Kubangan Fantasi

| dilihat 1841

PAGI baru merebak ketika saya duduk di atas batu besar, memandangi pantai Sawarna - Bayah. Debur ombak dan angin pantai seperti memompa semangat untuk terus memelihara optimisme, karena hidup terus bergerak dan tak pernah berhenti bergerak.

Sudah terlalu lama saya tak berkunjung ke sini. Saya ditemani Mang Kasim, yang biasa saya panggil Mang Gelung, karena amat sering mengonde rambutnya yang panjang dan memutih. Beberapa kali saya menyaksikan dinding air yang terbentuk gelombang laut, lantas membayangkan, para pemburu gelombang untuk olah raga surfing susah payah datang ke sini.

Meski tak sedahsyat gelombang Samudera Indonesia di lepas pantai Nias,  pantai ini jauh lebih baik dari sejumlah pantai tempat surfing di Bali. Mungkin karena pantai ini tak nampak menonjol di peta dunia.

Saya tidak tahu persis, seberapa peduli Pemerintah Provinsi Banten mengolah sumberdaya alam di sini. Yang pasti, untuk mencapai pantai ini, apalagi lewat kabupaten Pandeglang, sungguh melelahkan. Infrasturktur jalan terbiarkan hancur dan hanya diperbaiki sepenggal-sepenggal. Infratruktur jalan berkondisi lumayan baik, hanya dari Pantai Sawarna sampai Cisolok, sebelum dan sesudahnya sangat tak layak. Betonisasi jalan dilakukan seolah tanpa perencanaan yang jelas. Terbiasa dengan kebiasaan buruk: membangun secara tambal sulam.

Manong, pemuda Malingping yang menemani perjalanan saya selama beberapa hari, hanya mengungkapkan kejengkelan, karena Pemerintah Provinsi Banten lebih senang memasang giant banner wajah Gubernur, katimbang memprioritaskan pembangunan infrastruktur. Itu sebabnya sebagian pantai dan daratan di daerah ini seolah tak tersentuh pembangunan.

Aki Gelung dan Manong tersenyum, ketika saya bilang, boleh jadi Gubernur Banten amat ta’at dengan nasihat nenek moyang dulu: Gunung teu meunang dilebur, Lebak teu menang diruksak, lojor teu meunang dipotong, pendek teu meunang disambung (Gunung tak boleh dihancurkan, lembah tak boleh dirusak, panjang tak boleh dipotong, dan pendek tak boleh disambung). Nasihat itu bukan berarti membiarkan alam yang diberikan Tuhan begitu saja.

Ketika terjadi agresi militer Belanda, sumberdaya alam dari Cikotok (emas) diolah dengan sangat baik dan menjadi penyelamat untuk mencetak dan mengedarkan orida (Oeang Republik Indonesia Daerah)  pengganti ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) . Perekonomian Banten dan beberapa daerah di Indonesia, seperti Aceh, Sumatera Selatan, dan Priangan bisa terselamatkan oleh beredarnya Orida sebagai alat tukar yang sah. Orang Banten masa lalu menyebutnya ‘uang merah.’

Nasihat leluhur Banten itu adalah isyarat agar sumberdaya alam dikelola sebaik-baiknya sesuai dengan prinsip-prinsip best practise. Dalam bentuk lain, sebagaimana nenek moyang orang Sunda, berlaku isyarat, bahwa kehidupan manusia akan merana bila mereka tak mengelola alam dengan baik. Antara lain dengan melakukan kerusakan dan perusakan. Tindakan perusakan yang dicerminkan oleh: gunung-gunung dibarubuh (penambangan yang bertentangan dengan best practice mining), tatangkalan dituaran (deforestasi) , karena akan berakibat pada dua keburukan: cai caah babanjiran (banjir bandang yang menghancurkan)  dan bhuwana marodah montah (bumi yang memuntahkan isi perut, seperti lumpur Lapindo di Sidoarjo) .

Begitulah pembangunan yang dilakukan hanya mengandalkan fantacy (yang disebut visi, kala Pemilukada) , akhirnya menjadi ‘jebakan angan-angan’ (fantacy trap)  saat pemerintahan sudah dijalankan. Perencanaan pembangunan hanya bertolak dari menghimpun hasrat dan sekadar menjadi daftar keinginan dan kepentingan (interest and need list)  semata. Akibatnya, terjadi disparitas pembangunan antara Banten Utara dengan Banten Selatan.

Mestinya DPRD Provinsi Banten paham terhadap realitas ini, tapi benar kata Manong, “Mereka paham persoalan, tapi tak cukup pandai mencari dan menemukan solusi.” Persoalannya tidak begitu sulit, sekadar mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri dan menjawabnya. Misalnya, mulai dari pertanyaan sederhana: “Maukah memprioritaskan Banten Selatan?” Bila sungguh mau, tentu akan mampu. Kemauan yang sungguh-sungguh memprioritaskan sesuatu akan mendorog kita menjadi termotivasi untuk kreatif menemukan jalan keluar. Antara lain dengan menggerakkan local genius sebagai bagian dari seluruh proses perencanaan pembangunan Banten. Baik dalam konteks perencanaan jangka menengah maupun jangka panjang.

Bila mau merujuk kepada model kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa bergelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah, yang visioner dan transformatif di masa pemerintahannya (1651-1683). Yaitu dengan mendahulukan transformasi budaya dan pembangunan fisik. Khusus untuk melakukan pembangunan infrastruktur, Sultan tak segan-segan merekrut arsitek Cakradana dari China. Bahkan untuk membangun bendungan, Sultan tak segan mendatangkan Willem Caeff, konsultan struktur dan konstruksi dari Belanda.

Bila merujuk kepada Sultan Ageng Tirtayasa (yang masih relevan hingga kini)  pembangunan Banten, khususnya untuk mengatasi disparitas Selatan – Utara, Desa – Kota, adalah melibatkan para stakeholders (pemangku kepentingan)  menyiapkan perencaaan infrastruktur yang terintegrasi dengan perencanaan logistik, transportasi, dan pertahanan wilayah. Basisnya: keadilan dan pemerataan kemakmuran. |

Editor : N Syamsudin Haesy
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 110
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 254
Cara Iran Menempeleng Israel
14 Apr 24, 21:23 WIB | Dilihat : 274
Serangan Balasan Iran Cemaskan Warga Israel
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 220
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 435
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 432
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 402
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya