Catatan untuk Kabinet Kerja (Bagian 2)

Agraria dan Tata Ruang Basis Politik Ekonomi

| dilihat 1983

PROSES panjang perjalanan karir politik Menteri Ferry Mursidan Baldan, khususnya pengalamannya sebagai anggota DPR RI, memberi keyakinan, sebagai main driver, dia punya kapasitas untuk menggerakkan perubahan minda (mindset) aparatur di bawahnya untuk merumuskan policy design yang berpihak kepada rakyat dalam keseluruhan konteks. Terutama, kesejahteraan rakyat dan keterjaminan ruang secara proporsional dan adil.

Secara kasar dan kasad mata, sejak era reformasi, persoalan muncul ke permukaan, karena terjadinya inkonsistensi dalam melaksanakan rencana tata ruang wilayah. Ruang berdimensi ekonomi yang kerap disebut sebagai ruang budi daya, dan ruang berdimensi lingkungan dan habitus yang biasa disebut kawasan lindung, tak terkontrol dengan baik. Akibatnya, terjadi persoalan yang sangat buruk terhadap alih fungsi lahan.

Dengan kementerian agraria dan tata ruang sekaligusyang dipimpin menteri Ferry, tata kelola ruang yang selama ini tersebar di berbagai kementerian, dapat diintegrasikan. Sinergi antar kementerian dalam merumuskan policy design dan eksekusi kebijakan, dapat lebih terkoordinasi.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang boleh diharap memberi solusi strategis, terutama dalam hal melakukan proses debottlenecking perizinan tumpang tindih atas kawasan-kawasan sengketa. Baik terkait dengan wilayah pertambangan yang berada di bawah kawasan lindung, wilayah eksplorasi migas yang bersinggungan dengan pertanian dan budi daya perikanan, kawasan lindung pantai, dan lainnya.

Ferry yang diharapkan sebagai ‘mursyidan baldan,’ pemimpin yang memberi arah – memandu tata kelola negeri, dapat merujuk pada prinsip-prinsip tata kelola alam dan lingkungan sebagaimana dipandu para rasul. Dalam pandangan Ibnu Khaldun – Muqaddimah – kemampuan mengelola kebijakan agraria dan tata ruang merupakan hadlarah, ciri kemajuan suatu bangsa. Kemajuan yang disebabkan oleh bertumbuhnya kesejahteraan yang diwadahi oleh distribusi lahan secara adil berdasarkan fungsi ruangnya.

Sejarah peradaban masa lalu, menunjukkan hancur dan punahnya suatu bangsa, seperti orang-orang Kildan, tersebab oleh distrubusi lahan yang tidak adil dan alih fungsi lahan dalam penguasaan orang-orang kaya atau suku-suku berkuasa.

Sengketa tentang Kanaan, penguasaan lahan Fadhak, dan proses penjajahan yang berlangsung hingga abad ke 19, menunjukkan, persoalan agraris menjadi sebab utama terjadinya friksi sosial dan perang. Jaard Diamond bahkan menuliskan, penguasaan lahan secara tidak adil dan deformasi tata ruang, menyebabkan krisis kemanusiaan. Lantas mengantarkan sejumlah negara – bangsa, menjadi nation failure.

Beranjak dari persoalan lahan dan tata ruang di dalam negeri, hingga kini, kita dapatkan ribuan persoalan yang telah merampas dimensi kemanusiaan. Terutama akibat sertifikat lahan yang tumpang tindih, pinjam pakai lahan yang bertentangan dengan peruntukan dan fungsi ruang, serta perubahan tata ruang tanpa mempertimbangkan habitat. Setarikan nafas, daya dan kemampuan managerial terhadap fungsi lahan di kalangan masyarakat masih sangat rendah.

Beranjak dari realitas itu, kita berharap, keberadaan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, mengurai persoalan-persoalan yang menjadi hambatan pembangunan selama enam dasawarsa dengan varian kebijakan yang dapat ditempuh selama lima tahun ke depan. Menteri Ferry (baca: 5 Tantangan Menarik Menteri Ferry Mursyidan) dapat memilih titik berangkat dengan  lima varian.

Pertama, dalam konteks orientasi menjadikan laut sebagai beranda depan, perlu mengambil prioritas pulau-pulau terdepan (yang berbatasan langsung dengan negara lain), sebagai model penataan ruang berbasis fungsi lahan. Model ini akan memungkinkan terjadinya proses pembangunan infrastruktur berorientasi pulau terdepan sebagai pusat pertumbuhan;

Kedua, dalam konteks reposisi desa, penataan ruang desa menjadi pilihan untuk mengharmonisasi pertanian, industri pedesaan, sentra-sentra permukiman sehat, dan sentra-sentra perdagangan dalam kesatuan ruang yang menegaskan desa sebagai pusat pertumbuhan ekonomi;

Ketiga, dalam konteks mengatasi kesenjangan desa – kota, penataan ruang dan redistribusi lahan tidur, termasuk legalisasi untuk menjamin kepastian hukum atas lahan, akan memungkinkan terjadinya socio habitat yang jelas, misalnya: rural zone, sub urban zone, dan urban zone.

Keempat, dalam konteks NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), penataan ruang akan memungkinkan terjadinya interaksi dan sinergi antar wilayah (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua sebagai sentra-sentra unggulan nasional berujung pada: kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan keunggulan budaya. Hal ini akan mewadahi pluralisme dan integralisme dalam konsep ruang nasional yang utuh.

Kelima, dalam konteks percepatan pembangunan seiring dengan orientasi baru ke Asia pasifik, penataan ruang yang jelas dan managemen agraria yang benar, akan menjadikan Indonesia sebagai daerah tujuan investasi berbasis politik ekonomi sumberdaya alam – lingkungan yang jelas.

Menteri Ferry kita yakini, mampu mengembangkan manajemen agraria dan tata ruang sebagai landasan politik ekonomi kebangsaan ke depan. | 

Editor : Web Administrator
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 502
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1584
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1373
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1159
Rumput Tetangga
Selanjutnya