Rupiah Kian Terpuruk dan Kehilangan Marwah

Bermain-main dengan Kedaulatan

| dilihat 2752

Bang Sem

TERPURUKNYA mata uang Rupiah menjadi Rp 13.535 per 1 Dollar Amerika Serikat (USD), pada Jum’at (31/7) dan kurs jual di kisaran angka yang sama pada Senin (3/8), bukan sesuatu yang main-main. Inilah kurs terendah yang pernah dialami bangsa ini, bahkan dibandingkan dengan kurs di bulan yang sama tahun 1998.

Menteri Koordinator Ekonomi Sofyan Djalil dan Menteri Keuangan boleh mengatakan, terpuruknya kurs mata uang Rupiah -- menjadi salah satu dari empat mata uang tak bermarwah di dunia --, itu tak berpengaruh dengan perekonomian nasional. Terutama, karena fundamental ekonomi nasional dalam kondisi kuat.

Rakyat tahu, pernyataan Sofyan Djalil sebagaimana air wajah Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebulan terakhir, sedang menunjukkan kegalauan. Rakyat juga tahu, Jokowi dan jajaran pemerintahannya sedang memperlihatkan kualitas kompetensi mereka dalam mengelola manajemen pemerintahan.

Terpuruknya mata uang rupiah dalam banyak hal memengaruhi fundamental ekonomi nasional, karena langsung tak langsung memengaruhi aktivitas bisnis. Khasnya import dan ekspor yang akan berdampak pada fundamental ekonomi bangsa ini. Dalam konteks impor, masih banyak industri kita yang masih bergantung dengan bahan baku impor. Dalam konteks ekspor, basisnya masih komoditas yang belum mampu memanfaatkan terpuruknya nilai Rupiah atas USD.

Dalam situasi demikian, berkembang wacana, Indonesia akan memilih mata uang Yuan sebagai basis perbandingan nilai tukar, sebagaimana Malaysia – di bawah Mahathir Mohammad – memilih Dinar untuk mengantisipasi krisis ekonomi 1996 – 1997, sehingga tak harus masuk ke dalam jebakan lembaga moneter internasional, seperti IMF (International Monetery Fund).

BILA TAK ADA MATA UANG LAIN SEPERTI DONG - VIETNAM ATAU DOBRA SAOTOME, MUNGKIN RUPIAH BERNILAI PALING RENDAH DI DUNIA

BILA TAK ADA MATA UANG LAIN SEPERTI DONG - VIETNAM ATAU DOBRA SAOTOME, MUNGKIN RUPIAH BERNILAI PALING RENDAH DI DUNIA |

Wacana ini menyertai kecurigaan terhadap China Centric yang dilakukan Jokowi, antara lain dengan memberi porsi lebih pada Singapura untuk berperan mengatur banyak hal. Termasuk dalam mendesain E-Government dengan pusat data ditempatkan di Singapura.

Jokowi dan para menterinya tak mau membuka mata melihat berbagai fakta brutal yang sedang menggocoh kita. Antara lain, perlambatan produksi industri China dengan harga komoditas yang merosot. Nilai USD yang bangkit, serta harga minyak dan emas yang juga jatuh.

Sentimen China telah memengaruhi dan berkontribusi terhadap penurunan daya ekonomi ASIA dan ASEAN. Sekaligus memengaruhi laju merosotnya bursa saham ASIA. Bahkan, pada akhir Juli pekan lalu, data manufaktur China merosot, di bawah harapan ekonomi 50.1. Setarikan nafas, pertumbuhan China seperti halnya Indonesia mengalami perlambatan yang luar biasa. Terutama karena terjadinya kontraksi manufaktur China. Inilah yang menekan bursa saham China sejak 2009.

China, masih menjadi sumber kekuatiran perekonomian ASIA, dan Jokowi beserta pemerintahan dan parpol pendukungnya masih sibuk ‘berbalas jasa’ kepada China, Singapura, dan konco-konconya.

Lantas, apa yang bakal terjadi? Kita akan menyaksikan di panggung politik nasional dan kawasan, pemerintah bermain -main dengan kedaulatan bangsanya, yang tercermin dalam mata uang Rupiah. Di sejumlah wilayah di negeri ini, seperti Batam, Bintan, dan bahkan Sebatik, Rupiah sudah tak lagi punya harga. Padahal pada Rupiah itu kedaulatan bangsa ini melekat.

JANGAN MAIN-MAIN, DI DALAM MATA UANG MELEKAT HARGA KEDAULATAN BANGSA |

Boleh jadi Jokowi dan para menterinya malas mempelajari sejarah perjalanan bangsa ini, bagaimana Rupiah menjadi satu-satunya simbol kedaulatan yang menunjukkan Indonesia masih eksis, ketika Soekarno – Hatta selaku Presiden dan Wakil Presiden, ditangkap Belanda.

Kala itu, Sjafroeddin Prawiranegara mengambil inisiatif menyelamatkan Republik Indonesia. Lantas menyelenggarakan pemerintahan darurat dari Bukittinggi. Dan memerintahkan bendahara negara dan Kepala BNI Cabang Kutaraja untuk mencetak Orida (Oeang Repoeblik Indonesia Daerah). Setarikan nafas, melakukan pula langkah monetasi yang tepat.

TANPA MARWAH

SEPANJANG sejarah Republik Indonesia, baru kali ini terkesan, Presiden dan pemerintahannya masih bisa cengangas – cengenges, ketika Rupiah – sebagai simbol kedaulatan di sektor moneter – mengalami pelemahan luar biasa. Bergeras merosot membuat simbol kedaulatan itu tanpa marwah. Padahal, pelemahan yang telah mencapai lebih dari 3 persen itu.

Depresiasi terhadap Rupiah cukup tinggi, meskipun tekanannya relatif lebih rendah dibandingkan dengan pelemahan yang dialami oleh mata uang Dollar Zimbabwean (Zimbabwe) Shilling Somalia (Somalia), Manat (Turkmenistan), Dong (Vietnam), Dobra (Sao Tome dan Principe), Rial (Iran), Kip (Laos), Franc Papua (New Guinea), dan Guarani (Paraguai).  Posisi martabat Rupiah kini, hanya keempat teratas dari Zimbabwean, Franc Papua, dan Dong Vietnam.

Dalam konteks kedaulatan bangsa itu, kita bertanya: masih wajarkah posisi mata uang rupiah kita di tengah percaturan ekonomi dunia? Padahal, sebelumnya Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi baru yang diharap bisa mengimbangi Brasil, Rusia, dan Turki. Termasuk ketika Singapura kesal, saat Indonesia masuk ke dalam G20. Negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi baik.

Gubernur Bank Indonesia – Agus Martowardojo, nampak menutupi kegalauan dengan pernyataan-pernyataan yang dual artikulatif. Menyatakan kondisi moneter aman di satu sisi – dan, mendesak Jokowi lekas melakukan aksi belanja pembangunan.

Dual artikulasi dalam pernyataan Agus itu, mungkin karena dia sudah gerah, lantaran BI sudah – sedang dan akan mengeluarkan ongkos cukup besar untuk melakukan stabilisasi nilai tukar Rupiah. Aksi stabilisasi itu telah menggerus cadangan devisa Indonesia. Termasuk aksi pelepasan kepemilikan surat berharga negara dan pasar modal para investor.

PRESIDEN JOKOWI MESTI JELASKAN KEPADA RAKYAT PENYEBAB UTAMA RUPIAH KITA MEROSOT TAJAM DAN TERUS MELEMAH |

Para investor memilih hengkang dari pasar dalam negeri, lantaran berkembang rumors tentang quantitive easing policy dari the Federal Reserves – Bank Sentral AS yang dikuasai sebelas perusahaan pengendali ekonomi. Belum lagi, di dalam negeri korporasi banyak korporasi – termasuk BUMN yang memerlukan valuta asing (valas) dalam jumlah besar. Baik untuk transaksi bisnis reguler maupun untuk membayar utang, impor, dan repatriasi keuntungan. Belum lagi penerimaan negara merosot dibandingkan sebelumnya.

Cadangan devisa kita memang masih sanggup mem-back up impor selama 4 – 5 bulan, tapi ketika situasinya sudah sama dengan tahun 2005 –2008 saat berlangsung krisis dunia, apa yang bakal terjadi? Masihkah devisa mampu menjaga nilai tukar ke depan.

Apa langkah Jokowi dan para menterinya mendorong ekspor dan mendongkrak cadangan devisa negara? Apa yang nyata sudah dilakukan untuk mengurangi impor barang konsumsi, kredit valas, dan sejenisnya? Kita lihat saja. Yang pasti, ketika nampak mereka bermain-main dengan situasi, artinya mereka juga sedang mempermainkan kedaulatan republik. BI mungkin institusi paling sadar untuk tidak bermain-main dengan kedaulatan. Karenanya, BI berkomitmen kuat menjaga nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya. Termasuk membeli emas dari spot domestik untuk meningkatkan likuiditas di pasar keuangan.

Jangan bermain-main dengan kedaulatan, meski hanya simbol monetasinya. Bila mengalami economic sliding, tak ada yang bisa kendalikan. Apalagi kita masih direcoki oleh sekadar rima-rima demokrasi, seperti Pilkada Serentak dan sejenisnya.. |

Editor : Web Administrator | Sumber : Berbagai Sumber
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 494
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1577
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1370
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 706
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 865
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 817
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya