Lali

| dilihat 2155

KEDATANGAN Satria Bergitar ke kedai gambuh membuat senang hati Pangeran Utara. Kedai tiba-tiba dikerubuti oleh para kawula. Limbuk dan kawan-kawan pun ada di situ.

“Kabarnya, Satria sudah mendapat restu dari para dewata untuk bertanding dalam pemilihan kepala desa dua tahun lagi?’ tanya Pangeran Utara.

“Ya, begitulah.. Bukan sekadar restu, ini perintah. Tak ada ambisi atau hasrat saya untuk menjadi Kepala Desa. Tapi, saya tidak bisa menolak amanat dewata,” ungkapnya.

Limbuk mendekat, diikuti teman-temannya. Cangik yang mencari Limbuk, juga ikut berbaris di tengah kawula. Suasana riuh, karena kawula merangsek terus dari belakang. Mban Pedangan, was-was. Dia meminta Satria Bergitar ke depan kedai.

 “Maaf Satria, maaf... Kalau Satria berada di sini, nanti kedai saya roboh..”

“Terlaaaalu ! Tapi, baiklah saya akan keluar.”

Pangeran Utara melotot ke arah Mban Pedangan.

“Tidak sopan,” cetusnya, ketus.

Kawula mundur. Tapi yang di belakang malah maju. Suasana berubah jadi gaduh. Limbuk berteriak. “Satria..., menyanyilah! Tunjukkan kepada kami kesaktian gitar puntungmu !”

Satria bergitar memandang ke arah Limbuk. Lalu tersenyum. Wajah Limbuk yang manis, itu membuat Satria terpesona sesaat. “Baiklah saudara-saudara,.. saya akan mempersembahkan sebuah lagi.. saya minta mundur.. mundur ke arah pohon jati sana,” ujarnya.

Kawula segera bergerak ke arah pohon Jati di seberang kedai. Persis di pinggiran jalan. Anggota ‘pasukan’ Satria bergegas lebih awal, membentuk formasi. Limbuk mendapat tempat isitmewa. Dia boleh menonton di baris paling depan.

“Saudara-saudara. Desa ini sudah kehilangan akhlak.. sudah kehilangan etika. Setiap hari, di mana-mana, termasuk di kedai-kedai, ratusan kawula berteriak – teriak menghina lurah kita. Kawula satu mencurigai kawula yang lain. Wakil kawula asyik dengan permainan sendiri, menyalahkan orang lain tanpa pernah sadar atas kesalahan mereka.”

“Satria, menyanyilah.. Jangan berpidato!” Seketika mengalunlah tembang bertajuk Terlalu. Kawula berjoget. Limbuk pun begitu.

Kawula yang tak mendapat tempat cukup untuk berjoget, menggoyang-goyangkan jempolnya. Cangik coba mengikuti irama lagu yang didendangkan Satria Bergitar. Tapi dia tak terbiasa.

Togog, sahabat Sangut datang. Ia menghampiri Pangeran Utara yang sedang ngobrol dengan Sangut. Wajahnya ceria. Dia berjalan sambil berjoget, mengikuti irama pengiring lagu yang didendangkan Satria Bergitar.

Pangeran Utara dan Sangut menikmati tembang itu, meski tak ikut berjoget. “Wah, ini menarik... sangat menarik, Sangut. Bisa kita jual kepada kawula, nih. Lihatlah para kawula begitu antusias,” cetus Pangeran Utara. Sangut mengangguk.

 “Sebelum ada yang ambil, partai kita saja yang ambil, Sangut,” cetus Togog nyeletuk. Sangut terlongong. “Bagaimana mungkin? Satria Bergitar maunya menjadi Ki Lurah, bukan wakil..?” Sangut makin terlongong, ketika Pangeran Utara tiba-tiba mengatakan, bukan soal baginya. “Kita usung Satria Bergitar sebagai Calon Lurah, aku cukup wakilnya saja. Yang penting, partai kita menang pilihan raya.”

Togog menggoyangkan jempolnya, tangannya, dan kemudian badannya. “Pangeran Utara memang cerdas,” ujarnya, membuat sang Pangeran senang hati. “Bukankah sampean sudah bersumpah gak mau jadi wakil? Apa itu tidak seperti perempuan melamar lelaki?” desak Sangut.

“Ngut.. Sangut.. Ini politik.. Biasa.. Biasa.. Kita sudah berada di jaman edan! Sama biasanya seperti kita mengangkat-angkat kejahatan, menghasut kawula,” ujar Togog sambil tertawa. Pangeran Utara hampir tersinggung, tapi urung, karena Togog tiba-tiba mengidung jangka Jayabaya.

“Akeh wong wani nglanggar sumpahe dhewe. Manungsa padha seneng nyalah. Ora ngendahake hukum Hyang Widhi. Barang jahat diangkat-angkat. Barang suci dibenci. Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit. Lali kamanungsan,” ungkap Togog.

Ya. Banyak orang melanggar sumpahnya sendiri. Manusia pada senang saling menyalahkan. Tidak peduli dengan hukum dewata. Kejahatan dijunjung tinggi, yang luhur suci dibenci. Banyak manusia mengutamakan uang, lupa hakekat kemanusiaan.

Satria berhenti bernyanyi. Togog masih terus ngidung. Ungkapnya, ‘Akeh wong lali kabecikan. Lali sanak lali kadang. Akeh bapa lali anak. Akeh anak wani nglawan ibu. Nantang bapa. Sedulur padha cidra. Kulawarga padha curiga.’ Banyak orang lupa hikmah kebajikan, lupa sanak saudara. Banyak bapak lupa anaknya. Banyak anak berani melawan ibunya, menantang bapaknya. Sesama saudara saling khianat. Keluarga saling curiga.

Ketiganya menghampiri Satria.| 

Editor : sem haesy
 
Energi & Tambang
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1157
Rumput Tetangga
Selanjutnya