Dua Tahun Pemerintahan Jokowi-JK

Masih Jauh dari Cita-cita Trisakti

| dilihat 2001

"SAYA selalu ingat Trisakti Bung Karno. Berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya," kata Joko Widodo (Jokowi) dalam acara Orasi Kebudayaan dan Pentas Seni Rakyat untuk memperingati Bulan Bung Karno di Tugu Proklamasi, Jakarta, 23 Juni 2012. Kala itu, Jokowi tengah melaju sebagai calon gubernur DKI Jakarta, berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Ajaran Trisakti itu tak hanya menancap di benak Jokowi. Saat menjabat Gubernur DKI Jakarta, Jokowi lewat kewenangan yang dimilikinya, mengaktualisasikan Trisakti. Misalnya, dia menolak utang dari Bank Dunia sebesar US$139,64 juta atau sekitar Rp1,25 triliun untuk proyek pengerukan sungai di Jakarta.

Utang tersebut ditandatangani pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan Bank Dunia pada 17 Februari 2012. Rencananya, utang itu akan digunakan untuk membiayai proyek Jakarta Urgent Flood Mitigation Project (JUFMP) guna mencegah banjir Jakarta. Namun, Jokowi menolak utang itu lantaran uang di kas Pemerintah Propinsi DKI Jakarta masih ada dari sisa lebih anggaran (Silpa) sebesar Rp10 triliun.  

Sikap Jokowi menolak utang Bank Dunia itu layak diapresiasi. Jokowi paham jika utang harus dibayar tepat waktu, beserta bunganya. Jika pembayarannya molor, si penerima utang akan terus-terusan menanggung beban bunga yang jumlahnya terus meningkat. Para penagih utang tak peduli, meski keuangan penerima utang tengah kering kerontang.

Lantaran terus-terusan dikejar utang, negara pun kehilangan kedaulatan. Kebijakan negara dikendalikan. Intervensi pun dilakukan. Dengan dalih efisiensi, kreditor internasional, memaksa pemerintah berberhemat, memangkas anggaran belanja di sektor publik seperti untuk kesehatan, pendidikan, memangkas subsidi, dan sebagainya.

Bisa pula dengan cara menekan pemerintah agar mengamini kepentingan asing. Misalnya, dengan membuat aturan yang sesuai kehendak asing. Dengan begitu, mereka dapat mudah masuk untuk menancapkan kepentingan seperti mengeksploitasi kekayaan alam, menggarap proyek-proyek pemerintahan, dan sebagainya.

Utang sengaja ditebar kreditur internasional yang berlagak layaknya dewa penyelamat. Utang ditebar dengan jubah hibah atau bantuan. Tidak ada yang gratis. Si penerima utang harus rela disetir untuk meladeni kepentingan rentenir.

Karenanya, sikap Jokowi menolak utang perlu diapresiasi. Itu menunjukan dirinya ingin menjaga kedaulatan politik. Jokowi tak ingin utang memudahkan pihak asing mengintervensi dirinya.

Tentu, di kala menjabat Presiden Republik Indonesia ke-7, Jokowi diharapkan mampu mengurangi ketergantungan pemerintah terhadap utang luar negeri. Dan, kala kali pertama berpidato di hadapan anggota DPR/MPR, 20 Oktober 2014, Presiden Jokowi kembali menyerukan visi Trisakti. "Kini saatnya, kita menyatukan hati dan tangan. Kini saatnya, bersama-sama melanjutkan ujian sejarah berikutnya yang maha berat, yakni mencapai dan mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan."

Kepala Negara menebar keyakinan jika visi Trisakti itu dapat diwujudkan jika semua elemen bangsa bersatu, bergotong royong dan kerja keras. Namun, muncul pertanyaan, bagaimana mungkin visi Trisakti itu terwujud jika pemerintah hingga kini masih bergantung pada utang luar negeri?

Setelah dua tahun pemerintahan dipimpin Jokowi, utang luar negeri Indonesia meningkat tajam. Di tahun 2016, angkanya menembus Rp3.263,52 triliun, melonjak signifikan dibandingkan tahun 2014, yang mencapai Rp2.608,78 triliun. Sampai kapan utang yang kian menumpuk itu dilunasi?

Indonesia harusnya belajar dari Yunani yang bangkrut karena utang luar negeri. Juli 2015, Pemerintah Yunani menyatakan bangkrut lantaran tak kuasa membayar utang yang kian menumpuk hingga mencapai Rp4.740 triliun.

Utang yang mencekik, menyadarkan rakyat Yunani untuk menolak negosiasi bantuan yang ditawarkan kreditur internasional. Mereka tak lagi mau terjebak dalam kubangan yang sama. Mereka pun menentang kreditur internasional yang menekan pemerintah untuk melanjutkan kebijakan efisiensi, menaikkan pajak dan memangkas anggaran untuk sektor-sektor publik.

Tidak hanya Yunani, Agustus 2015, Pemerintah Puerto Rico juga mengumumkan kebangkrutannya lantaran dililit utang sebesar Rp949 triliun. Dan, menurut sejumlah pakar ekonomi dunia, sejumlah negara yang terancam bangkrut karena gagal membayar utang antara lain: Argentina, Ekuador, Venezuela, Meseir, Pakistan, Timor Leste, Spanyol, Portugal, Italia, termasuk Indonesia.

*****

Memang, Indonesia membutuhkan dana besar untuk pembangunan. Tetapi, tidak melulu bersumber dari utang luar negeri. Kian melambungnya jumlah utang luar negeri menunjukan bangsa ini masing sangat bergantung pada pada negara lain. Hal itu sekaligus menunjukan ada ketidakberesan dalam pengelolaan sumber-sumber keuangan untuk pembangunan.

Idealnya, sumber dana pembangunan berasal dari penerimaan pajak, hasil pengelolaan kekayaaan alam, ekspor impor, dan sebagainya. Karenanya, patut diapresiasi jika pemerintah berikhtiar mengumpulkan pendapatan dari pajak lewat program pengampunan pajak (tax amnesty).

Hasilnya cukup mengembirakan. Total harta yang dilaporkan dalam program tax amnesty jelang akhirnya periode I telah menembus angka Rp3.096 triliun. Dari total harta yang telah dilaporkan itu, harta yang berasal dari deklarasi dalam negeri mencapai Rp2.102 triliun dan deklarasi dari luar negeri mencapai Rp867 triliun.

Namun, total harta yang melakukan repatriasi baru mencapai Rp128 triliun. Sedangkan jumlah uang tebusan yang masuk ke kas negara dari program amnesti pajak mencapai Rp77,3 triliun, yang berasal dari pajak pribadi dan non UMKM mencapai Rp67,3 triliun, pajak badan non UMKM sebesar Rp7,61 triliun, dan pajak orang pribadi UMKM hingga Rp2,31 triliun.

Meski melebihi ekspektasi, program tax amnesty menuai resistensi lantaran tidak adil karena pemerintah mengampuni para pengeplang pajak. Gerakan stop membayar pajak sempat bermunculan di dunia maya. Bahkan, Undang-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak pun diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi.

*****

Ketergantungan terhadap utang luar negeri menunjukan jika ajaran Trisakti belum teraktualisasi. Lewat ajaran Trisakti, Bung Karno sebenarnya telah mengingatkan jika jurus menebar utang merupakan modus imprealisme baru yang dilakoni negara-negara maju. Utang adalah salah satu cara bagi negara-negara kreditor untuk mengukuhkan ketergantungan sebuah negara sehingga lebih mudah dijinakkan. Negara bertekuk lutut lantaran kedaulatan tergerus oleh kekuatan kapital.

