Manajemen Perubahan I

Going to Zero

| dilihat 4040

N. Syamsuddin Ch. HAESY

KETIKA Anda tiba-tiba saja ditunjuk memimpin sebuah perusahaan dengan jumlah aset besar, utang terbatas, tidak produktif, peralatan produksi tua, dikelola karyawan yang sebagian terbesar sudah harus memasuki masa pensiun dan akan memasuki masa persiapan pensiun, serta cost selalu lebih besar dari income?

Pertanyaan sederhana ini suatu ketika disampaikan seorang sahabat, yang baru saja memperoleh amanah menjadi direktur utama di perusahaan seperti itu.

Saya tak segera menjawab pertanyaan itu.

“Nikmati saja dulu kopimu..,”ujar saya. “Sore-sore biarkan pikiran kita tenang dengan hanya memikirkan yang tidak terlalu berat.”

Sahabat saya tersenyum. Terasa agak kecut. Dari kejauhan terdengar tembang Gurindam Jiwa yang begitu mengusik. Lagu tahun enampuluhan itu, seperti sedang menggoda kami. “Burung merpati terbang seribu / Hinggap seekor di tengah laman / Hendak mati di hujung kuku / Hendak berkubur di tapak tangan,” begitu syair lagu itu menggugah.

Seperti pesan di balik syair lagu itu, “hendak mati di ujung kuku, hendak berkubur di tapak tangan.” Pesimisme akan selalu hadir dalam perusahaan semacam ini. Terutama, ketika semua hal yang terkait dengan aksi korporasi tidak bisa dilakukan. Kalaupun masih bisa dilakukan, sama sekali tak membawa berkah. Apalagi realitas brutal di lingkungan core bussiness-nya tidak mendukung. Plus pemerintah, tidak mempunyai kebijakan yang jelas tentang core bussines tersebut.

Saya bercerita pengalaman sederhana yang pernah saya alami pada dekade 90-an. Saya kemukakan, kala memimpin perusahaan dengan kondisi semacam itu, yang segera melintas sebagai imaji bisnis adalah: suntikan modal, baik untuk capital expenditure (capex) maupun operational expenditure (opex), atau dalam bahasa lain disebut subsidi.

Paling tidak untuk mengamankan situasi keseharian perusahaan, sehingga berbagai langkah bisa dilakukan, seperti revaluasi aset dan sebagainya.

Persoalan tidak akan rumit, ketika para pemegang saham memutuskan perusahaan harus dibubarkan. Tetapi, hal itu bukan satu-satunya jalan.

Ketika seluruh pemegang saham hanya ngotot memelihara eksistensi perusahaan dalam keadaan apapun, dengan memberikan sedikit subsidi untuk haji karyawan, saya amat bersyukur. Mengapa? Karena pemegang saham sudah memberikan dua modal besar yang sangat abstrak kepada saya: kepercayaan dan optimisme (dengan spirit di dalamnya).

Artinya, yang harus saya lakukan adalah mengubah optimisme yang dubieus itu menjadi sesuatu yang nyata dan konkret, dan akan mewujud dalam angka-angka, di dalam, laporan keuangan. Kepercayaan pemegang saham adalah modal besar untuk melakukan manajemen perubahan. Dan, optimisme adalah modal kongkret untuk “mengubah kata-kata menjadi angka-angka.”

Dengan modal itu, langkah pertama yang saya lakukan adalah mengundang seluruh stakeholders, dimulai dari karyawan,  untuk merumuskan sentra kepedulian (focal concern). Bersama karyawan dan stakeholders lainnya kami rumuskan kekuatan pendorong korporasi (driving forces).

Luar biasa. Melalui dialog tak henti yang saya lakukan dengan seluruh unit kerja, yang kesemuanya nyaris merupakan cost center, diperoleh langkah pertama di jalan pertama perubahan. Yakni, membentang jalan : going to zero. Menuju titik nol. Aksi korporasi lebih banyak menukik ke dalam, menggerakkan seluruh potensi di seluruh lini manajemen untuk mengubah semua yang minus secara angka-angka menjadi zero.

Inilah yang saya sebut sebagai perjalanan kembali menuju ke tujuan sederhana untuk seluruh anasir korporasi, yakni : stabilitas. Kongkretnya adalah : perusahaan (di seluruh unit kerja) bisa memenuhi opex atau paling tidak operational cost secara mandiri, dalam rentang waktu 12 bulan.

Pemegang saham dan pemilik modal melecut dengan imajinasi bisnisnya sendiri : pertumbuhan bisnis. Pangsa pasar yang kian menciut, kompetisi yang kian ketat, dan kondisi sumberdaya insani yang ada, bagai godam yang ditimbriskan kepada manajemen.

Tapi, kondisi ini justeru memacu dan memicu melesatnya aneka gagasan tentang rencana strategis berbasis kondisi existing yang sungguh pahit. Dengan modifikasi di sana-sini, terlahir rencana strategis yang jauh dari realitas bisnis senyatanya. Karena rencana strategis bisnis disusun berdasarkan modal kebutuhan dasar karyawan dan pimpinan manajemen. Menciptakan mimpi baru dalam kubangan: kesejahteraan.

Ternyata tak sia-sia. Dengan bermodal mobilitas kerja sumberdaya manusia (yang berubah menjadi modal insan), arus modal lokal yang sangat terbatas, orientasi kualitas produk yang khas untuk menentukan corporate standing di lingkungan industri (sesuai core bussiness), dan pemusatan kolektif manajemen dalam satu tema besar : going to zero, akhirnya lahir visi – misi bisnis yang dirumuskan karyawan. Sebagai pemimpin manajemen, saya tinggal menjalani. Perangkat kepemimpinan manajemen yang saya dan direksi susun hanya  akselerasi pencapaian visi itu. Bussiness energizer-nya : budaya perusahaan yang terus bergerak sepanjang waktu.

Manajemen perubahan pun dimulai, dengan dua lapis marka manajemen. Yakni, lapisan yang dipimpin oleh CEO : chief executive officer dan lapisan yang dipimpin oleh “CEO” : chief executive office (boys/girls). Lapisan pemandu dan lapisan pembantu yang bergerak dalam irama yang sama.

Hasilnya? Alhamdulillah. Lapisan tengah (dari general manager sampai staff) menjadi penggerak utama perubahan yang sangat dinamis, produktif, dan mengubah keadaan. Unit-unit kerja yang seharusnya menjadi income generator kembali ke fungsinya. Terutama, setelah mereka secara kolektif, menentukan creativity kick off dalam menggerakkan perubahan. Dalam waktu dua tahun, yang dicapai bukan hanya going to zero, melainkan terciptanya kondisi untuk menyatakan: going from zero. |

Artikel ini merupakan bagian pertama dari rangkaian artikel tentang mengelola imajinasi dalam manajemen perubahan, berbasis pengalaman. Pengantar dalam Imagineering Training – Akarpadi Selaras Media.

 

Editor : sem haesy
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 634
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 784
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 751
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 104
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 520
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 529
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 447
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya