Kapitalisme Sosialistik vs Sosialisme Tulen

| dilihat 2844

SORE yang senep, tak begitu nyaman. Kedai kopi di bilangan Senayan, itu dipenuhi banyak pebisnis muda. Mereka duduk kongkow menghabiskan malam, sambil menunggu arus lalu lintas yang crowded dan nyaris stagnan, lancar kembali.

Dua orang di antara mereka, menggeser tempat duduk ke dekat saya duduk. Sejumlah rekan mereka ikut mendekat, dengan menarik kursi dan meja mereka.

“Gimana nih, Om.. bisnis rada berat,” kata salah seorang mereka.

“Sampai kapan nikh begini?”

“Sabar...,” jawab saya.

Banyak hal mereka keluhkan. Mulai dari tersendatnya program-program bisnis jasa mereka, sampai perkembangan mutakhir belanja pemerintah yang masih didominasi oleh belanja rutin katimbang belanja pembangunan.

“Presiden Jokowi kan sudah dorong Kementerian dan Lembaga menggerakkan belanja program mereka?” tukas saya.

Mereka tersenyum. Dua di antara mereka yang biasa berbisnis di sektor jasa sebagai rekanan pemerintah, merasa sejak dua tahun terakhir ini terjadi penurunan lumayan besar. Akan halnya mereka yang berbisnis di sektor jasa kreatif dan lebih banyak bermitra dengan kalangan private sector, mengaku masih bisa bernafas.

Saya simak diskusi mereka. Menarik. Menurut mereka perlambatan ekonomi dua tahun terakhir memang berjalan lamban. Meski infrastruktur terus digenjot, antara lain dengan pembangunan jalan tol, pembangunan bandar udara (bandara), dan pelabuhan, denyutnya belum terasa.

Selain itu, posisi investasi internasional (PII) Indonesia kwartawan IV – 2015, menurut Bank Indonesia juga mencatat net kewajiban sebesar USD380,7 miliar (44,2% PDB) pada akhir triwulan IV 2015. Artinya terjadi meningkat USD32,7 miliar (9,4%) dibandingkan posisi net kewajiban pada akhir triwulan III 2015 yang sebesar USD348,0 miliar (40,1% PDB).

Peningkatan net kewajiban PII tersebut, dipengaruhi oleh kenaikan Kewajiban Finansial Luar Negeri (KFLN) yang lebih besar dibandingkan dengan kenaikan Aset Finansial Luar Negeri (AFLN).

Artinya, perkembangan tersebut sejalan dengan transaksi modal dan finansial yang mengalami surplus dalam rangka pembiayaan defisit transaksi berjalan di Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan IV 2015.

Hal itu, seiring dengan meredanya ketidakpastian global dan meningkatnya optimisme atas prospek perekonomian Indonesia.

Selain itu, transaksi kewajiban finansial lainnya berupa investasi langsung dan investasi lainnya, menurut BI, ikut meningkat. Kenaikan posisi tersebut juga dipengaruhi oleh faktor revaluasi positif atas instrumen investasi berdenominasi rupiah, sejalan dengan kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Dan, penguatan rupiah terhadap dolar AS.

Apalagi, posisi cadangan devisa pada akhir Desember 2015 tercatat sebesar USD105,9 miliar, naik USD4,2 miliar (4,1%) dibandingkan dengan posisi akhir triwulan III 2015 sebesar USD101,7 miliar.

Peningkatan posisi cadangan devisa tersebut, menurut BI,  terutama dipengaruhi oleh transaksi penerimaan devisa. Antara lain berasal dari penerimaan migas dan penarikan utang luar negeri (ULN) pemerintah termasuk dari penerbitan obligasi global, hasil lelang SSBI valas.

Hal itu menunjukkan, penerimaan devisa Indonesia melebihi kebutuhan devisa, untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah serta penggunaan devisa untuk stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya.

Kendati demikian, walaupun penerimaan devisa naik, posisi cadangan devisa turun sebesar USD5,9 miliar atau 5,3% dari posisi akhir tahun sebelumnya sebesar USD111,9 miliar.