Sebuah negara yang merdeka, tentu harus memiliki kedaulatan politik. Dengan politik yang berdaulat, maka negara dapat menjalankan mandatnya mensejahterakan rakyat. Dengan kata lain, politik yang berdaulat memberikan keleluasaan kepada negara untuk memproteksi rakyatnya yang terkena imbas ketidakadilan, yang salah satunya akibat praktik mekanisme pasar yang mengarusutamakan kekuatan modal.

Pemerintahan yang berdaulat secara politik, memiliki kontrol yang kuat untuk mencegah distorsi dalam sistem perekonomian liberal yang melabrak prinsip-prinsip ekonomi kerakyatan. Corak perekonomian liberal, di satu sisi memang memacu produktifitas.

Namun, tanpa kontrol negara, mekanisme pasar mereduksi prinsip ekonomi kerakyatan yang menekankan gotong royong, musyawarah mufakat, dan berorientasi mencapai kesejahteraan bersama.

Bagi negara-negara maju, yang ditopang kekuatan finansial, kecanggihan teknologi, dan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, negara berkembang dan miskin, harus terus dibuat bergantung. Dengan begitu, negara-negara maju dapat melakukan intervensi dengan iming-iming utang, hibah, atau bantuan lainnya. Tentu dengan syarat yang dapat mengalirkan keuntungan bagi mereka. Misalnya, lewat penguasaan sumberdaya alam, investasi, kegiatan ekspor-impor yang tidak dibatasi aturan yang memberatkan, menekan upah buruh, dan sebagainya.

Kepentingan negara-negara maju itu menyusup lewat instrumen keuangan global seperti The International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia (World Bank), World Trade Organization (WTO), dan sebagainya. IMF misalnya, mendorong agenda neoliberal, investasi, dan perdagangan bebas. Untuk merealisasikan kepentingannya, IMF campur tangan, mengevaluasi kebijakan domestik yang dianggap dapat menghambat kepentingan pasar, dan menekan pemerintah untuk memberlakukan aturan sesuai kepentingannya.

Misalnya, alih-alih mendorong reformasi ekonomi, IMF mendesak pemerintah memangkas pengeluaran pemerintah, memperketat kebijakan moneter, mencabut subsidi, mengurangi anggaran program-program sosial, melakukan privatisasi perusahaan-perusahaan publik, dan sebagainya.

Begitu pula dengan Bank Dunia. Awalnya, keberadaan Bank Dunia adalah menyediakan bantuan dana rekonstruksi pasca perang di Eropa. Kini, seperti IMF, kebijakan Bank Dunia lebih didominasi kepentingan negara-negara kaya seperti Perancis, Jerman, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat.

Jahatnya bisnis rentenir yang dilakoni lembaga keuangan internasional itu diungkap Jhon Perkins dalam bukunya berjudul Confessions of an Economic Hit Man (2004). Perkins membeberkan motif jahat itu karena pernah terlibat sebagai bagian dari bandit ekonomi internasional, yang tugasnya menebar utang ke negara-negara miskin dan berkembang. Perkins mengaku pernah menjadi agen economic hit man, ekonom profesional yang digaji tinggi untuk menipu pemerintah di negara-negara di seluruh dunia.

Tugasnya, menyalurkan uang dari Bank Dunia, USAID, dan organisasi ekonomi internasional lainnya, termasuk dana-dana dari konglomerasi raksasa, untuk mengendalikan sumber daya alam di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Perkins juga pernah menjadi agen rahasia Amerika Serikat, National Security Agency (NSA).

Dari pengakuan Perkins, utang yang digelontorkan itu diarahkan untuk membuat ketergantungan pemerintah sebuah negara. Utang terus-terusan digelontorkan sampai pemerintah tak mampu melunasinya. Dalam kondisi demikian, negara-negara kreditur yang menggerakan lembaga keuangan internasional lalu memaksa pemerintah mengakomodir kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan mendorong liberalisasi perdagangan di negara yang dibidiknya. Cara-cara itu identik dengan imprealisme terhadap negara-negara miskin dan berkembang, yang memiliki kekayaan alam, namun tidak mampu mengelolanya secara maksimal. Negara-negara miskin dan berkembang ditargetkan menjadi pasar. Karena merasa berdosa, Perkins mengundurkan diri dari pekerjaannya.

Di Indonesia, negara-negara maju yang ditopang ilmu pengetahuan, teknologi, dan kekuatan kapital, terus-terusan memindahkan kekayaan alam Indonesia, yang kemudian diolah di negaranya sehingga menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi, dan kemudian dijual lagi ke Indonesia. 

Lihat saja. Hampir sebagian besar sektor pertambangan di negara ini dikuasai asing seperti Freeport, Exxon Mobil, Shell, Chevron, Newmont, dan sebagainya. Ironisnya, negara pun terbebani cost recovery (biaya operasional) untuk pengusahaan minyak dan gas yang jumlahnya sangat besar. Dari tahun ke tahun cost recovery selalu membengkak.

Hingga Juli 2016, realisasi cost recovery telah mencapai US$6,5 miliar. Sedangkan anggaran cost recovery yang ditetapkan dalam APBN-P 2016 hanya US$8 miliar. Sementara produksi minyak selalu turun sehingga tidak menggenjot penerimaan negara. Belum lagi praktik eksploitatif yang merusak lingkungan yang kian memperburuk kehidupan masyarakat.

Hampir sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan pertambangan hidupnya miskin. Mereka pun kian sulit mengakses sumber-sumber ekonomi lantaran rusaknya sistem ekologi akibat praktik eksploitasi. Kemiskinan yang hingga kini dialami masyarakat Papua misalnya. Keberadaan pertambangan emas PT Freeport Indonesia yang sahamnya didominasi Amerika Serikat (AS) nyatanya tak mampu menebar kesejahteraan. Sementara kegiatan ekspolitasi tambang emas dan perak yang dilakukan Freeport telah meraup untung luar biasa. Setiap hari hampir 700 ribu ton material dibongkar untuk menghasilkan 225 ribu ton bijih emas.

******

Negara-negara maju menyakini ajaran ekonom klasik, Adam Smith (1776) yang menilai, pasar bebas akan membentuk kegiatan ekonomi yang efektif dan efisien. Karenanya, Smith menentang intervensi negara dalam kegiatan pasar. Pasar bebas menjadi prinsip universal karena berbasis pada pandangan jika setiap manusia berkeinginan memajukan kehidupannya sendiri menjadi lebih baik (the universal desire to better his own condition).

Kepentingan pribadi (self interest) diyakini mampu memotivasi manusia untuk mengadakan aktivitas ekonomi. Tanpa self interest, aktivitas ekonomi tidak pernah akan terjadi. Dengan begitu, produktifitas ekonomi akan tumbuh. Namun, dalam praktiknya, mekanisme pasar justru menciptakan kesenjangan ekonomi, lantaran pelaku pasar cenderung mengabaikan nilai humanisme yang menekankan pentingnya pemerataan kesejahteraan.

Sumber-sumber ekonomi dikuasai segelintir orang yang memiliki kekuatan kapital dan akses kekuasaan. Mereka terus-terusan memperbesar keuntungan pribadi dan kelompoknya sendiri serta membuat orang lain tetap tak berdaya dan bergantung padanya.

Dalam konteks perekonomian global, yang nampak adalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Negara-negara kuat yang menyetir instrumen-instrumen global dengan kekuatan akumulasi modalnya, menjadi aktor dominan yang melakukan proletarisasi di negara-negara miskin dan berkembang. Fenomena itulah yang dikhawatirkan Soekarno yang digambarkannya sebagai bentuk penghisapan oleh manusia atas manusia dan oleh satu bangsa atas bangsa yang lain.

*****

Utang luar negeri mengalir sejak Orde Baru. Bahkan, jauh sebelumnya, sejak Belanda akan mengakhiri penjajahannya di Indonesia. Kesekpatan Konfrensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda, menuntut Indonesia membayar semua utang yang diwarisi pemerintah kolonial Belanda. Presiden Soekarno meninggalkan utang luar negeri sebesar US$6,3 miliar yang terdiri dari US$4 miliar warisan Belanda dan utang pemerintah sebesar US$2,3 miliar.

Di era Orde Baru tatkala krisis ekonomi 1997-1998 melanda, utang tak bisa dihindari. Pemerintah Orde Baru terpaksa menandatangani Letter of Intent (LoI) sebagai syarat mendapatkan utang demi menyelamatkan perekonomian Indonesia. Rezim Orde Baru mencatat rekor mewarisi utang yang mencapai Rp1.704 trilun atau US$165 milyar, yang terdiri utang luar negeri Rp732 triliun dan utang dalam negeri Rp973 triliun.

Lalu, menurut data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, hingga Februari 2014, jumlah utang luar negeri pemerintah Indonesia mencapai Rp2.428,63 triliun dengan rasio 24,7 persen terhadap PDB.

Kian menumpuknya utang luar negeri membuat bangsa ini kehilangan kedaulatan di hadapan negara-negara asing. Di tambah lagi ketidakmandirian yang yang menyebabkan bumi, air, dan kekayaan alam lainnya yang terkandung di Indonesia, justru dieksploitasi dan dimonopoli asing.

Praktik ekonomi pasar di Indonesia juga menghimpit ekonomi kerakyatan yang diamanatkan konstitusi. Lambat laun, kekuatan kapital, tidak hanya menguasai pasar maupun industri skala besar, namun juga merambah ke pasar dan industri kecil.

Lihat saja, pasar tradisional yang menjadi berkumpul pelaku usaha kelas kecil dan menengah dengan pola interaksi ekonomi yang mengedepankan kekeluargaan, kian tersingkir oleh pasar modern yang digerakan modal skala besar yang tumbuh secara massif.  Pasar tradisional sejatinya simbol ekonomi kerakyatan. Barang-barang yang diperjualbelikan harga relatif lebih murah dibandingkan pasar modern.

Aktivitas pun diwarnai transaksi yang menempatkan posisi konsumen dan produsen setara. Pasar tradisional juga menghidupkan ekonomi petani karena menjadi tempat memasarkan produk hasil pertaniannya. Sementara di pasar modern, menjadi simbol hedonisme, konsumerisme, dan lebih banyak menguntungkan pedagang besar.

Ajaran Trisakti bukan sebatas jargon yang terdengar rada revolusioner. Namun, perlu diaktualisasikan agar bangsa ini mandiri dan berdaya dalam mengelola sumberdaya dan potensi yang dimiliki, termasuk menghadapi pertarungan global yang kian tak adil dan didominasi negara-negara maju. Tanpa kemandirian dan keberdayaan, negara ini akan terus digilas bangsa lain.

Kemandirian dan keberdayaan setidaknya memudahkan bangsa ini mengelola potensi yang dimiliki. Ketidakberdayaan dalam mengelola kekayaaan alam, dan menyerahkan pada bangsa lain, hanya memiskinkan negara ini dan memperkaya negara lain.

Kemandirian juga sangat penting karena di era globalisasi saat ini, tekanan krisis ekonomi yang melanda sejumlah negara, akan menjalar ke negara-negara lain. Dengan kemandirian masyarakat dapat bertahan apabila terjadi tekanan krisis.

Bangsa ini adalah bangsa yang besar. Kekayaan alam melimpah ruah di bumi Nusantara. Belum lagi potensi demografis yang sangat luar biasa. Apabila dari total populasi Indonesia yang mencapai sekitar 240 juta jiwa itu mayoritas di antaranya adalah tenaga kerja yang produktif, maka dapat menjadi kekuatan luar biasa. Sebaliknya jika mayoritas penghuni negeri ini tidak produktif, maka justru dapat memicu bencana demografi (demographic disaster). | M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 340
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 634
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 784
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 751
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya