Apple Music Mengancam Mahkota Spotify

| dilihat 1893

AKARPADINEWS.COM | SELASA, 30 Juni 2015, Apple Music menasbihkan diri sebagai pemain baru di industri streaming music dunia. Ini adalah upaya Apple untuk merebut singgasana yang diduduki Spotify sebagai aktor utama dalam peta persaingan industri musik digital saat ini. Seberapa kuatkah Apple Music? Terlebih, kesuksesan Spotify telah melampaui pendapatan dari keseluruhan profit industri musik di Amerika Serikat (AS).

Laporan The Wall Street Journal di penghujung pekan lalu mengabarkan, perusahaan musik streaming, Spotify telah memecahkan rekor retail seluruh penjualan CD dari musisi di AS. Hal ini didukung oleh pernyataan dari Asosiasi Industri Rekaman Amerika (RIAA) yang mengatakan, pendapatan streaming memberi andil 27% dari total pendapatan yang dibuat oleh industri musik, dan Spotify adalah kontributor terbesar dalam persentase ini. Perusahaan asal Swedia itu dilaporkan memiliki laba bersih U$D8,4 miliar setelah sebelumnya mendapatkan suntikan dana investasi sebesar U$D400 juta

Sedangkan Apple Music, menurut sumber yang tak disebutkan oleh New York Times, ditarget akan memiliki jumlah pengguna aktif sebanyak 100 juta orang, terdiri dari pemilik Ipone dan ponsel Android. Dengan jumlah pengguna sebanyak itu, setidaknya, Apple bisa meraih U$D1 miliar setiap bulan atau U$D12 miliar per tahun. Nominal itu jika dirupiahkan menjadi sekitar Rp16,5 triliun (kurs Rp 13.375). Apalagi, layanan streaming yang akan dirilis besok dapat dinikmati oleh masyarakat dunia di 100 negara.

Perhitungan matang Apple Music untuk merengkuh pundinya itu diperkuat oleh CEO Sony Music, Doug Morris dalam sebuah sesi wawancara pada ajang Midem Music Industry Festival beberapa pekan lalu. "Apple memiliki 178 miliar dollar AS di bank. Dan, mereka memiliki (data) 800 juta kartu kredit di iTunes. Tebakan saya, Apple akan mempromosikan layanan mereka secara jor-joran dan saya merasa bahwa itu akan memberikan efek halo ke bisnis streaming," ujar Morris seperti dikutip Venture Beat.

Sejatinya, layanan music streaming milik Apple itu akan memulai debut berbarengan dengan diluncurkannya iOS 8.4 yang dilengkapi single baru eksklusif dari Pharrell Williams. Dalam percobaan tiga bulan tersebut, Apple akan memasang biaya berlangganan US$9,99 per bulan atau US$14,99 untuk dibagi bersama dengan enam orang.

Jika dicermati dari harga itu, rupanya Apple coba menggempur para pesaingya, seperti Spotify yang memasang harga US$9,99 per bulan. Rdio US$3,99 atau US$9,99 tergantung pada jenis layanan. Tidal seharga US$9,99 untuk kualitas audio standar dan US$19,99 untuk kualitas audio tinggi. Serta Pandora US$4,99 per bulan.

Bos Spotify, Daniel Ek telah menyiapkan dana sebesar U$D526 juta untuk menahan gempuran Apple Music. Dengan pendanaan tersebut, maka raksasa industri streaming asal Swedia ini telah mengeluarkan total investasi senilai U$D1,1 miliar sejak Oktober 2008. Nominal ini termasuk U$D350 juta yang telah disuntikkan Spotify pada bulan Mei, berasal dari 13 mitra perusahaannya termasuk Goldman Sachs, TCV, GSV Capital, dan Rinkelberg Capital. Menurut CrunchBase, suntikan dana Seri G ini mampu membawa nilai pasar Spotify hingga lebih dari U$D8,5 miliar.

Sangat mungkin, suntikan dana yang cukup besar ini akan digunakan untuk menggerakkan kampanye pemasaran yang gila-gilaan di seluruh dunia untuk menghambat laju pertumbuhan Apple Music. Lantas, apa perbedaan antara kedua layanan streaming ini? Dan, mengapa Spotify begitu gencar menghadang terjangan layanan streaming Apple Music yang sejatinya belum lahir itu? Padahal, Apple Music baru akan rilis pada 30 Juni besok. Beberapa fitur dan kemudahan menjadi faktor yang sama-sama ingin dikedepankan dua perusahaan besar ini.

Sampai saat ini, Spotify telah tembus 60 juta pengguna dan 15 juta pelanggan berbayar, sedangkan Apple Music bertujuan menjaring 100 juta pelanggan berbayar. Dilihat dari faktor biaya, mereka sama-sama mematok EUR10 per bulan. Kemudian, Spotify memiliki versi gratis untuk pengguna, sedangkan Apple Music tidak ada. Namun, Apple Music memberikan akses kepada pengguna sebanyak 35 juta lagu, sementara Spotify baru memiliki 30 juta lagu. Apple Music juga memiliki stasiun radio live dengan DJ selebritas. Kemudian, Apple Music memiliki koleksi beberapa album The Beatles dan Taylor Swift, sementara Spotify tidak.

Namun, melihat geliat perputaran uang di bisnis ini, dan peta persaingan kedua perusahan digital itu tak lantas menghapus kabar sedih terkait profit dan hak yang tidak sepantasnya musisi raih. Seperti dikutip Reuters, awal pekan lalu Taylor Swift sempat menarik album 1989 miliknya dari Apple Music terkait layanan free trial selama tiga bulan awal bagi para penggunanya.

Kebijakan itu menurut Swift merugikan ia sebagai musisi. Karena selama periode trial, musisi tidak akan mendapatkan kompensasi. Namun, berkat Swift pula Apple akhirnya melunak dan berkomitmen untuk membayar hak yang pantas bagi musisi selama periode trial bergulir. Akhirnya, musisi yang mengawali karir sebagai penyanyi country itu telah sepakat untuk menaruh album 1989 miliknya di Apple Music.

Kisah Swift itu menimbulkan pertanyaan bahwa apa yang sebenarnya terjadi di belakang meja para direktur industri musik? Dan, ada apa di balik hingar-bingar gemerlap panggung dunia hiburan? Sebuah dokumen penting tahun 2011 yang berisi kontrak Sony Music Entertainment dengan Spotify akan menjelaskan bagaimana para perusahaan-perusahaan label rekaman yang sebelumnya bermain di industri musik konvensional beralih dan sangat serius untuk menggeluti bisnis musik digital menjanjikan ini.

Menurut Tge Verge, dalam kesepakatan yang berlaku selama dua tahun tersebut, termuat klausul yang meminta Spotify membayar Sony Music uang sebesar U$D42,5 juta pada tiap awal tahun sebagai dana advance. Tercantum pula pasal, "Most Favored Nation" yang berarti bahwa Sony akan selalu mendapatkan advance rates sebesar apapun yang diterima label pesaingnya.

Namun ironis, tak sepeser pun dari uang ini yang mungkin telah sampai kepada musisinya sendiri. Sumber mengatakan, bahwa dana advance biasanya langsung melayang ke perusahaan rekaman. Apalagi, keuntungan Sony yang diambil dari lagu-lagu di bawah naungannya ternyata lebih kompleks dan njelimet.

Rupanya, Sony tidak hanya mendapat bagian dari keuntungan yang bergantung pada persentase keseluruhan streaming, tapi juga mendapat per-stream cut yang besarnya tergantung pada apakah royalti dari pengguna jasa streaming gratis maupun berbayar lebih tinggi dari bagi hasil yang telah diperoleh Sony. Selain itu, Spotify juga memberikan Sony spot iklan senilai U$D9 juta yang bisa dijual. Skenario itu berjalan jika Sony tak ingin memasang iklan di Spotify.

Lantas apa keuntungan Spotify? Mereka telah lama menegaskan bahwa mereka hanya mengambil 30 persen dari total pendapatan kotor. Namun, dalam kontrak tersebut ada hal yang lebih mencengangkan, bahwa Spotify bisa mengambil 15 persen dari pendapatan iklan pihak ketiga. Seberapa besar yang diperoleh Spotify dari iklan akan sangat tergantung pada berapa banyak pihak luar yang terlibat.

Misteri yang sesungguhnya adalah pembayaran yang diterima musisi atas jerih payah dan bakat mereka tidak benar-benar diakomodasi dengan baik. Ternyata, besarnya pendapatan musisi dari layanan streaming lebih dipengaruhi oleh kontrak individual mereka dengan Sony ketimbang dengan Spotify.

Menurut The Verge, Beberapa musisi memiliki klausul dalam kontrak mereka untuk mendapatkan bagian yang lebih besar dari pendapatan streaming, dan beberapa musisi yang masih terikat di bawah kontrak penjualan CD, hanya mendapatkan 15-20 persen dari pendapatan streaming.

Perlu digarisbawahi kalau saja kesepakatan seperti ini berlaku antara Spotify dengan label-label rekaman yang lain, maka perusahaan rekamanlah yang paling diuntungkan dari munculnya layanan streaming. Bukan justru musisi yang karyanya perlu diberi apresiasi dalam bentuk lebih pantas dari sekadar profit. Efek dari jaringan bisnis ini, tentu menempatkan musisi sebagai pihak yang kurang diuntungkan.

Apalagi, musisi telah lama berkutat di lubang gelap karena musik tidak lagi bisa menjadi komoditas yang bisa dijual secara konvensional. Setelah era penjualan kaset, lalu Compact Disc, Ring Back Tone, iTunes, kini streaming music pun masih belum tentu menjanjikan angin segar.

Satu sisi, layanan streaming music dinilai sebagai terobosan baru bagi musisi yang babak belur karena maraknya pembajakan dan lesunya penjualan album analog (fisik). Sisi lain, perusahaan rekaman dan layanan musik streaming masih belum punya keinginan serius terkait pembagian keuntungan dengan para musisi.

Misalnya, musisi top sekalipun banyak yang mengeluhkan hal yang sama, yakni pembagian kompensasi yang tidak sebanding dengan kerja keras atau nilai dari album mereka. Seperti drama yang terjadi selama sepekan lalu antara Taylor Swift dan Apple Music.

Melihat sejarahnya, layanan streaming music ini sebenarnya adalah efek bola salju dari radio internet yang telah populer selama dua dekade belakangan. Dimulai dari tahun 2003, ketika itu, pendapatan internet radio sebesar US$49 juta. Pada 2006, angka itu naik menjadi US$500 juta.

Kemudian, pada 21 Februari 2007 berdasarkan survei 3.000 orang Amerika yang dikeluarkan oleh Bridge Ratings & Research menemukan bahwa sebesar 19% dari konsumen AS yang berumur 12 tahun ke atas mendengarkan stasiun radio berbasis internet. Dengan kata lain, ada sekitar 57 juta pendengar mingguan program radio internet mengenyampingkan radio satelit atau podcast.

Seiring berkembangnya zaman dan gaya hidup, radio internet telah bertransformasi menjadi streaming music. Bukan lagi dalam konsep radio internet, melainkan beribu-ribu album musisi yang dapat diperdengarkan secara personal di ponsel pribadi.

Di Indonesia, streaming music rupanya akan mendapatkan sebuah ekosistem yang menyenangkan. Berdasarkan survei yang telah dilakukan MixRadio, Indonesia adalah negara dengan penduduk yang cukup sering memakai layanan streaming untuk mendengarkan musik. Tentunya, survei itu adalah angin segar bagi Apple Music dan Spotify untuk menjadikan Indonesia sebagai prioritas pasar mereka.

Sebanyak 53 persen dari pengguna smartphone di Indonesia lebih memilih untuk mendengarkan musik lewat layanan streaming, dan 15 persen mengungkap akan mempertimbangkan untuk mendengarkan musik secara streaming pada waktu mendatang. Lebih lanjut, persentase menunjukkan bahwa ada tiga sarana perangkat yang digunakan orang untuk mendengarkan musik secara streaming.

Sekitar 72 persen menggunakan smartphone, 57 persen notebook/PC, dan 58 persen berasal dari iPod. Hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa pengguna streaming rata-rata mendengarkan musik selama 2,18 jam setiap harinya, 73 persen lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang bukan pengguna streaming musik.

MixRadio juga mengungkap bahwa perilaku pendengar musik ketika mendengarkan lagu-lagu baru tidak hanya mendengarnya lewat radio, tetapi 43 persen terdapat dari cara mereka melihat album atau lagu baru yang disarankan langsung di layanan musik streaming tersebut.

Alasan mereka beragam, 86 persen menjelaskan suka memakai layanan streaming musik karena kualitas suara yang dihasilkan begitu jernih, 85 persen mengatakan sangat praktis dan mudah memakai layanan streaming musik, dan 76 persen menjelaskan bahwa layanan streaming bisa dipakai di semua perangkat. Kemudian, smartphone tidak hanya untuk keperluan sosial media, foto, atau game. 89 persen berasal dari keinginan para penggunanya untuk mendengarkan musik secara streaming.

Melihat survei ini, menarik untuk mengetahui siapa yang lebih awal siap masuk ke pangsa pasar Indonesia. Nampaknya, Apple Music telah mencuri start terlebih dahulu. Karena, sebelumnya telah muncul rumor ketika akun @jrryrormilik mengunggah foto yang menunjukan opsi membership Apple Music yang menggunakan tarif Rupiah. Di foto itu terlihat juga biaya berlangganan Individual yang dipatok Rp69.000 per bulan, sedangkan membership Family (maksimal 6 orang) dibanderol Rp109.000 per bulan.

Spotify boleh menjadi lead yang lebih dulu menguasai industri musik digital sekarang ini. Tapi, jangan lupakan gempuran Apple Music yang akan menjadi ancaman serius bagi mereka. Namun, untuk masa mendatang, kedua perusahaan ini perlu mengkaji ulang dan mematenkan legalitas terkait hak cipta hingga kompensasi yang layak bagi musisi. Karena, di luar peruntungan bisnis, kreativitas musisi juga harus dihargai ataui dinilai lebih dari sekadar jumlah nominal yang pantas.

Adhimas Faisal

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 219
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 432
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 431
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 401
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 204
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 378
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 224
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya