Brexit Menuai Kekhawatiran

| dilihat 2707

LONDON, AKARPADINEWS.COM | KEKHAWATIRAN membayangi sejumlah warga Inggris. Setelah hasil referendum yang digelar Jum'at (24/6) lalu menyatakan, Inggris keluar dari Uni Eropa (UE) atau dikenal dengan Britain Exit (Brexit), tak sedikit warga Inggris berencana pindah kewarganegaraan.

Belgia menjadi salah satu negara yang diincar karena diyakini lebih menjamin masa depannya. Mereka yang menolak berpisah dari UE itu tidak yakin masa depan Inggris lebih baik.

Diperkirakan, keinginan warga Inggris pindah kewarganegaraan akan semakin bertambah. Pasalnya, tak sedikit yang bekerja di wilayah negara-negara UE. Kedutaan Besar Inggris di Brussel melaporkan, ada sekitar 31.000 warga Inggris yang tinggal di Belgia. Lalu, sekitar 1.500 warga Inggris bekerja di lembaga-lembaga Eropa. Belum lagi di negara-negara Eropa lainnya.

Mereka terancam kesulitan. Di sektor industri keuangan misalnya, Bank Sentral Eropa melaporkan, industri keuangan Inggris yang mempekerjakan 2,2 juta orang, akan kehilangan haknya untuk melayani para pelanggan di EU.

Harian Le Soir, Sabtu (25/6) melaporkan, sejumlah wali kota di Brussel mengungkap, banyak warga Inggris yang menanyakan cara mendapatkan kewarganegaraan Belgia. Wali Kota Waterloo, Florence Reuter, mengatakan, tak lama hasil referendum diumumkan, lima warga Inggris menyerahkan dokumen permohonan menjadi warga negara Belgia.

Puluhan warga Inggris lainnya juga meminta informasi mengenai prosedur menjadi warga negara Belgia. Di Waterloo, tercatat ada 450 warga negara Inggris yang menetap dan bekerja.

Di Distrik Woluwe-Saint-Pierre, permohonan serupa juga diajukan tiga warga Inggris. Demikian pula di Kota Ixelles, 15 warga Inggris dilaporkan mencari informasi tentang prosedur menjadi warga Belgia.

Wali Kota Watermael Boitsfort, Olivier Deleuze juga mengatakan, telah menerima tiga warga Inggris pada Jumat pagi, menanyakan prosedur menjadi warga negara Belgia. "Biasanya, kami tidak pernah mendapat pertanyaan seperti ini. Kami menerima satu permintaan pada tahun 2013 dan satu pada Maret lalu."

Keputusan dramatis dalam politik Inggris di era modern itu juga menstimulan Bank of England (BoE) untuk melakukan intervensi terhadap pasar keuangan guna mencegah dampak negatif terhadap stabilitas ekonomi. Sebelumnya, para investor ketar ketir yang berakibat ketidakpastian di pasar keuangan, apalagi tak lama David Cameron menyatakan pengunduran dirinya sebagai Perdana Menteri.

Mark Carney, Gubernur Bank of England pun langsung melakukan hal-hal yang diperlukan setelah FTSE 100 turun lebih dari 8 persen, setara dengan 120 miliar poundsterling. Pasar sempat stabil setelah Carney mengatakan, akan menyuntikan 250 juta poundsterling ke dalam sistem keuangan guna membantu menstabilkan perekonomian.

Para menteri eurosceptic sebelumnya memuji pemulihan pasar itu dan menganggap ancaman ekonomi yang disampaikan Cameron dan Osborne tidak berdasar. Namun, para ekonom memprediksi, perpecahan di Inggris akan berdampak signifikan terhadap stabilitas ekonomi Inggris. Dikhawatirkan, negara itu akan mengalami resesi tahun depan yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi Eropa secara keseluruhan.


Inggris yang kini memasuki masa transisi, jika tidak mampu mengendalikan situasi usai bercerai dari UE, juga diperkirakan akan memicu krisis politik. Pemerintah Skotlandia mengancam akan menggelar referendum guna memutuskan akan menjadi negara merdeka atau tetap berada di wilayah Kerajaan Inggris. Menteri Pertama Skotlandia Nicola Sturgeon menegaskan, referendum kemerdekaan saat ini "sangat mungkin" dilakukan.

Skotlandia adalah negara konstituen Britania Raya, yang luasnya sepertiga bagian utara Pulau Britania. 1 Mei 1707, Skotlandia bersatu dengan Kerajaan Inggris yang kemudian membentuk Kerajaan Britania Raya. Meski demikian, sistem hukum Skotlandia terpisah dari sistem hukum Inggris, Wales maupun Irlandia Utara.

Mei 2011, Partai Nasional Skotlandia menang mutlak di parlemen dan berencana melaksanakan referendum kemerdekaan pada tanggal 18 September 2014. Hasilnya, mayoritas rakyat Skotlandia memang menolak merdeka dari Britania Raya. Namun, bisa saja keputusan itu berubah lantaran pasca Inggris keluar dari UE.

Cameron dalam pidatonya, tak lama hasil referendum diumumkan, telah menyakinkan warganya yang tinggal di negara-negara Eropa dan warga Eropa yang tinggal di Inggris, untuk tenang. "Tidak akan ada perubahan dengan keadaan anda," katanya. Cameron menegaskan, warga Inggris akan tetap dapat melakukan perjalanan maupun mengirim barang dan jasa ke negara-negara Eropa.

Namun, Presiden UE, Donald Tusk memperingatkan, kebijakan bebas bepergian di wilayah Eropa bagi pemilik paspor Schengen kemungkinan tak bisa lagi dipertahankan jika tak ada solusi yang disetujui bersama dalam dua bulan ke depan.

Dalam pidato yang disampaikan di Downing Street, London, dengan nada emosional, Cameron menyatakan, keputusan rakyat Inggris untuk berpisah dari UE harus dihormati. Dia mengapresiasi semua pihak yang mengambil bagian dalam refendum, mengesampingkan perbedaan politik, dan lebih mengedepankan kepentingan negara. Namun, Cameron menyatakan, Inggris membutuhkan periode stabilisasi dengan kepemimpinan yang baru.

Jelang referendum, perdebatan pro kontra Brexit memang berlangsung sengit. Hasil survei beberapa lembaga-lembaga survei menggambarkan peta pertarungan kedua dukungan hampir sama kuat, dengan besaran angka masing-masing sangat ketat, tidak terpaut terlampau jauh. Sepekan jelang referendum, dukungan terhadap hengkangnya Inggris dari UE memerlihatkan lonjakan berarti.

Hasil survei lembaga riset dan survei Ipsos Mori terhadap 1.257 orang dewasa pada 11-14 Juni menunjukkan 53% responden berketetapan Inggris hengkang. Sementara 47% lainnya ingin bertahan pada perserikatan regional UE. Dukungan terhadap pro Brexit meningkat 16% dari hasil survei serupa pada bulan Mei silam, dengan keunggulan kubu kontra Brexit 55%.

Lonjakan raihan kubu pro Brexit dipicu serangkaian kampanye “loses ground” Boris Johnson, mantan Wali Kota London, selama sebulan terakhir, dengan fokus utama pada isu imigran. Kubu pro Brexit memainkan kampanye lunak, soal amnesti bagi imigran ilegal, untuk menjungkal usungan kampanye kubu seteru berkait lemahnya perekonomian Inggris bila hengkang dari UE.

Bagi Inggris, peristiwa demokrasi politik itu sangat bersejarah. Lebih dari 33 juta orang di Inggris, Skotlandia, Wales, Irlandia Utara, dan Gibraltar, turut ambil bagian dalam menentukan keputusan besar tersebut. Hasilnya, sebanyak 52 persen atau 17.410.742 warga Inggris memilih keluar dari UE. Sementara yang tetap ingin Inggris berada di UE mencapai 48 persen dengan perolehan suara sebanyak 16.141.241 orang.

Cameron, yang didampingi isterinya, Samantha, menyatakan, keputusan Inggris menggelar referendum, ditetapkan melalui proses yang cukup panjang. Begitu banyak perdebatan, pro dan kontra Brexit karena begitu banyak pihak yang berkepentingan. Dia juga telah melakukan negosiasi dengan pemimpin UE. Namun, ekspektasi terhadap referendum sulit dibendung.

Meski gagal mempertahankan posisi Inggris di UE, Cameron yang merupakan pemimpin Partai Buruh, menyatakan, tidak ada keraguan dengan hasil referendum dengan selisih yang tipis itu. "Masyarakat di seluruh dunia, telah menyaksikan pilihan yang telah ditentukan Inggris," katanya.

Dia pun berjanji akan berupaya meyakinkan pasar dan investor jika fundamental ekonomi Inggris saat ini sangat kuat. Cameron tengah mempersiapkan negosiasi dengan UE. "Ini perlu keterlibatan penuh dari Pemerintah Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara, untuk memastikan bahwa kepentingan semua negara bagian Inggris Raya, dilindungi," ujarnya.

Cameron merasa bangga dirinya telah menjadi Perdana Menteri selama enam tahun. Dia pun percaya dengan langkah besar yang dilakukan negaranya. Dia berharap, keputusan mayoritas warga Inggris yang ingin terpisah dari UE, dapat semakin membuka lapangan pekerjaan, mereformasi pendidikan dan kesejahteraan, meningkatkan kualitas dan kesempatan hidup masyarakat, dan membangun masyarakat Inggris yang lebih mapan.  "Saya selalu percaya bahwa kita harus menghadapi keputusan besar."

Cameron sebenarnya lebih menyakini Inggris lebih aman dan lebih baik jika bertahan di UE. Namun, dia tidak bisa menolak keputusan mayoritas warganya yang membuat keputusan dengan arah yang berbeda. Karenanya pula, Cameron memilih mundur dari jabatan perdana menteri. "Negara membutuhkan kepemimpinan baru untuk mengambil arah tersebut," ujarnya.

Meski demikian, Cameron tidak akan lepas dari tanggungjawab. Hingga Oktober 2016, dia akan menjadi kapten yang berupaya menstabilkan "kapal" untuk beberapa minggu ke depan. "Tetapi, saya tidak berpikir untuk menjadi kapten yang mengarahkan negara kita ke tujuan berikutnya," kata Cameron.

Sementara itu, Boris Johnson dan Michael Gove dari partai konservatif, dilaporkan tengah mempersiapkan tim untuk mengambil alih kepemimpinan di Inggris setelah mundurnya Cameron. Dalam pidatonya, Johnson menyerukan seluruh elemen di Inggris untuk menjaga persatuan dan menggelar dialog guna membicarakan masa depan yang diyakini bakal lebih cerah daripada saat Inggris bersama UE.

Dia juga menyakinkan warga Inggris untuk tidak khawatir akan bayang-bayang isolasi. Dia mengingatkan, Brexit tidak akan memecah persatuan dan kesatuan, termasuk memisahkan Inggris dari Eropa.

"Kita tidak bisa berpaling dari Eropa. Kita adalah bagian dari Eropa. Anak-anak dan cucu kita akan terus memiliki masa depan yang indah seperti berpergian ke benua Eropa, memahami bahasa dan budaya, yang membentuk peradaban Eropa umumnya."

Sebuah sumber menyebut, Johnson diperkirakan akan menggantikan Cameron dan Gove menjadi Kanselir dalam rezim "Pemerintahan Brexit" menggantikan George Osborne.

Seorang sumber menyebut, Johnson sangat marah dengan pengunduran diri Cameron dan merasa bertanggung jawab secara pribadi. Apalagi, saat menyimak pernyataan Cameron yang secara emosional menyatakan, tidak lagi menjadi kapten yang tepat untuk mengarahkan negaranya ke tujuan berikutnya.

Cameron seperti disampaikan Gove, sebelum membuat pidato pengunduran dirinya, dengan tegas, menolak melakukan komunikasi dengan Johnson. Cameron hanya membalas pesan teks yang dikirim pagi hari kepada mantan walikota London itu.

Sementara di internal Partai Buruh, Jeremy Corbyn yang dipilih sebagai pemimpin tahun 2015  lalu, akan dihadapkan tekanan politik dari anggota parlemen dari Partai Buruh, yang mengajukan mosi tidak percaya dan memintanya mengundurkan diri. Mereka marah lantaran kurangnya intensifnya kampanye untuk menentang Brexit yang dilakukan Partai Buruh.

Gejolak Pasar Global

Hengkangnya Inggris dari UE nyatanya memicu gejolak di pasar global. Nilai tukar poundsterling jatuh 10 persen ke level terendah sejak 31 tahun. Mata uang euro juga anjlok di hadapan dolar.

Di zona euro, Indeks DAX 30, indikator utama bursa saham Frankfurt, jatuh 6,2 persen, dan indeks CAC 40, di Paris, merosot 8,0 persen. Bursa saham Milan juga merosot 12,5 persen dan Madrid anjlok 12,4 persen. Saham-saham AS juga turun sekitar tiga persen di akhir perdagangan Sabtu (25/6) pagi. "Ini menakutkan, dan saya belum pernah melihat yang seperti itu," kata James Butterfill, kepala penelitian dan investasi di ETF Securities, di London. Dia menyebut banyak investor yang akan kehilangan banyak uang.

Bank investasi AS, JPMorgan Chase memperingatkan, kondisi itu bisa memindahkan lapangan pekerjaan Inggris ke luar negeri. Sektor perbankan pun menerima pukulan. Di Inggris, Lloyds anjlok 21 persen, RBS menukik 18,8 persen dan Barclays jatuh 17,7 persen.

Di Prancis, saham Societe Generale terjun 20 persen dan BNP Paribas merosot sebesar 17,4 persen. Begitu pula di Jerman, Deutsche Bank anjlok 14,1 persen dan Commerzbank terperosok 13,0 persen. Di Spanyol, Santander turun 20 persen dan di Italia UniCredit hampir mencapai 24 persen.

Brexit dan melambatnya pertumbuhan global juga memicu harga minyak mentah anjlok sekitar 5%. Kontrak utama New York, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI), untuk pengiriman Agustus menjadi US$47,64 per barel atau turun US$2,47 di New York Mercantile Exchange. Di London, minyak mentah Brent North Sea, yang menjadi patokan global, untuk pengiriman Agustus, dihargai US$48,41 per barel atau turun US$2,50. Turunnya harga minyak mentah itu lantaran investor menghindari resiko di tengah ketidakpastian ekonomi Inggris dan Euro.

Mencermati dampak tersebut, Jerman dan Prancis mendesak Inggris agar segera menggelar negosiasi dengan EU. Para pemimpin Eropa menilai, kemungkinan adanya ketidakpastian selama berbulan-bulan, sebelum pembicaraan dimulai. "Proses ini harus dijalankan segera mungkin sehingga kita tidak dibiarkan tanpa kepastian," kata Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier setelah bertemu dengan mitranya dari Prancis, Italia, Belanda, Belgia dan Luksemburg. Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Marc Ayrault memperingatkan, keterlambatan perundingan bisa berbahaya.

Bagaimana dampaknya terhadap Indonesia? Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla mengatakan, Brexit tidak akan berdampak langsung bagi Indonesia. Namun, Wapres menyatakan, Brexit memicu spirit proteksi di banyak negara. Indonesia dipastikan tidak akan terkena dampaknya karena memiliki hubungan yang baik dengan Inggris dan UE. "Efeknya lebih banyak terjadi di internal Uni Eropa," kata dia.

Duta Besar Kerajaan Inggris untuk Indonesia, Moazzam Malik juga memastikan, Brexit tidak akan berdampak bagi masyarakat Indonesia yang bekerja, belajar atau sedang mengembangkan bisnis di Inggris. Dia juga menyakinkan jika negaranya memiliki fundamental ekonomi yang kompetitif dan tetap akan menawarkan kemitraan yang baik untuk Indonesia. "Saya percaya perjalanan kita akan terus terjalin erat bersama-sama untuk masa depan yang lebih baik," kata Moazzam.

Ancaman Perpecahan UE

Bukan mustahil, langkah Inggris itu diikuti negara-negara Eropa lainnya dengan alasan menuju kemandirian dan kedaulatan negara. Turki salah satunya, yang berencana menimbang kembali keberadaannya di UE lantaran ingin kedudukannya setara dengan negara-negara UE lainnya.

Perdana Menteri Turki Binali Yildirim mengatakan, keluarnya Inggris karena ketidakpuasan terhadap UE. Wakil Perdana Menteri Turki Nurettin Canikli mengatakan, keputusan Inggris keluar dari UE merupakan awal perpecahan di UE. "Inggris adalah yang pertama meninggalkan kapal".

Sementara Partai kanan garis keras di Prancis, Front Nasional, mendesak pemerintah untuk mengikuti jejak Inggris, menggelar referendum untuk keluar dari keanggotaaan Uni Eropa (France Exit/Frexit). Partai anti Eropa itu memberi selamat atas keluarnya Inggris dari UE dan berharap hasil referendum Brexit meningkatkan skeptisisme terhadap Eropa di Prancis. "Kami ingin menggelar referendum yang sama di Prancis dan negara-negara Eropa lainnya," kata pemimpin Front Nasional, Marine Le Pen, dalam akun twitter pribadinya.

M. Yamin Panca Setia

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Reuters/The Telegraph/Bloomberg/AFP/Antara
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 823
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1089
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1342
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1483
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya