KOCAP

| dilihat 2185

ABUNUWAS tak sendiri datang ke desa Indajaya. Dia ditemani para sahabat sahabat setianya: Jayeng Tinon dari Sasak, Pak Belalang dari Tanjungpura, Kabayan dari tatar Sunda, dan Pahit Lidah dari tepian danau Ranau.

Jayeng Tinon adalah lelaki cerdas berpandangan jauh ke masa depan. Kelak ia disebut manusia visioner. Pak Belalang, lelaki bersahaja yang selalu beruntung, karena selalu menemukan solusi tanpa pernah tahu apa yang dikemukakannya adalah solusi.

Akan halnya Kabayan, lelaki cendekia yang senang mencandai keadaan dengan kejujuran dan kebersahajaannya. Sedangkan Pahit Lidah, lelaki ketus saat bicara, sehingga jarang yang tahu, dia sebenarnya seorang yang bijaksana dan baik hati.

Sejak beberapa tahun terakhir mereka hidup bersama di Pulau Mariam. Mulanya, pulau itu tanda penghuni dan tak diurus. Dulu orang menyebutnya pulau Janda Berhias. Pulau itu juga dikenal sebagai pulau cendekia, karena dihuni para cendekiawan yang memisahkan diri dari kegaduhan hidup manusia se antero jagad.

Di pulau itu, hidup juga Malinkundang, pengusaha kaya perahunya yang membawa harta dan kekayaannya, terdampar, karena terhempas gelombang. Di sana, hidup juga Daeng Te’ne, lelaki tampan dari Bone, yang sudah agak lelah untuk terus mengembara. Hidup juga Palui dari tanah Borneo.

“Di pulau itu kami hidup damai. Kami membangun sistem pemerintahan sendiri. Semboyan hidup kami: hidup damai, berbagi solusi. Kami memproduksi solusi untuk segala hal yang dihadapi negeri-negeri dan desa-desa lain. Terutama desa yang senang bergaduh,” kata Jayeng Tinon.

Bilung cepat karib dengan Jayeng Tinon. Hampir semalaman keduanya berbagi pengetahuan dan pengalaman.

***

PAGI sekali, Bilung sudah membawa Tinon sarapan pagi di Kedai Gambuh. Bilung memperkenalkan Jayeng Tinon kepada Mban Pedangan dan para kawula yang sedang sarapan di situ. Mereka ngobrol dengan senang hati.

Ketika sedang menikmati tahu konde, mendoan, dan sroto, Cangik dan puterinya, Limbuk datang. Ia juga mau sarapan. Limbuk senang bertemu Bilung.

“Paman, kata mboke, mau ngajak jalan-jalan ya?” Bilung mengangguk.

“Ke mana paman?”

“Ke Bale Kawulan”

“Bale Kawulan? Emoh ah.. itu ‘kan tempatnya politisi?.. Gak mau ah.. Nanti Limbuk ketularan jadi politisi. Terus, ikut-ikutan menjadi pegaduh di desa ini.”

Bilung dan para kawula, tertawa mendengar ucapan Limbuk yang enteng itu.

“Menjadi politisi itu bukan sesuatu yang buruk, nak.. Jadilah politisi untuk memperbaiki komunitas mereka,” ujar Tinon.

“Gak mau, paman.. Limbuk mau jadi penari saja,” balas Limbuk.

Tinon memuji Cangik. “Selamat ya Bu Cangik, sudah berhasil mendidik puteri Anda menjadi gadis cerdas dan menyenangkan.”

“Terima kasih pak Tinon..., terima kasih.”

Limbuk berpamitan dan bergegas ke sawah. Ia membiarkan ibunya berlama-lama di kedai gambuh. Ia memang berharap, ibunya kerap bertemu Bilung yang diidamkan akan menjadi ayahnya.

“Bagaimana Anda mendidik Limbuk, Mbak?”

Cangik tersipu. Baru kali ini ada orang memuji dirinya berhasil mendidik Limbuk. Biasanya yang dia terima adalah ungkapan kemarahan kawula, lantaran ulah Limbuk yang dianggap sering menjadi sumber kegaduhan.

“Saya mendidik dia hal yang wajar-wajar saja. Kepadanya, saya sering menceritakan kehidupan nyata yang seringkali jarang sama dengan ajaran para leluhurnya,” jawab Cangik.

Tanpa diminta, Cangik melantun kocap Jangka Jayabaya, yang sering dia sampaikan kepada Limbuk.  “Sesuk, yen wis ana kreta tanpa jaran, tanah Jawi kalungan wesi. Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang. Kali ilang kedhunge. Pasar ilang kumandhang. Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak,” ujar Cangik. Kelak, ketika sudah ada kereta tanpa kuda, tanah Jawa berkalung besi. Perahu melintas di udara. Sungai kehilangan mata air. Pasar kehilangan riuh. Itu tandanya, jaman Jayabaya sudah tiba.

“Bhumi suwe, mengkeret. Sekilan bhumi dipajeki. Jaran doyan mangan sambel. Wong wadon nganggo pakeyan lanang. Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking zaman. Akeh janji ora ditetepi.”

Bumi semakin lama kian menciut. Sejengkal pun tanah dikenakan pajak. Kuda senang memakan sambal. Kaum perempuan senang berpakaian laki-laki. Itu pertanda manusia akan memasuki jaman yang terbolak-balik. (Pada masa itu) banyak janji tak ditepati. Tinon terpana sesaat. Zaman itu sudah tiba, tandanya datang satu demi satu.

Percakapan mereka terhenti, karena seorang petugas jagabaya datang, meminta Bilung dan Tinon segera ke pendapa Ki Lurah Badranaya. |

Editor : sem haesy
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1156
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Energi & Tambang