Penurunan tersebut dipengaruhi oleh besarnya kebutuhan devisa untuk pembayaran ULN pemerintah dan intervensi valuta asing dalam untuk stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya.

Turunnya posisi cadangan devisa tersebut juga disebabkan oleh meningkatnya tekanan terhadap Neraca Pembayaran Indonesia yang pada tahun 2015 mengalami defisit.

“Ah.., itu urusan makro. Urusan kita yang mikro ekonomi, nikh,” cletuk salah seorang mereka. Lalu bertanya: “Mengapa ekonomi domestik masih berjalan lambat. Ada apa sebenarnya?”

Yang lain mengajukan pertanyaan senada: Bukankah pemerintah sudah mengeluarkan berbagai paket kebijakan untuk mendorong cepat pertumbuhan, itu?

Pertanyaan itu mereka jawab sendiri. Anak-anak muda itu berpendapat, perlambatan disebabkan oleh belum teranggitnya posisi usaha kecil dan menengah. Posisi ekonomi kalangan usaha kecil dan menengah masih relatif lemah. Hanya satu dua saja yang kuat.

Artinya? Masih terdapat disparitas ekonomi antar golongan pelaku bisnis. Menurut mereka, berbagai paket kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi – JK, masih berpihak pada kalangan orang-orang kaya.

Kalangan menengah dan kecil, belum menampakkan hasil, walaupun di beberapa sektor memberi kemudahan, seperti sektor pertanahan (agraria). Sektor perbankan justru belum terasa. Bank-bank plat merah milik pemerintah, masih mengutip bunga relatif besar (9 persen) untuk program Kredit Usaha Rakyat, yang diplesetkan menjadi Kredit Usaha Ribet.

Artinya, akses usaha kecil menengah terhadap bank, masih lemah. Terutama karena orientasi layanan bank kini, memang masih cenderung berorientasi pada nasabah prima. Padahal, kebanyakan mereka – terutama secara orang perorang – masih merupakan nasabah pasif yang paling banyak menangguk untung dari kuatnya akses terhadap bank.

Saya menyimak obrolan sore yang kadang terkesan ngalor ngidul itu.

Salah seorang mereka menyebut, politik ekonomi Jokowi – JK tidak sesuai dengan tema besar kampanye mereka. Nafas kapitalisme masih sangat kuat terasa.

Mereka terperangah ketika saya nyeletuk, “Kapitalisme sosialistik..”

Mereka ngakak dan langsung menyergah cletukan saya. “Kalo kapitalisme sosialistik, kita nggak megap-megap om,” ujar salah seorang mereka. Ini kapitalisme tulen, hanya porosnya saja yang pindah, dari Amerika Serikat ke Tiongkok.

Salah seorang di antara mereka mengemukakan, ketika beberapa investor Jepang dan Amerika Serikat ‘hengkang’ dari Indonesia ke Laos, Kamboja, dan Myanmar, yang merana bukan hanya pekerja. Tapi juga usaha kecil menengah yang selama ini menjadi mitra perusahaan-perusahaan yang hengkang itu.

Setarikan nafas, masuknya foreign direct invesment (FDI) yang selalu diwawar acapkali Presiden Jokowi pulang dari kunjungan kerja ke luar negeri, belum menjadi kenyataan. Masih menjadi bayang-bayang fantasi.

“Gimana nggak jadi fantasi, kalo kemudian nggak ada yang follow up,” cetusnya.

“Kan ada harapan lain dari sektor properti dan pariwisata?” cletuk saya lagi.

“Ah si Oom.. kayak gak tahu aja. Di sektor itu, siapa yang menguasai? Bukan kalangan menengah.”

“Sektor pariwisata, juga sama. Belum sepenuhnya memberi prospek membahagian untuk kalangan menengah bawah,” tukas salah seorang mereka.

Malam terus merambat. Saya sudah rada ngantuk. Lantas pamit pada mereka. Beberapa di antara mereka juga ikutan pamit. | Bang Sem

Editor : sem haesy
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 715
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 872
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 823
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 922
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1154
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1413
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1560
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya