Jebakan Rentenir Internasional

| dilihat 2159

AKARPADINEWS.COM | TIDAK ada yang gratis. Utang diberikan, angsuran plus bunganya harus dibayar. Tepat waktu. Kalau menunggak, semakin besar pula bunga yang harus ditanggung. Begitu terus. Hingga akhirnya, utang makin menumpuk. Si pengutang pun terpuruk. Tak peduli. Para penagih utang pun terus-terusan memburu pengutang, yang keuangannya kering kerontang.

Begitulah kejamnya jika berurusan dengan para penebar utang. Utang yang mereka berikan hanya manis awalnya. Tetapi, pahit akhirnya. Dalam konteks yang lebih luas, utang yang identik dengan kemiskinan, dapat menjerumuskan sebuah negara dalam jurang kebangkrutan. Beberapa negara sudah mengalaminya. Merasakan betapa jahatnya penghisapan yang dilakukan kreditur internasional.

Awalnya, kreditur internasional itu berlagak layaknya dewa penyelamat tatkala sebuah negara mengalami sekarat. Mereka menawarkan utang--dengan jubah hibah atau bantuan. Tentu, dengan syarat. Negara penerima utang harus rela disetir, demi kepentingan para rentenir internasional.

Juli 2015 silam, Pemerintah Yunani secara resmi menyatakan kebangkrutan negaranya. Negeri para filsuf itu tak kuasa membayar utang yang kian menumpuk hingga mencapai Rp4.740 triliun. Utang yang mencekik menyadarkan rakyat Yunani untuk menolak negosiasi bantuan yang ditawarkan kreditur internasional. Karena, kebijakan bailout yang digelontorkan kreditur internasional itu tidak gratis dan terbukti gagal mengatasi kebangkrutan negaranya.

Rakyat Yunani pun tak lagi mau terjebak dalam kubangan yang sama. Sebanyak 61 persen rakyat Yunani menolak persyaratan yang diajukan kreditur internasional yang coba-coba menekan pemerintah untuk melanjutkan kebijakan efisiensi, menaikkan pajak dan memangkas anggaran untuk sektor-sektor publik.

Tidak hanya Yunani, Agustus 2015 lalu, Puerto Rico juga turut mengumumkan sebagai negara bangkrut lantaran dililit hutang sebesar Rp949 triliun. Dan, bukan hanya Yunani dan Puerto Rico saja. Menurut sejumlah pakar ekonomi dunia, sejumlah negara yang terancam bangkrut karena gagal membayar utang antara lain: Argentina, Ekuador, Venezuela, Meseir, Pakistan, Indonesia, Timor Leste, Spanyol, Portugal, dan Italia.

Indonesia menjadi salah satu negara yang dililit utang luar negeri. Dari tahun ke tahun, jumlah utang yang ditanggung terus membengkak. Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, utang pemerintah menembus Rp3.089 triliun. Menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, pemerintah menambah pembiayaan utang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 sebesar Rp382,3 triliun.

Pemerintah menambah utang lantaran terjadi peningkatan pos belanja infrastuktur seperti belanja modal Kementerian/Lembaga sebesar 45 persen, Dana Alokasi Khusus (DAK) 71,9 persen dan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang mencapai 1.200 persen serta alokasi dana desa.

Rencana menambah utang sebelumnya disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pemerintah kemungkinan menambah jumlah utang karena pendapatan dari pajak di tahun 2015, tidak mencapai target sekitar Rp400 triliun dari target yang ditetapkan sebesar Rp1.294 triliun. Selain meminjam utang, upaya efisiensi pun dilakukan. Tapi, tidak dengan memangkas anggaran operasional pemerintah. Yang dipangkas, tentu belanja publik yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak.

Menumpuknya utang itu sebenarnya juga warisan dari pemerintahan sebelumnya. Menurut data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, hingga Februari 2014, jumlah hutang luar negeri pemerintah Indonesia mencapai Rp2.428,63 triliun dengan rasio 24,7 persen terhadap PDB.

Jauh sebelumnya, bahkan sejak Belanda akan mengakhiri penjajahannya di Indonesia, kesepakatan Konfrensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda, menuntut Indonesia membayar semua utang yang diwarisi pemerintah kolonial Belanda. Presiden Soekarno meninggalkan utang luar negeri sebesar US$6,3 miliar yang terdiri dari USD4 miliar warisan Belanda dan utang pemerintah sebesar US$2,3 miliar.

Di era Orde Baru tatkala krisis ekonomi 1997-1998 melanda, utang tak bisa dihindari. Pemerintah Orde Baru terpaksa menandatangani Letter of Intent (LoI) sebagai syarat mendapatkan utang demi menyelamatkan perekonomian Indonesia. Rezim Orde Baru mencatat rekor mewarisi utang yang mencapai Rp1.704 trilun atau US$165 milyar, yang terdiri utang luar negeri Rp732 triliun dan utang dalam negeri Rp973 triliun.

Utang yang kian melambung menunjukan pemerintah suka dimanja utang. Dengan dalih pendanaan pembangunan, pemerintah mencari sumber uang yang bisa diutang. Idealnya, sumber dana pembangunan tidak mengandalkan utang. Namun, lebih dioptimalkan dari pajak, hasil pengelolaan kekayaaan alam, ekspor impor, dan sebagainya. Kalaupun target pajak tidak tercapai, ada baiknya dilakukan efisiensi penggunaan anggaran. Namun, tidak memangkas anggaran publik. Selain itu, penggunaan anggaran jangan mengutamakan penyerapan, tanpa mempertimbangkan efisiensi dan efektifitasnya.

Meminjam utang menjadi opsi paling gampang yang ditempuh pemerintah. Tetapi, jika melulu opsi itu yang ditempuh, maka akan makin menjadikan negara ini terjerumus dalam jebakan utang (dept trap). Dampaknya, generasi yang akan datang yang harus menanggung beban. Dan, bukan tidak mustahil, cepat atau lambat, negara ini bangkrut karena tak mampu memikul utang.

Beban utang akan terus menggerogoti keuangan negara karena tak sedikit anggaran yang tersedot untuk membayar cicilan dan bunga utang. Serapan anggaran untuk sektor-sektor publik yang lebih strategis pun terpaksa dipangkas. Dampaknya, dirasakan langsung oleh masyarakat.

Jahatnya bisnis rentenir yang dilakoni lembaga-lembaga keuangan internasional pernah diungkap Jhon Perkins dalam bukunya berjudul Confessions of an Economic Hit Man (2004). Perkins melontarkan tudingan itu karena pernah terlibat sebagai bagian dari bandit ekonomi internasional, yang tugasnya menebar utang ke negara-negara miskin dan berkembang. Perkins mengaku pernah menjadi agen economic hit man, ekonom profesional yang digaji tinggi untuk menipu pemerintah di negara-negara di seluruh dunia.

Tugasnya, menyalurkan uang dari Bank Dunia, USAID, dan organisasi ekonomi internasional lainnya, termasuk dana-dana dari konglomerasi raksasa, untuk mengendalikan sumber daya alam di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Perkins juga pernah menjadi agen rahasia Amerika Serikat, National Security Agency (NSA).

Dari pengakuan Perkins, utang yang digelontorkan itu diarahkan untuk membuat ketergantungan pemerintah sebuah negara. Utang terus-terusan digelontorkan sampai pemerintah tak mampu melunasinya. Dalam kondisi demikian, negara-negara kreditur yang menggerakan lembaga keuangan internasional pun memaksa pemerintah mengakomodir kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional.

Misalnya, mengizinkan kegiatan eksploitasi sumber daya alam dan mendorong liberalisasi perdagangan di negara yang dibidiknya. Cara-cara itu identik dengan imprealisme terhadap negara-negara miskin dan berkembang, yang memiliki kekayaan alam, namun tidak mampu mengelolanya secara maksimal. Karena merasa berdosa, Perkins mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai bandit ekonomi.

Dengan kekuatan uang, lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia, ADB, dan sejumlah organisasi ekonomi internasional yang menjadi instrumen kapitalisme global, mereduksi otoritas negara. Pemerintah dibuat bertekuk di hadapan kreditur internasional yang ingin menancapkan kepentingannya, jika ingin mendapatkan utang. Lembaga keuangan internasional itu menjadi mesin negara-negara kreditur internasional untuk menancapkan agenda neoliberal.

Dampak intervensi yang dilakukan tentu berpengaruh terhadap nasib rakyat di sebuah negara. Misalnya, dengan dalih efisiensi, negara-negara kreditur mendesak pemerintah mencabut subsidi, melakukan privatisasi perusahaan-perusahaan publik, memangkas anggaran untuk program-program publik.

Keberadaan lembaga keuangan internasional itu tentu lebih mengutamakan kepentingan negara-negara maju. Bank Dunia misalnya. Awalnya, dibentuk untuk mengucurkan bantuan dana rekonstruksi di Eropa. Kini, Bank Dunia memiliki keanggotaannya yang besar. Tetapi, seperti IMF, kebijakan Bank Dunia lebih didominasi kepentingan negara-negara kaya seperti Perancis, Jerman, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat.

Bentuk intervensi lainnya adalah mendorong liberalisasi perdagangan seperti yang dilakukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Liberalisasi perdagangan menentang intervensi negara seperti memproteksi pasar domestik dan memberikan subsidi.

Dengan begitu, negara-negara maju dapat dengan mudah melakukan penetrasi ke negara-negara yang dibidiknya, hingga kemudian melanggengkan ketergantungan. Dalam praktiknya,  liberalisasi perdagangan menciptakan distorsi pasar dan ketergantungan serta lebih menguntungkan negara-negara maju. Negara-negara miskin dan berkembang akan melulu menjadi pasar lantaran kalah dalam menghadapi pertarungan akibat lemahnya kapital dan penguasaan ilmu pengetahuan dan tekonologi.

Ratu Selvi Agnesia/M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Berbagai sumber
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 918
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1153
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1411
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1557
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 201
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 376
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 222
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya