Racun dalam Koalisi

| dilihat 2119

SECARA elementer pemahaman tentang koalisi politik sudah jelas. Yaitu, kerjasama beberapa partai politik untuk memperoleh suara tertentu dalam proses pengambilan keputusan di parlemen. Koalisi politik, biasanya dilakukan dengan pendekatan power sharing. Partai yang berkoalisi di parlemen, berbagai kekuasaan di pemerintahan.

Dalam teori Arend Lijphart jelas koalisi dilakukan untuk memaksimalkan otoritas melalui pemenangan proses pengambilan suara (winning coalition) untuk mendukung suatu kebijakan yang diambil oleh pemerintah berkuasa. Untuk itu, dalam proses pemilihan umum yang tidak menghasilkan partai pemenang dominan, berlaku prinsip size coalition. Partai pemenang, mengajak partai lain menyelenggarakan kekuasaan atau pemerintahan. Persis seperti apa yang dilakukan Partai Demokrat sejak 2004.

Pada koalisi permanen seperti yang terjadi dalam pemerintahan parlementer, seperti di Malaysia, berlaku prinsip integralitas partai koalisi. Bahkan sejak awal, sejak bertarung di dalam Pemilihan Umum. Dengan demikian, pemerintah koalisi solid dalam mengusung kebijakannya. Produk akhir dari koalisi adalah public consciense yang mengikat semua partai yang berkoalisi. Baik karena fatsoen politik sebagai nilai bersama, maupun karena kesadaran berintegrasi untuk mencapai tujuan dan visi yang sama.

Partai yang inkonsisten terhadap tujuan dan visi koalisi, berarti dengan sendirinya sudah mengingkari koalisi itu. Tempatnya tidak ;agi di dalam pemerintahan koalisi. Bagi mereka, memilih menjadi oposisi jauh lebih terhormat daripada sebagai oportunis yang menggerogoti pemerintahan. Dalam berkoalisi,  kata kuncinya adalah adab politik. Konsistensi terhadap perjuangan bersama. Tak ada agenda tersembunyi di dalamnya. Tak ada transaksi politik yang justru akan membuat kebijakan partai tercederai.

Mencermati perilaku koalisi partai politik sejak berlangsungnya pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Budiono (2009) kita menyaksikan praktik koalisi yang aneh dan konyol. Kebijakan strategis pemerintah, tak sedikit yang terhianati oleh anggota kolisi itu sendiri. Belakangan, bahkan terjadi ‘saling tikam’ antar petinggi partai yang berkoalisi tentang berbagai kebijakan operasional pemerintahan.

Kita paham dan percaya, banyak kebijakan pemerintah yang sejak awal sudah berkomitmen memenuhi kepentingan rakyat. Namun, dalam praktiknya, sejumlah petinggi yang direkomendasikan oleh partai politik anggota koalisi, sibuk dengan hasrat dan kepentingan partainya sendiri. Ironisnya, setiap perbedaan pandangan dan sikap di antara mereka, dan tak dapat diselesaikan secara internal, merembet ke parlemen, dan kemudian membuncah di media massa. Lebih tragis lagi, di parlemen, wakil-wakil partai anggota koalisi (yang beralasan mewakili rakyat) justru berhadap-hadapan dengan pemerintah.

Dalam catatan kita, sepanjang perjalanan koalisi pemerintahan Presiden SBY (2004-2009 dan 2009-2014), hanya Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Amanat Nasional, yang relative konsisten dengan prinsip-prinsip dan code of conduct koalisi yang mereka sepakati. Selebihnya, ada yang mendukung separuh hati, ada pula yang membelot, seolah-olah partai oposan. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), misalnya.

Alasan koalisi kritis, yang mereka dengungkan, tentu tak dapat diterima akal budi politik yang wajar. Karena yang kita lihat, sesungguhnya para ‘peselingkuh’ koalisi, itu secara sadar mengabaikan fatsoen politik, dan hanyut dengan kepentingan politiknya sendiri. Apapun alasannya, sikap inkonsisten tidak dapat diterima oleh akal budi politik.

Sikap inkonsistensi semacam itu tak bisa dibiarkan terus berlangsung, karena memberi pendidikan politik yang buruk bagi rakyat. Kecuali, mereka membuktikan kepada rakyat, keluar dari koalisi untuk memperjuangkan sikap dan keyakinan politiknya.

Inkonsistensi adalah racun koalisi, menimbulkan ketidaknyamanan politik, disonansi kognitif, sebagai ekspresi kebebalan untuk mendahulukan kepentingan praktis politik semata. Sikap politik semacam ini hanya akan menjadikan rakyat sebagai korban permainan politik.

Menyimak semua itu, sambil harus tersenyum menyimak statement Jokowi tentang rencana ‘koalisi tanpa distribusi kekuasaan’ atau ‘koalisi tanpa power sharing,’ kita melihat rima-rima persoalan bangsa lima tahun ke depan. Kita sepakat dengan koalisi berbasis platform perjuangan kolektif, tapi hal itu hanya mungkin terjadi bila koalisi permanen berlaku. Racun koalisi masih akan terus membayangi pemerintahan ke depan.  |

Editor : Web Administrator
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 913
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1151
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1406
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1550
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 420
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 992
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 227
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 705
Momentum Cinta
Selanjutnya