Melewati Periode Penghianatan

Menjemput Takdir Tuhan

| dilihat 2091

INILAH periode penghianatan terhadap rakyat menemukan momentnya. Periode 2014 – 2019. Lihatlah dengan kejernihan fikiran, rasa, dan kebeningan sukmawi, betapa lebar jarak antara jalan yang benar dan kuasa duniawi, yang merampas kebersamaan antara rakyat dengan para pemimpinnya sendiri.

Al Hafez, begawan Persia, menyebut pada bilangan milenia periode ini sebagai periode yang menyimpan sesuatu di balik setiap keindahan kata-kata, ketika musuh-musuh kemanusiaan menyeruak dan tidak mengerti makna kemurnian dan kesucian, tak pula mengenal makna persahabatan. Era yang harus diwaspadai dengan hati-hari. Oleh karena itu, menurut Al Hafez, siapapun kita kudu mencari sesuatu yang lebih nyata, konkret. “Bersikaplah tentang dan tidak gegabah dalam menentukan pilihan.”

Periode ini dimulai dengan suasana di mana rakyat terpesona oleh figur-figur yang mempermainkan ekspektasi dan kegelisahan rakyat akibat arus informasi yang confuse. Tapi, pada masanya, di detik-detik yang menentukan, Tuhan masih memberi anugerah dan menolong rakyat Indonesia dan memilihkan pemimpin yang sungguh dicari rakyat ‘di dalam kegelapan jaman.’ Caranya: tidak tergesa-gesa menentukan pilihan, ada waktu selama beberapa jam sebelum menentukan pilihan, untuk sungguh memberikan pilihan kepada orang yang tepat.

Pada masa-masa tenang, siapapun kita, harus melakukan perenungan mendalam, agar cerdas menilai kata-kata dan perbuatan yang sesungguhnya. Rakyat sesungguhnya belum tahu persis siapa yang mereka kehendaki memimpin. Situasi inilah dimainkan oleh sejumlah penyihir alaf baru untuk menyebut nama-nama 'tokoh' yang punya keberuntungan.

Kini, ketika rakyat masih bimbang dan ragu terhadap sosok bakal pemimpin mereka, rekayasa citra melalui berbagai aksi ‘mind intervention’ bagai gelombang yang menghantam dinding-dinding pertahanan batin dan kesadaran. 

Di sinilah diperlukan ketajaman menyeleksi untuk tidak terpengaruh pada rekayasa fakta dan manipulasi kebenaran.

Rakyat sebagai pemilih, sedang menghadapi Jangka Widada. Yaitu mantra-mantra palsu yang mengagungkan seseorang sebagai satria piningit yang bisa menyelesaikan banyak masalah, meski keberadaannya justru menjadi bagian dari masalah dan menambah-nambah masalah. Inilah hari-hari, rakyat dipengaruhi aneka ramalan modern yang (seolah-olah) menjanjikan keselamatan hidup.

Ajang kampanye Pemilu 2014 bahkan menjadi momentum pertempuran para petinggi kalawingi, yakni mereka yang sudah berkali-kali gagal di hari hemarin, mereka masih mengharap wangsit untuk menang esok. Seolah johan, pahlawan, yang sedang menanti singgasana.

Dalam situasi itu, sihir kata-kata yang menirukan pemimpin idola masa lampau dengan olah alih retorika, hendak menghadirkan sesosok pemimpin laksana Sanggong Peken, meski sesungguhnya hanyalah pemimpi yang merasa menjadi pemimpin. Siapa yang harganya paling baik, itulah yang akan disanjung dan dijunjungnya.

Ada juga yang terpesona Gabah Wadhuk, dengan kemasan dan tampilan seakan-akan cerdas, innocence, pluralis, dan berperangai baik. Padahal tak ubahnya ulo yang pandai mengubah fakta baik menjadi buruk, mengubah ular berbisa, laksana lindung penghasil nutrisi. Mengubah pemabuk menjadi seakan-akan sosok idealis dan visioner. Padahal, ia hanyalah bulir padi yang terpisah dari rangkaiannya, hanya untuk memenuhi nafsunya. Mereka ini boleh disebut Hastha Rai yang mengubah wajah ke delapan penjuru angin, dengan memanipulasi keberhasilan di masa lalu. Padahal banyak kerja yang tidak diselesaikan dan menimbulkan persoalan baru di masa mendatang. Terutama berkaitan dengan persoalan-persoalan dari perut bumi yang menjadi masalah ke perut manusia.

Rakyat diombang-ambingkan oleh hal-hal semacam itu, termasuk pituah para orang bijak yang tak bijak lagi, sehingga doanya dikembali ke bumi oleh para malaikat.

Sesungguhnya jrakyat memerlukan pemimpin yang mampu menyiapkan penggawean bagi rakyat, sehingga rakyat hidup dalam suasana tata tentrem lohjinawi. Melindungi tanah air dari beragam intervensi jakalanda, dan melindungi tanah air dari  nconge koneng yang sedang berebut menguasai kekayaan alam kita. Rakyat memerlukan pemimpin yang sungguh menerapkan astabrata dengan tepat, dihiasi ati macinong yang benar.

Indonesia periode 2014-2019 memerlukan pemimpin, yang mampu menyediakan aneka pekerjaan  sesuai dengan apa yang diperlukannya, sesuai dengan keinginan dan cita-cita para pendiri Republik Indonesia. Pemimpin yang sungguh mencintai Indonesia sepenuh hati (jiwa raga). Pada dirinya melekat simbolitas astabrata dan astagina yang nyata, yang membimbing rakyat menegaskan hakekat pluralisma yang benar sesuai prinsip The Sixth Faith Principles. Rakyat tidak memerlukan "boneka dari India," "boneka dari Amerika," apalagi "boneka Singapura." |      

Editor : Web Administrator | Sumber : Voul Hafiz
 
Energi & Tambang
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1184
Rumput Tetangga
Selanjutnya