Kala Helm di Kepala Dijitak Orang

| dilihat 1446

Berita bendera dan baliho Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dirusak dan (beberapa) di lemparkan ke selokan, membuat hati panas.

Tindakan biadab itu, meminjam istilah Rocky Gerung, merupakan tindakan dungu, yang hanya memuaskan hati sesaat, tetapi mengorbankan pelaku.

Kabar yang saya terima, pelaku perusakan itu 35 orang, terbagi dalam tujuh 'regu,' yang masing-masingnya beranggotakan 5 orang. Kabar itu juga menjelaskan, setiap pelaku menerima upah Rp150 ribu.

Tak penting siapa pelakunya, karena yang sangat penting adalah siapa yang membayar dan memerintahkan pelaku itu melakukan muruah partai sebagai institusi sah berbadan hukum, yang keikutsertaannya dalam Pemilihan Umum melalui proses verifikasi yang panjang.

Peristiwa yang terjadi di Pakanbaru - Riau, Tanah Melayu itu setara dengan penghadangan Neno Warisman ketika akan mendeklarasikan Gerakan #2019GantiPresiden. Boleh diamsalkan laksana helm yang terpasang menutup kepala dijitak orang.

Secara fisik tak terasa sakitnya. Tapi, melukai hati. Dan, tak boleh dibiarkan. Ketika harkat dan muruah dilecehkan orang, jangan pernah mengalah, meski mengalah menunjukkan sikap santun dan rendah hati. Membiarkan tindakan dungu semacam itu sama halnya dengan merendahkan diri, yang akan berdampak sangat luas pada spirit collective dignity. Melumatkan seluruh esensi kepalan tinju ketika meneriakkan yel-yel.

Saya sepakat dengan sikap Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang dalam cuitannya di akun twitter-nya, akan menyusul ke Pakanbaru untuk melakukan investigasi.

Sikap AHY selaku kader partai dan orang yang paling bertanggungjawab atas kalah-menangnya Partai Demokrat dalam Pemilu 2019, adalah sikap tepat seorang pemimpin.

Ada masanya pemimpin dan kader bersikap rendah hati dalam menjalankan kiprah politik dalam konteks 'sepandai-pandai siyasah,' tapi pada saat yang diperlukan, tentu harus bersikap tegas, memberi makna atas kepalan tinju saat meneriakkan yel dan saat menyanyikan lagu mars partai.

Diam dan mengalah terhadap penistaan, akan membuat peristiwa dungu terus berulang, dan menafikan esensi tugas dan fungsi partai sebagai institusi yang harus mendidik politik rakyat secara luas.

Kala helm di kepala dijitak orang dan yang menjitak kabur, lalu berhasil diringkus. Lakukan investigasi. Temukan semua informasi: apa yang menyebabkan dia menjitak helm di kepala, atas inisiatif siapa dia lakukan hal itu.

Seorang teman yang mendengar sikap saya seperti terurai dalam tulisan ini berseru, "Jangan jadi tukang saté.. ngipas-ngipasi."

Saya tidak sedang melakukan apa yang disebut teman, itu. Tidak penting buat saya 'ngipas-ngipasi' atau 'ngompori.'

Kasus itu harus diusut dan dituntaskan penyelesaiannya, karena bila dibiarkan akan berdampak lebih luas dan justru dapat memecah belah dan menghancurkan bangsa ini.

Peristiwa itu akan menjadi 'bara api di sekam diam.' Karenanya, perlu ditemukan siapa yang menyediakan api dan membuat sekam. "Rajawali di pokok  jati/Jatuh terkapar di atas peti/Baliho dan bendera gampang diganti/Hilang harga diri ke mana nak cari ganti"

Ada masanya rakyat bersimpati dan berempati, ketika kita pasang wajah berduka, ketika kehidupan normal berlangsung. Ketika konsolidasi demokrasi berjalan baik, dan sikap saling hormat menghormati tumbuh subur.

Sekarang, beda masanya. Simpati dan empati rakyat hanya diberikan kepada mereka secara lugas dan tegas dalam bersikap. Marah saat seharusnya marah. Bijak saat seharusnya bijak.

Sukacita rakyat Cianjur melakukan syukuran dan menikmati nasi liwet bersama-sama merayakan aksi OTT (Operasi Tangkap Tangan) Bupati-nya, mengisyaratkan, kini adalah masa yang sedang menuntut sikap tegas dan lugas.

Tak begitu penting lagi kiasan. Konsistensi dan konsekuensi menentukan sikap politik sangat penting maknanya. Termasuk menentukan di mana posisi pemimpin partai politik berdiri.

Sikap santun bukan berarti membiarkan orang lain atau hantu dungu -- siapapun dia -- melakukan pelecehan. Sikap santun juga harus ditunjukkan dengan meringkus siapa saja yang melakukan pelecahan secara tegas, kemudian memaafkannya bila seluruh proses sudah dilakukan secara adil. Itulah ekspresi politik santun yang sesungguhnya.

Allahyarham Muhammad Ali - petinju legendaris, dalam suatu wawancara salah stasiun televisi di Irlandia (1971), membacakan puisi, luahan hatinya bertajuk Freedom - Better Now.

Pada bagian ekspressif baik puisinya, Ali mengemukakan kalimat -- yang diterjemahkan secara bebas -- seperti ini:

Kebenaran.. berwajah cerah / bermata kemilau / Kebenaran.. selalu kumandang / Mengangkat mukanya // Jiwa kebenaran selalu teguh / Berjalan harus ke depan / Kebenaran tak punya kekuatiran atau kebimbangan // ... //Semangat kebenaran menyala-nyala / Hati kebenaran ruah-meluap / pikian kebenaran leluasa / dan Tabah menghadapi segala rintangan //

Tabah dalam menegakkan kebenaran bukan mengalah. |

Editor : Web Administrator
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Energi & Tambang