pasar tradisional. Dibutuhkan pula kemampuan bagi para pedagang dalam mengindentifikasi dan memprediksi kebutuhan masyarakat.

Keberadaan pasar tradisional juga diharapkan menjadi wadah bagi petani maupun pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) dalam menjual produknya. Tentu, pelaku UKM dapat menjamin kualitas dari produknya.

Pembangunan dan revitalisasi pasar juga tidak menjamin keberlanjutan jika tidak disertai dengan pemahaman dan kesadaran para pengelola pasar dan pedagang untuk memberikan pelayanan optimal dan menjaga infrastruktur yang ada sehingga dapat secara berkelanjutan memberikan kenyamanan kepada konsumen dalam berbelanja. Tanpa kesadaran itu, pasar yang sudah dibangun dan direnovasi, akan kembali semraut dalam rentan waktu beberapa tahun kemudian.

Pasar tradisional harus dikembangkan karena merupakan pusat perekonomian rakyat. Di sana menjadi tempat berkumpulnya pelaku usaha kelas kecil dan menengah. Mereka harus mendapatkan tempat untuk memasarkan produknya. Keberadaan pasar tradisional juga diharapkan menutup celah praktik monopoli yang dilakukan segelintir pihak yang memiliki kekuatan modal yang ingin menguasai pasar. Apalagi, saat pasar ASEAN membuka ruang bertransaksi secara berbas. Persaingan yang kian ketat menjadi ancaman serius bagi pelaku usaha kecil dan menengah sehingga perlu mendapatkan proteksi dari pemerintah.

Selain itu, pasar tradisional merupakan simbol ekonomi kerakyatan. Sementara pasar modern merepresentasikan hedonisme, konsumerisme, dan lebih banyak menguntungkan pedagang besar.

Praktik ekonomi yang dikembangkan di pasar tradisional identik dengan ekonomi kerakyatan yang mengedepankan asas kekeluargaan dan gotong royong. Masyarakat selaku pembeli dapat berinteraksi dengan penjual sehingga dalam menetapkan harga. Berbeda dengan pasar modern yang menutup ruang transaksi lantaran produk yang disuguhkan sudah ada label harga yang tercantum dalam barang (barcode). Pasar tradisional juga tidak melakukan pemilahan barang, harga yang ditawarkan mudah dijangkau.

Upaya mempertahankan eksistensi pasar tradisional pada akhirnya akan berdampak bagi peningkatan ekonomi petani maupun pelaku usaha kecil dan menegah yang menjual hasil pertanian dan industri rumah tangga.

Pasar sejatinya tidak hanya menjadi tempat yang menyediakan barang kebutuhan masyarakat. Namun, pasar merupakan ruang bagi masyarakat untuk mengembangkan interaksi sosial. Interaksi akan berlangsung dinamis jika antarpedagang bersaing secara sehat dan memberikan ruang kepada konsumen untuk tawar menawar harga. Pasar juga membentuk perilaku dan budaya lantaran menjadi ruang bagi masyarakat untuk saling bertukar informasi.

Dalam konteks ini, pasar tradisional memiliki karakteristik kerakyatan yang memiliki dimensi sosial, ekonomi, dan budaya. Keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah. Keberadaannya menjadi urat nadi para petani maupun pelaku usaha kecil dan menengah dalam memasarkan produknya.

Para petani dapat menjual hasil pertaniannya. Nelayan juga memasarkan hasil tangkapan ikannya, dan pelaku usaha kecil dan menengah dapat menjajakan produknya. Selama ini, produk pertanian dan perkebunan lokal kurang direspons industri-industri yang bergerak dalam mengelola hasil-hasil sektor pertanian maupun perkebunan. Kalangan industri tersebut juga belum sepenuhnya percaya dengan kualitas dan jaminan kuantitas hasil pertanian lokal. Pasar tradisional juga menyediakan ruang bagi pelaku usaha untuk memasarkan produknya, termasuk produk-produk impor.

Pembangunan dan revitalisasi pasar tradisional, khususnya di pedesaan, perlu disertai penguatan peran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Peran BUMDes dapat menghalau ekspansi ritel-ritel berskala besar dan menengah yang agresif melancarkan penetrasi ke desa-desa.

BUMDes dapat berperan dalam mengorganisir pemasaran hasil pertanian, perkebunan, peternakan, industri rumah tangga di desa, dan potensi lainnya di desa untuk dipasarkan. Dalam konteks ini, BUMDes perlu mengidentifikasi kebutuhan dengan memaksimal fungsi market intelligent. Bila perlu, tidak hanya untuk wilayah desa dan kecamatan. Namun, membidik pasar di kabupaten, nasional, hingga internasional dengan mengembangkan e-commerce.

BUMDes menjadi mediator dan fasilitator bagi petani dan pelaku usaha kecil dan menegah di desa. BUMDes juga dapat menjalin kerjasama dengan perbankan agar membantu penguatan modal melalui dana Kredit Usaha Rakyat (KUR). Dengan begitu, BUMDes memangkas praktik pemburu rente yang mengakibatkan tingginya biaya transaksi.

Peran itu harus diutamakan karena penetrasi modal, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, akan mencaplok desa, apalagi yang memiliki potensi sumberdaya alam yang bisa dikapitalisasi. Jika dibiarkan, maka akan mengancam sumber-sumber ekonomi masyarakat desa.

BUMDes perlu kirangnya mengendalikan pasar tradisional di desa sehingga memutus mata rantai distribusi hasil pertanian maupun produk rumah tangga yang dihasilkan masyarakat desa dari intervensi para tengkulak. Dengan begitu, perekonomian masyarakat desa akan lebih dinamis. |  M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 431
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1501
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1320
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 166
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 337
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 364
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 332
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya