Syaiful Bahri Ruray
“The pessimists complains about the wind. The optimists expect it to change. The leaders adjust the sails.” (John C. Maxwell)
Pandemi global dewasa ini telah melanda kurang lebih 220 negara di seluruh dunia, dan belum juga menunjukkan penurunan atas angka mortalitas yang diakibatkannya. Termasuk kita di Indonesia, angka tersebut semakin meninggi.
Hal tersebut tentu saja berimbas pada berbagai sendi kehidupan sosial dan ekonomi. Hingga kini belum ada satupun negara yang dapat dijadikan contoh solusi terbaik dalam managemen menghadapi pandemik global Covid-19 ini.
Walaupun berbagai negara telah mengumumkan vaksinnya, baik Russia, China, Amerika dan Inggris, namun efektifitas dan efikasinya masih dalam proses, karena membutuhkan bukti empiris yang memang membutuhkan waktu minimal dua tahun ,menurut para epidemiolog.
Sebut saja vaksin produk Pfizer-BioNTech (Amerika) yang telah disetujui otoritas Inggris, kemudian disusul Kanada, Bahrain, Meksiko dan Arab Saudi. Lalu vaksin produk Astra-Zeneca (Inggris), hasil kerja sama Oxford dan Shinopharm, serta Sinovac (China) yang digunakan pertama kali dalam vaksinasi di Indonesia. Selain itu, ada juga CureVac (Jerman), Sanofi (Perancis) dan Moderna (Amerika) dan Sputnik (Rusia).
Pandemi ini membawa akibat besar yang ditimbulkannya, karena umat manusia harus merumuskan kembali kebudayaannya untuk mengatur tatanan sosial baru, sehingga bisa hidup dengan baik di tengah ancaman wabah. Dampaknya meluai pada berbagai dimensi kehidupan, baik ekonomi, politik, relasi sosial, dan pola lama yang harus ditinggalkan.
Memang bukan hal yang mudah untuk mengubah sebuah tatanan sosial yang telah mentradisi berabad-abad, bahkan menjadi karakter.
Bagi bangsa yang berdisiplin tinggi, karena produk sosialnya adalah output dari sistem pendidikan yang telah lama berkembang, akan lebih mudah menghadapi fenomena baru ini. Sebaliknya, bagi kita -- dengan sistem pendidikan selalu gonta ganti, trial and error -- jelas akan menyulitkan output sosial yang lebih berpihak pada well educated social being.
Telah banyak pendapat ahli menyatakan, bahwa ilmu pengetahuan merupakan solusi dalam menghadapi ancaman pandemi global seperti ini. Memang dalam sejarah, pendemi global bukan pula sebuah hal baru, karena dunia pernah mengalami hal yang sama pada dasawarsa abad sebelumnya. The Black Plague hingga Flu Spanyol, adalah wabah yang pernah melanda dunia.
Persoalan lain adalah, realitas global dewasa ini, implikasi ekonomi pandemi yang nyata. Karena prosedur baru yang mengharuskan manusia membatasi mobilitas sosial, dengan sendirinya membuat ekonomi pun pasti collapse. Karena arus barang dan modal mengalami degradasi dengan sendiri. Sedangkan consumption rate manusia, mungkin tak dapat dihindari sebagai keperluan yang tak terelakkan.
Nah, kita dipaksa oleh situasi, untuk mencari solusi terbaik agar tidak nyungsep ramai-ramai.
Sektor industri pariwisata, seperti jasa perhotelan dan travel agency, maskapai penerbangan dan kuliner, misalnya telah terpukul telak, merata terjadi di seluruh dunia. Padahal dari sektor-sektor tersebutlah ekonomi masyarakat, dapat bangkit.
Dengan kata lain, rakyat tidak bergantung semata-mata pada modal pemerintahnya. Sebaliknya negara pun memperoleh pajak dan devisa dari sektor-sektor privat tersebut.
Mengandalkan industri manufaktur dalam situasi resesi, sebagai akibat pandemi global ini, tentu bukan hal yang menjanjikan dalam waktu dekat. Termasuk kita di Maluku Utara misalnya, tidak bisa mengandalkan industri pertambangan nikel, untuk melakukan recovery ekonomi domestik Maluku Utara.
Belum lagi perubahan pasar global yang terdampak karena pandemik. Jelas akan mempengaruhi demand and supply. Dalam situasi normal saja, sektor pertambangan bukanlah sesuatu yang menjanjikan bagi pertumbuhan ekonomi domestik lokal. Bahkan sektor-sektor ini, menyebakan dekontruksi dan ekosida bagi ekologi Maluku Utara.
Pandemi Global.
Untuk itu ada baiknya kita merujuk pada realitas masa lalu, ketika dunia menghadapi pandemik global, untuk beroleh pelajaran bagaimana manusia menyiasati wabah, guna menemukan solusi, agar dapat selamat serbuan wabah yang kian kompleks ini.
Dunia mengenal pandemi sejak the black death yang diprediksi berasal dari Asia Tengah atau Asia Timur. Wabah tersebut menelusuri jalur sutera dari 1347-1353 tersebar dan menewaskan 75 hingga 100 juta manusia pada berbagai kawasan dunia.
Black Death ini disebut juga sebagai the great mortality. Wabah ini berasal dari apa yang kita kenal sebagai penyakit pesatau sampar (plague), dari bangkai tikus dan marmot. Lalu pada 1665, Kota London nyaris kehilangan seperlima penduduknya karena dilanda wabah. Tubuh manusia menghitam, lalu membusuk, setelah mengalami nyeri panjang, merupakan gejala the black death ini.
Wabah ini melintasi benua hingga Afrika. Kata karantina berasal dari era ini, karena Italia mengungsikan pasien-pasien yang ke pulau di Venesia yang disebut quarrantine, yang bermakna isolasi selama 40 hari untuk membatasi menjalarnya wabah Black Death pada 1348-1359 tersebut.
Pandemi global lain adalah Flu Spanyol (Spanish Flu) yang terjadi pada 1918. Wabah ini juga menjalar sangat cepat dan mematikan. Flu Spanyol ini menewaskan 50 juta penduduk dunia. Penyebab menyebarnya di duga adalah akibat Perang Dunia (PD) I, karena PD I mendekati momen akhirnya pada 1918.
Para tentara yang berpindah-pindah karena perang tersebut, hidup dalam kondisi nutrisi yang buruk dan jauh dari higienis, diduga menyebakan merebaknya Flu Spanyol tersebut. Walaupun pandemi ini dinamakan Flu Spanyol, namun oleh para ahli, disebutkan virusnya bukan berasal dari Spanyol, namun berasal dari China. National Geographic menyebut virus ini berasal dari para pekerja China yang bermigrasi ke Kanada pada 1917-1918.
Pekerja–pekerja ini membangun jalur kereta api dan jalan raya, jumlah mereka kurang lebih 90,000 pekerja pada masa itu. Mereka rata-rata mengakhiri hidup di lokasi karantina medis. Flu ini dinamai Flu Spanyol, karena para dokter Spanyol yang pertama kali mengidentifikasi epidemi tersebut.
Hindia Belanda (Indonesia sekarang), saat merebaknya Flu Spanyol tersebut, mulai memberlakukan lockdown lokal di mana-mana. Hampir setiap keresidenan di Hindia Belanda, terutama di Pulau Jawa, melakukan lockdown untuk memutus mata rantai pandemi saat itu.
Sedangkan di Eropa, dari Wina, Budapest - Hungaria dan Jerman serta Perancis, yang menjadi hotspot. Lalu mencapai Inggris dan kemudian menyebar dengan cepat ke Asia dan Afrika, Amerika Selatan dan Pasifik Selatan. Inilah pandemi terburuk dalam sejarah.
Demikian juga dengan menyebarnya virus SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) pada 2002, yang juga berawal dari Selatan China tersebut. Virus ini mampu melumpuhkan geliat ekonomi global. Selain SARS, juga kita kenal kasus Ebola dan Flu Babi yang tak kalah ganasnya memakan korban nyawa. Flu Babi (H1N1) menyebar pada 2009, sedangkan Ebola menyebar dari Afrika Barat pada 2014 lalu dan berakhir pada 2016.
Kesimpulannya, mobilitas manusia secara global maupun domestik, memang menjadi mata rantai utama dalam penyebaran virus yang luar biasa dalam kejadian-kejadian mematikan tersebut.
Tentu saja jika protokol kesehatan diabaikan. Hal mana menyangkut kebiasaan, tradisi, dan tingkat informasi. Apa yang kita hadapi dewasa ini, yakni merebaknya Covid-19, pada dasarnya bukanlah hal baru, hanya pengulangan dari apa yang pernah terjadi pada masa lalu. L’histoire se’repete.
Dunia Berawal dari Zona Ekonomi
Setiap pandemi global, akan berimplikasi pada berbagai dimensi kehidupan manusia secara global. Pola hidup yang higienis, pentingnya sanitasi, adalah hal terpenting yang tak terelakkan lagi.
Dalam setiap pandemi, dampak tak terelakkan adalah krisis ekonomi. dunia, yang merupakan mata rantai sejak era silk road, yang membuat dunia berada dalam jejaring interkoneksitas, antara berbagai kawasan dan peradaban dunia.
Peradaban dunia dapat dikatakan, dibangun karena adanya interkoneksitas ekonomi. Zona-zona ekonomi, terbentuk mendahului zona-zona politik kekuasaan. Walau sejarah sering lebih mengutamakan membahas interaksi kekuasaan. Sebut saja nusantara kita, jalur ekonomi seja era Sumeria, Mesopotamia dan Mahenjo Daro, telah merambah Belawan, Pelalawan, Bandar Lampung, Bandar Jakarta, Banda Neira, Tidore, Ternate, Amurang, Saparua, Semarang, dan lainnya.
Bangkitnya zona kekuasaan merupakan implikasi dari berkembangnya zona-zona ekonomi yang mendahului. Adanya peta Timur Tengah hingga Amerika modern dewasa ini, adalah karena terbentuknya zona-zona ekonomi masa lalu tersebut. Dari trading ke imperium.
Kita melihat realitas saat itu, tak dapat dilepaskan dari proses panjang masa lalu akan interaksi ekonomi. Tanpa ekonomi, dapat dikatakan peradaban manusia tidak akan terbentuk. Relasi antara peradaban, justeru berawal dari relasi antara bangsa yang terbentuk sejak jalur sutera.
Seidenstrasse atau silkroad adalah metafora persentuhan dan persinggungan peradaban antar manusia yang terjalin karena adanya interkoneksi ekonomi masa lalu. Baron von Richthoven adalah orang yang pertama menamainya dengan kata jalur sutera tersebut.
Nusantara, termasuk Maluku Utara, adalah salah satu titik sentra zona ekonomi. Dari zona ekonomi inilah kemudian membentuk zona imperium atau zona kekuasaan berupa kesultanan-kesultanan yang pernah kita kenal. Namun sejarah kita, bukan berawal dari sekedar zona kekuasaan tersebut.
Jauh sebelumnya, banyak catatan telah mengungkapkan fakta dan bukti arkeologis akan adanya zona ekonomi. Bahkan zona ekonomi Maluku tercatat telah ada sebelum era Kristus.
Artefak kuno di Mesopatamia menemukan adanya sisa-sia cengkih, bahkan dapat ditelusuri hingga era 1500 SM pada era Mesir Kuno dimana resep masakan Kaisar Agustus yang ditulis Epicurus, telah menggunakan rempah Maluku.
Demikian juga buku panduan obat-obatan Materia Medica, era 65 tahun Masehi, yang ditulis Dioscorides telah menyebut tentang farmakologi dengan bahan baku rempah -rempat Maluku tersebut.
Adapun pandemi, juga berkembang mengikuti alur mobilitas manusia dalam rentang zona ekonomi tersebut. Interkoneksitas dan interaksi manusia dalam relasi ekonomi, menciptakan juga mata rantai pandemik. Bahkan memutuskan mata rantai pandemik tersebut, jelas akan berakibat pada menurunnya fungsi-fungsi utama zona ekonomi berbagai kawasan dunia.
Selama belum ditemukan vaksin yang sungguh efektif untuk memerangi virus global seperti yang kita hadapi sekarang, jelas akan mempengaruhi secara langsung terhadap dimensi ekonomi setiap negara.
Lalu, apa upaya kita untuk menghadapi ancaman pandemi, khususnya terhadap implikasinya dalam dimensi ekonomi ini? Apa yang dipertanyakan Si’De’Go, menjadi pikiran bagi saya yang tidak memiliki background ekonomi, dengan membuka kembali beberapa referensi lama. Jika pemerintah daerah dianggap sebagai instrumen utama dalam menyikapi realitas pandemik kini.
Jelas diperlukan kebijakan terintegrasi, dimana ekonomi rakyat dapat tumbuh, tanpa mengancam keselamatan nyawa manusia pada saat bersamaan. Sebagaimana adagium lama Markus Tullius Cicero: salus populi suprema lex esto - keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi, maka kedisiplinan sosial sangat perlu dikedepankan.
Regulasi memang diperlukan, namun edukasi cepat, juga sangat perlu, seiring pemerintah mengeluarkan regulasi-regulasi tersebut. Karena regulasi tanpa dibarengi edukasi, akan membuat hukum menjadi pisau tumpul belaka.
Hukum responsif harus diutamakan dalam memprediksi ke arah mana pandemi ini akan bergerak. Apalagi dengan melihat tingkat mortalitas yang semakin meningkat sekarang.
Artinya regulasi yang tidak dibarengi dengan edukasi sosial yang memadai, menjadikan imbauan dan hukum apa pun, menjadi tidak efektif, tidak berlaku sebagai hukum responsif. Malah yang terjadi adalah tindakan represif, dimana kekuasaan akan semakin arogan dengan segala kepongahannya, untuk dan atas nama pandemi, untuk melakukan represi dan pada akhirnya melahirkan neo-authoritarianism.
Ancaman pandemi, akan hadir dengan wajah dasa muka otoritarian yang mengancam demokrasi. Ziblatt dan Levitsky menjelaskan akan bahaya matinya demokrasi.
Tanpa kebijakan pemerintah yang inklusif, rakyat akan semakin terperangkap pada kemiskinan ekonomi, jauh dari kesejahteraan yang diimpikan.
Dalam menghadapi pandemi global, pemerintah harus fokus menciptakan ruang bagi bangkitnya ekonomi domestik berbasis rakyat, untuk dapat bertahan secara mandiri dari keterpurukan ekonomi, akibat terbatasinya interkoneksi dan mobilitas manusia yang dapat saja menjadi mata rantai pandemi.
Infrastruktur ekonomi sangat diperlukan untuk itu, sebutlah pemerintah daerah melakukan edukasi bagi pelaku ekonomi kecil akan pentingnya melakukan interaksi eknomi dengan memanfaatkan belanja online misalnya.
Konsekuensinya, masyarakat pelaku ekonomi harus diajarkan menggunakan koneksi internet sebagai upaya untuk melakukan transaksi tanpa harusbersentuhan secara fisik.
Iptek dapat menjadi solusi bagi kita agar tidak terjebak keterpurukan ekonomi. Juga fungsi pasar lokal. Perlu dijadikan pasar berkala, dengan membagi shift para pedagang dan pembeli, agar setiap hari, tidak terjadi kerumunan yang dapat memicu terancamnya keselamatan umum. Tentu saja semua ini memerlukan kesabaran tinggi pemerintah untuk mengedukasi pelaku ekonomi domestik.
Daron Acemoglu dan James A. Robinson, dalam risetnya di Kota Nogales, menyimpulkan, kebijakan pemerintah menjadi kunci bagi kesejahteraan rakyat. Kota Nogales yang terbelah atas dua negara, satunya terletak di Sonora yang menjadi bagian dari Mexico, sebelahnya menjadi bagian dari Arizona, di bawah wilayah Amerika Serikat, di atas tanah yang sama, terjadi ketimpangan dan disparitas kesejahteraan rakyat yang luar biasa.
Karena kebijakan pemerintah yang berbeda, menghadirkan dua realitas yang demikian timpang. Perlu memberi ruang bagi kawasan tumbuh usaha rakyat Maluku Utara, agar dapat menjajakan produknya, melalui sentra produksi di setiap kawasan perkotaan Maluku Utara.
Kita belum memiliki kawasan tertentu yang dapat menjadi icon perkotaan dengan mengedepankan branded lokal bagi sektor-sektor domestik ini. Sebutlah misalnya ekspedisi rempah, sebagai daya tarik bagi pertumbuhan wisata. Misalnya membangun museum mini rempah (spices museum), yang menampilkan perjalananan panjang wilayah ini sebagai zona ekonomi (emporium), jauh sebelum terbentuknya zona kekuasaan (imperium).
Museum mini ini tentu harus menampilkan produk-produk kerajinan rakyat setempat untuk menjadi ciri khas Maluku Utara. Sebutlah cengkih dan pala, dan berbagai diversifikasi produknya, tentu sangat diminati oleh manca negara. Termasuk empat jenis kopi dunia yang pernah diekspor dari Bacan ke Eropa dan Amerika. Banyak dari kita tidak lagi mengenal jenis kopi dunia seperti Excelsa dan Liberica, selain Robusta dan Arabika, yang pernah tumbuh pada onderneming perkebunan di Bacan, yang dimiliki Kesultanan Bacan dan dikelola N.V. BAM (Batjan Archipel Maastchapij) yang dirikan pada 8 Juni 1880 dan dipimpin Sigfried Bruno von Emster, seorang ahli pertanian keturunan Jerman yang berasal dari Argentina, lulusan sekolah pertanian Argentina.
Tentu saja, tata ruang untuk kawasan ini, harus dibentuk oleh pemerintah, untuk memacu local branded produk khas Maluku Utara menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi rakyat.
Dunia mengenal Amerika, bahkan bumi menjadi bulat, semua karena interaksi zona ekonomi masa lalu, di mana Maluku Utara sebagai the spice island adalah sentralnya. Negara sekecil Belanda, yang pernah demikian lama menjajah berbagai wilayah yang kini bernama Indonesia, di Bandara Schiphol, Amsterdam, menyediakan museum mini Rijksmuseum, yang memanjakan para pengunjung dan pengguna jasa bandara untuk dapat menikmati perjalanan sejarah Belanda, sambil menunggu jadual keberangkatan pesawatnya.
Di sudut lain, bandara ramai tersebut masih menyediakan kuliner khas Indonesia pada restoran De Kebaya Brasserie, yang menawarkan menu khas Indonesia. Ternate yang memiliki benteng peninggalan kolonial sedemikian banyak, dapat dimanfaatkan untuk dijadikan pusat kerajinan usaha rakyat, sekaligus museum rempah.
Kita tinggal membaginya saja misalnya Kalumata (Santa Lucia), Toloko, Kastela (Nuestra Senhora del Rosario), tentu dengan sedikit renovasi, Fort Oranje, Kota Janji (Santo Pedro), dan seterusnya hingga kawasan Cengkih Afo, di Maliaro dan Moya, benteng Tahula dan Fort Tjsobbe (Pantai Rum) di Pulau Tidore, termasuk kawasan Kalaodi (The Cloudy), kampung di atas awan di puncak Kiematubu, Tidore.
Kita memiliki situs dunia yang menandai terbentuknya zona ekonomi global sejak abad pertengahan (the age of discovery). Kita mungkin lupa, bahwa benteng-benteng yang bertebaran itu, bukan sekedar markas militer kolonial, namun ia adalah simbol kekuasaan untuk mempertahankan zona-zona ekonomi masa lalu. Bahkan Adam Smith dalam The Wealth of Nations (1776), juga menyinggung Ternate sebagai emporium. Karena kita memang berkembang dari emporium ke imperium. Jika Belanda dan Spanyol, dapat merangkai masa lalu, menjadi industri yang layak jual kepada dunia, mengapa Maluku Utara tidak bisa. Padahal apa yang mereka jual di Eropa, titik sentralnya justeru ada pada kita.
China yang menggeliat sebagai naga baru Asia, sekarang pun mencuat menjadi kekuatan finansial baru, dengan berbasis pada rujukan masa lalu, yang dikemas dengan diksi baru sebagai New Silk Road. Jika saja kita mampu melakukan rekonstruksi dan membuat packaging atas situs- situs zona ekonomi yang ada, akan menjadi daya tarik tersendiri bagi pangsa pasar dunia untuk melirik Maluku Utara.Semua dapat dikapitalisasi menjadi sentra ekonomi berbasis rakyat.
Maluku Utara memerlukan Usaha Rakyat Center untuk itu. Tentu digitalisasi usaha rakyat menjadi keperluan tak terelakkan di tengah situasi pandemi sekarang ini. Sehingga usaha rakyat pun dapat berkembang dengan memanfaatkan perangkat internet. Tentu saja jaminan kualitas produk dan delivery time-nya harus benar-benar terkontrol.
Kita masih punya segudang keunggulan yang belum di packaging dengan baik untuk menembus pasar secara meluas. Pemerintah Daerah perlu realistis meilhat peluang ini, sebagai solusi bagi recovery ekonomi lokal kita. Untuk itu pemetaan atas keunggulan produk-produk lokal, sangat diperlukan.
Saya melihat Thailand, yang cepat melakukan economic recovery-nya sejak krisis moneter 1998, dengan melakukan local product mapping melalui kebijakan One Tombon One Product (OTOP) di mana masing-masing distrik pedesaan dan kabupatennya, memiliki produk unggulan tersendiri.
OTOP berkembang karena didesain oleh Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra, menjadi penggerak local entrepreneurship (2001-2006). Program ini, sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, karena Thailand juga merujuk pada Jepang, yang telah lebih dulu menerapkan kebijakan One Village One Product (OVOP) sejak lama.
Tugas pemerintah adalah memberikan stimulus dan memproteksi program berbasis pedesaan dan rakyat banyak tersebut (rural communities participate). Agar produk mereka memiliki standard quality control yang baik dan bisa menembus akses pasar, baik domestik maupun global. Sama halnya dengan Malaysia di bawah Mahathir Muhammad, yang memberikan peluang sekaligus proteksi terhadap bangkitnya ekonomi Melayu. Tidak melepas bertarung terbuka dipasar bebas, karena tak mungkin bersaing dengan korporasi dan para pemilik modal.
Recovery ekonomi Malaysia setelah krisis 1998, dilakukan melalui rescheduling proyek-proyek nasional, berupa penentuan skala prioritas baru sambil mengencangkan ikat pinggang. Malaysia menolak uluran tangan IMF sebagaimana dilakukan Indonesia, karena Malaysia tak mau kehilangan kedaulatan ekonominya.
Bagi Maluku Utara, mungkin saja contoh terdekat bisa mempelajari kebijakan yang pernah ditempuh sejumlah pemimpin daerah di masa lalu, antara lain Gubernur A. Amiruddin dengan pembangunan wilayah komoditas, dan Gubernur Alala di Sulawesi Tenggara dengan gerakan pembangunan desa sebagai sentra pertumbuhan.
Krisis Global.
Menghadapi pandemi global ini, kita bangsa Asia, memang tengah menghadapi masa endangered century, kata Lee Hsien Loong, Perdana Menteri Singapore. Masa yang mengantar bangsa Asia pada kemiskinan global dengan sendirinya.
Tanpa kebijakan yang pas dari pemerintah, bukan tidak mungkin, apa yang diungkapkan PM Singapore tersebut segera menjadi kenyataan.
Merujuk the great depression (era malaisie) pada 1929, Presiden Franklin Delano Roosevelt merumuskan kebijakan yang dinilai kontroversial, yakni New Deal. Disebut kontroversial, karena kebijakan tersebut seakan mengangkangi ideologi ekonomi politik Amerika Serikat yang liberal. Karena New Deal memang cenderung sosialis (populis). Namun demikian kebijakan tersebut berhasil mengeluarkan Amerika Serikat dari perangkap resesi ekonomi global, bahkan mengantar Amerika Serikat menjadi negara adidaya baru pasca Perang Dunia II hingga sekarang ini.
75 tahun Amerika Serikat telah berjaya, karena diawali dengan New Deal-nya Roosevelt tersebut. Walaupun kita tahu bahwa realitas global saat ini, China berkeinginan kuat eksis sebagai kekuatan global baru dunia menyaingi Amerika Serikat. Itupun diawali China dengan kebijakan Deng Xiao Ping dengan apa yang kita kenal sebagai OBOR (One Belt One Road) dan BRI (Belt and Road Initiative), sebuah kebijakan yang ambisius untuk membuka interkoneksi pasar global atas barang dan jasa industri manufaktur China ke segala penjuru dunia. China melakukan itu, dengan merujuk pada silkroad masa lalu.
Maluku Utara pun tak luput dari ekspansi ekonomi China ini. Sebutlah kawasan pertambangan di Halmahera dan Obi misalnya. Maluku Utara akan menjadi penyuplai bahan dasar industri baterai lithium dengan kualitas terbaik di dunia. Walaupun industri ini, tidak serta merta memberi akses bagi pertumbuhan ekonomi domestik pelaku ekonomi akar rumput di Maluku Utara.
Indonesia tak luput dari pergulatan kontestasi ekonomi global antara BRI yang dimotori China dan Trans Pacific Partnership yang ditopang Amerika Serikat. Artinya politik global masih tetap berbasis pada pendekatan zona ekonomi sebagai rujukannya untuk membentuk zona kekuasaan politik.
Robert D. Kaplan menyatakan, hingga abad 21 sekarang, strategi kepentingan Amerika Serikat dalam pendekatan geopolitik globalnya, masih berbasis pada apa yang disebut sebagai Marco Polo’s World.
Artinya apa yang diperebutkan dunia pada abad pertengahan, yakni kontestasi mencari nusantara sebagai sumber rempah-rempah, tidak pernah berubah. Walaupun perebutan hegemoni abad 21 ini, menggunakan instrumen modern melalui apa yang disebut sebagai proxy war atau perang asimetrik sebagai model perang terbaru setelah era Cold War atau Perang Dingin pasca Perang Dunia II. Namun, apapun bentuknya, substansinya tetaplah sama, yakni perebutan hegemoni dan akses terhadap zona-zona ekonomi dunia. Dan bukanlah kebetulan bahwa potret itu, secara faktual, artefaknya bertebaran di segala penjuru Maluku Utara. Karena jejak-jejaknya dengan mudah dapat ditemui dari Morotai, Teluk Kao, Jailolo, Ternate, Tidore, Moti, Makian, Bacan, hingga Sula.
Nah, kita tidak lagi repot merumuskan kebijakan dengan rumit, tinggal mengkapitalisasi jejak-jejak ini, dengan narasi yang tepat, akan menjadikannya packaging menarik bagi proses pemulihan ekonomi berbasis kerakyatan.
Kita tidak perlu susah-susah merumuskan sesuatu yang baru sama sekali. Dengan kata lain, kita tak perlu terlalu membebani APBD lokal, untuk membentuk Usaha Rakyat Center dengan memanfaatkan situs-situs sejarah sebagai sumber pendapatan bagi masyarakat lokal.
Memang hingga saat ini, kita belum melihat dengan jelas keberpihakan kebijakan negara kepada pelaku ekonomi kecil, agar pemulihan ekonomi tingkat akar rumput, dapat bertumbuh ditengah belum berakhirnya pandemi global sekarang ini. Sebutlah regulasi besar seperti Omnibus Law, yang memicu kontroversi para ekonom tersebut, karena dianggap menjadi pintu masuk bagi investasi asing, belum juga berdampak banyak bagi petty trader yang tersebar di Maluku Utara.
Kita berharap, investasi asing di tengah pandemi, padahal negara-negara yang diharapkan menjadi donor state, justeru masih berkutat dengan dengan persoalan yang relatif sama, yakni mengatasi pandemi dan kemerosotan ekonomi domestik dalam negerinya masing-masing.
Justeru itu, dari pada menengadahkan tangan ke orang lain, mendingan kita berupaya membumikan kebijakan domestik. Hal ini sangat diperlukan dalam waktu dekat. Mengutip CNN Indonesia (03/06/2020), Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu memperkirakan dampak kerugian ekonomi Indonesia mencapai Rp. 316 trilun pada triwulan pertama 2020. Loss potential growth ini jelas diakibatkan pandemi Covid-19 yang melanda tanah air.
Sebaliknya jika pemerintah kita gagal merumuskan kebijakan dalam merespon kemerosotan ekonomi ditengah pandemi ini, Fukuyama menyebut negara akan mengalami disfungsi (disfunctional state) karena ketidak mampuan birokrasi. Dan itu mengakibatkan social distrust yang pada akhirnya mengantar sebuah negara menuju negara gagal (failed state).
Usaha Rakyat
Bagi kita di Maluku Utara, domestikasi beleid riil adalah keperluan tak terelakkan saat ini. Bukan malah membiarkan merajalelanya bisnis retail model kapitalisme yang menjerat masyarakat lokal dengan semakin maraknya pusat-pusat perbelanjaan yang dengan sendirinya bakal mematikan bangkitnya ekonomi domestik.
Usaha Rakyat jika tidak diproteksi dan diberi ruang yang cukup, adalah tidak mungkin dilepas bebas bersaing dengan bisnis ritel yang bermodal besar dan memiliki jaringan management yang kuat. Hal itu identik dengan membiarkan ketidak adilan ekonomi menimpa rakyat banyak.
Saatnya kita membalik logika, dengan menjadikan pandemi global ini menjadi peluang bagi bangkitnya ekonomi lokal Usaha Rakyat. Belum terlambat bagi pemerintah daerah merumuskan kebijakan yang pro-rakyat, dengan kata lain, dunia kita tidak dapat dibiarkan berjalan seperti sedia kala lagi dengan kehadiran pandemi sekarang.
Business as usual harus ditinggalkan oleh birokrasi kita, untuk lebih inklusif dalam merumuskan kebijakan-kebijakan pembangunannya. Mindset harus diubah, merujuk pada kata-kata bijak penulis dan pastor Amerika Serikat John Calvin Maxwell di awal tulisan ini, dari pada kita menangisi badai, mendingan kita berharap akan perubahan dan segera mengusung layar.
Bukanlah sesuatu yang teramat sulit, apalagi tak mungkin. Karena tidak ada kata terlambat untuk memulai.
Memulai dan gagal, jauh lebih baik daripada tidak pernah berupaya sama sekali. Itu lebih terhormat daripada membiarkan kita tergilas oleh badai pandemi tanpa dapat melihat jalan keluarnya sama sekali.
* Pemerhati Budaya Maluku Utara.