Diskusi Perubahan UU BUMN

Luruskan Kembali Persepsi tentang BUMN

| dilihat 2655

Catatan Bang Sem

MENTERI Rini M. Soemarno, masuk ke holding room, Senin (25/7/16), sebelum membuka diskusi serial ihwal BUMN sebagai agen pembangunan, yang terkait dengan perubahan Undang Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Langkahnya ringan, seperti biasa.

Dia duduk diapit Happy Bone Zulkarnain – CEO (Chief Executive Officer) Indonesia Public Policy and Business Development Network  (IPBD Network) dan Wakil Ketua Komisi VI DPR RI / Ketua Panja Perubahan UU BUMN, Dodi Reza Alex Nurdin. Di ruangan itu ada juga Sesmen dan Deputi Kementerian BUMN, dan wakil dari Kadin Indonesia.

Perbincangan pun menarik tentang berbagai hal, dan Rini sangat menguasai masalah. Tak berapa lama, mereka masuk ke Grand Ballroom – Hotel Indonesia Kempinski, milik BUMN yang dikerjasamakan dengan Djarum Grup, itu.

Dodi mengemukakan, DPR RI selain fokus pada perubahan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, juga tengah melakukan kajian tentang peraturan turunan lainnya untuk diharmonisasikan dalam perubahan Undang-Undang.

Dalam pemikirannya sebagai keynote speaker, Dodi  menyebut soal penanaman modal negara (PMN), perusahaan anak dan perusahaan cucu BUMN yang dalam sudut pandangan DPR RI merupakan kekayaan negara.

Artinya DPR ingin mengontrol semua hal terkait dengan BUMN. Artinya, tidak cukup hanya Kementerian BUMN yang disoroti. Di sisi lain, Dodi mengungkap bagaimana Panja BUMN berfikir menyiapkan payung hukum BUMN untuk menampung dana repatriasi, sebagai konsekuensi logis diberlakukannya UU Tax Amnesty – UU yang judulnya tak memuliakan bahasa Indonesia ini.

Payung hukum itu dianggap penting, lantaran dana repatriasi diperkirakan mencapai Rp300 triliun.

Selain itu Dodi juga menyinggung soal holding BUMN, termasuk PKBL (Program Kemitraan Bina Lingkungan) sejenis corporate social responsibility (CSR).

Menurut Dodi, holding dan PKBL kudu jelas benefitnya, tanpa menjelaskan dengan bahasa terang, manfaat buat siapa. Pasalnya selama ini, meski tak nampak, PKBL juga ‘dimanfaatkan’ kalangan oknum anggota DPR untuk kepentingan membina daerah pemilihan. Paling tidak, begitu pengakuan seorang manajer di salah satu BUMN yang hadir sebagai peserta.

Dengan bahsa ideal, Dodi mengemukakan, DPR berpandangan, ke depan BUMN bisa bersaing secara global. Di lingkungan domestik diharapkan BUMN juga kudu memikul tanggungjawab memperkuat daya saing, menyumbang perekonomian Indonesia, dan menyediakan lapangan kerja dan kesejahteraan di dalam negeri. Pun tidak eksplisit dijelaskan lapangan kerja untuk tenaga kerja Indonesia.

Persepsi Dodi – mewakili DPR RI – ihwal holding, agaknya berbeda dengan sisi pandang Kementerian BUMN yang sudah melakukannya sejak 2007-an. Bagi Kementerian BUMN fokusnya bukan pada holding, melainkan pada resizing BUMN, agar jumlah BUMN tak perlu bejibun, tetapi lebih ramping supaya efektif dan efisien.

Apa yang dikemukakan Dodi memberi kesan, DPR kian ingin merangsek lebih jauh mengurusi BUMN, padahal sebagai korporasi negara, dia harus diperlakukan sama fleksibelnya dengan private, khususnya terkait dengan aksi korporasi. Dan tak perlu dibebani oleh kepentingan politik yang jauh dari watak BUMN sebagai entitas korporasi.

Menteri BUMN Rini M. Soemarno bicara normatif. Sebagai Menteri BUMN, konsisten dengan prinsip kontinitas dan sustainabilitas. Misalnya, ketika dia menyampaikan kembali gagasan lama tentang Superholding BUMN yang secara kelembagaan bertanggungjawab langsung ke Presiden, tanpa harus melalui Kementerian BUMN.

Pendek kata, gagasan itu memandang, Kementerian BUMN tidak diperlukan lagi. Rini mengusik dengan pandangannya agar kita memandang BUMN sesuai dengan platformnya sebagai kepanjangan tangan negara untuk mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state) seperti diamanatkan Pasal 33 UUD 1945.

Dengan begitu, fokus Superholding BUMN kelak tidak harus sepenuhnya bergantung kepada APBN atau belanja negara, kecuali diperlukan, dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN). Artinya BUMN fokus pada penciptaan nilai, creating value supaya lebih bisa bersaing, baik di skala domestik, regional maupun global. Kata kuncinya adalah: pemberdayaan, pengembangan dan kontrol, seperti korporasi negara di berbagai negara lain.

Dalam konteks itulah, ungkap Rini, kepastian hukum itu perlu. Artinya, perubahan (dalam makna penyempurnaan) UU BUMN memang perlu. Terutama dalam konteks penguatan tata kelola korporasi yang baik (good corporate governance).

Bagaimanapun, menurut Rini, BUMN tetap merupakan korporasi berorientasi negara, entitas bisnis yang menyandang misi negara untuk mencapai tujuan pembentukannya. Tetapi sebagai institusi, tetap merupakan korporasi profesional yang mampu bersaing dengan swasta dan lainnya.

Artinya, penyempurnaan UU BUMN kudu mampu menyelesaikan perbedaan persepsi dan mendudukkan sudut pandang yang pas tentang BUMN. Misalnya tentang berbagai aksi korporasi yang tak memerlukan jaminan negara.

Tegas Rini menyatakan, Superholding BUMN merupakan bentuk lembaga yang mampu cepat bertindak secara profesional berbasis GCG. Progresif dan bertanggungjawab. Lembaga semacam inilah yang bisa menggantikan lembaga berbentuk Kementerian.

Seterusnya, BUMN cukup hanya mengenal satu format atau bentuk korporasi saja, persero, yang kelak bisa terbuka (Tbk) dan tidak terbuka. Dalam hal penerapan hukum, penerapan hukum korporasi lebih dulu, baru hukum pidana.

Hal lain yang dikemukakan Rini adalah perlunya penegasan secara hukum korporasi soal asset BUMN, yang selama ini tidak tercantum sebagai harta kekayaan negara, tetapi diberlakukan sebagai kekayaan negara.

BUMN juga perlu kejelasan tentang tugas negara terkait pelayanan umum (Public Service Obligation – PSO), juga aksi korporasi seperti sinergi BUMN untuk mengoptimalisasi perannya sebagai agen pembangunan. Termasuk soal pengelolaan anak dan cucu perusahaan.

Rini mengemukakan dengan persepsi demikian, dalam konteks sinergi BUMN diperoleh 5.700 T – asset BUMN, termasuk pinjaman tanpa jaminan negara. Kesemuanya didorong untuk meningkatkan kontribusi BUMN kepada negara.

Diskusi pembuka ini menjadi menarik dan kaya dengan berbagai varian pemikiran. Pada sesi kedua, hadir Hamdan Zoelva – mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Toeti – pengacara, dan Refli Harun – Komisaris Utama Jasa Marga.

Menarik pemikiran ketiganya. Hamdan tetap melihat asset BUMN sebagai bagian dari harta negara yang harus dikelola secara khusus sesuai dengan watak BUMN sebagai entitas bisnis.

Meski demikian, negara tidak harus menjadi ‘penjaga malam’ dan BUMN dengan aksi korporasinya dapat memainkan peran sebagai kepanjangan tangan negara untuk mendistribusikan kesejahteraan secara berkeadilan. Karenanya, BUMN sebagai korporasi tak bisa lari ke dalam kubangan kapitalisme dan liberalisme yang memasukkan pasar sebagai penentu.

Dalam konteks itu, maka tata cara pemeriksaan terhadap BUMN pun harus melakukan cara yang berbeda dengan pemerinksaan atas institusi pemerintahan. Apalagi, dalam banyak hal, posisi negara lebih kepada penyerta modal.

Toeti memandang BUMN harus dilihat sebagai entitas bisnis yang diberi wewenang pentuh oleh negara untuk menghasilkan pendapatan negara bagi kesejahteraan rakyat.

Akan halnya Refli Harun berulang kali mengingatkan sebagai entitas bisnis milik negara, BUMN harus mempunyai ruang aksi korporasi yang lebih fleksibel dan harus dikelola secara profesional.

Dalam konteks profesionalitas itulah, menurut Mantan menteri BUMN Sugih Arto, resizing diperlukan, untuk mencapai efektivitas dan efisiensi. Dalam konteks itu, political appointee harus dikurangi. Sugih Arto tampil bersama Ichsanuddin Noorsy di sesi penutup diskusi itu.

Saya mengingatkan kembali Sugih Arto terkait pemikiran dia tentang BUMN sebagai captain of industry di bidangnya masing-masing. Pemikiran itu masih relevan hingga kini. Terutama, ketika pandangan Ichsanuddin Noorsy tentang BUMN bermuara pada pencapaian profit dan benefit dalam satu tarikan nafas.

Ichsan memandang, negara merupakan “rumah yang bermartabat” dan karenanya, apa saja yang dimiliki negara, khasnya BUMN, harus membuat bangsa ini bermartabat dalam konteks kedaulatan, kemandirian ekonomi, yang menghasilkan kualitas keadaban dan peradaban. Dia menegaskan, setidaknya BUMN mesti mengelola modal sosial dan modal ekonomi yang menghasilkan modal budaya.

Karena itu tata kelola BUMN yang pada dasarnya mengelola seluruh potensi sumberdaya yang dimiliki bangsa ini, tak berhenti hanya pada pencapaian nilai ekonomi dan sosial semata, melainkan harus melahirkan pencapaian nilai ekologi sebagai tanggungjawab.

Dalam banyak hal saya sepandangan dengan Menteri BUMN dan seluruh panel ahli, dan dalam berbagai hal berbeda pandangan dengan cara berfikir dan bersikap parlemen dalam mendudukkan BUMN. |

Editor : sem haesy
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 432
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1503
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1322
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya