Jeblag Jeblug Gaya Ahok

| dilihat 1988

BILA ukuran respek adalah ‘like and dislike,’ selama setahun terakhir sejak Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dilantik sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, rasanya saya koq makin suka. Ceplas-ceplos, terbuka, kadang frontal, kadang ‘menggemaskan.’ Pilihannya untuk fokus kerja dengan prioritas yang sudah dirancangnya bersama Jokowi, termasuk salah satu alasan mengapa belakangan saya suka kepadanya.  Orang Betawi bilang, Ahok, 'kayak' Asiong: Ngejeblak, Ngejeblug, Tokcer !

Banyak hal rumit yang bertahun-tahun susah diurai, ketika dilakukan Ahok, bisa jalan. Tentu, inilah yang membuat Joko Widodo (Jokowi) sang Gubernur bisa keluyuran (blusukan kata wong Solo) memelihara citra berkelanjutan sebagai pemimpin populer, capres polling.

Dalam banyak hal, Ahok terlihat dapat menerima kritik yang dilontarkan para penggerutu, yang kini mudah mendapat tajuk sebagai ‘pengamat’ oleh wartawan. Kadang, dia bisa sentak sengor dengan mereka. Bahkan menantang.

Ibarat petasan, Ahok seperti petasan chili. Ketika mendapat perlakuan tak adil, atau hendak dimainkan menjadi obyek berita, dia spontan bereaksi. Misalnya, apa yang dia lakukan kepada TV-One. Sikapnya, itu membuat stasiun televisi lain yang sama-sama redis (Berita Satu) spontan ambil peluang: mengekspresikan kekaguman. Tak tanggung – tanggung, Pemimpin Redaksi dan Wakil Pemimpin Redaksi turun lapangan. Mewawancarainya.

Belakangan (Selasa, 28/1) dia ngejeblug lagi. Lewat media dia balik mengeritik mereka yang sering disebut pengamat itu. “Kalo mau jadi pengamat, jadi pengamat yang bener lah ! Kalo mau nantang saya, di tahun 2017, susah amat...” katanya.

Ahok pantas kesal dan mengambil posisi sebagai ‘tembok bagi pemain squash,’ dilontari bola, melontarkan balik bola itu kepada sang pelontar.

Terbuka, Ahok mengingatkan pengamat agar konsisten dengan pernyataan yang mereka sampaikan di media massa. Dia menilai, banyak pengamat yang kerap berubah-ubah dalam menyampaikan pendapat. Terutama pengamat yang gemar hanya menyalahkan.

Penolakannya terhadap aturan Jokowi yang melarang pegawai negeri sipil di lingkungan Pemprov DKI Jakarta menggunakan kendaraan pribadi ke kantor juga menarik. Alasannya, larangan itu terkait dengan PNS (pegawai negeri sipil). Artinya dia tak kudu mengikuti aturan itu, meski di dada kiri pakaian dinasnya selalu ada pin atau badge KORPRI (Korps Pegawai Republik Indonesia).

Mustinya Ahok juga mencopot pin itu, seperti para menteri. Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota (daerah otonom), itu kan jabatan politik. Sama dengan jabatan Menteri.

Saya respek kepada Ahok, juga karena pertimbangan lain. Formula kepemimpinannya menarik. Cepat mengura sumbatan masalah, dan ‘tahu diri.’ Tindakannya sebagai Wagub tidak melampaui wewenang yang sudah dibagi Gubernur. Artinya, saya melihat Ahok sampai kini menempatkan posisi sebagai wakil. Dia tidak mengambil porsi Jokowi, bila tak didelegasikan kepadanya.  Ia paham, “bisa mengganti pakaian, tapi tak bisa mengganti orangnya.” Dan, dalam hal kasus lelang jabatan Kepala Sekolah, umpamanya, dia mempraktikan prinsip leluhurnya: “Banyak orang baik ditemukan di bawah topi yang lusuh.”

Ahok yang berwajah cabi dengan aksentuasi khas bangka, itu memang ‘menggemaskan.’ Ritme dan aksentuasi bicaranya ketika diwawancarai, mencuri perhatian siapa saja yang rindu ekpresi bocah ‘bangor toloheor, ngopepang jeung japetang.’ Ngejeblag, ngejeblug, apa adanya, tanpa basa-basi. Tanpa eufemisme.

Mustinya, di tengah proses transformasi demokrasi, formula retorika pejabat mengambil model retorika Ahok di satu sisi dan Gus Dur di sisi lain. Retorika populis modes yang tak kehilangan ‘sten,’ dan pas dengan fungsi utamanya sebagai pelayan rakyat | |

Editor : Web Administrator
 
Energi & Tambang
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 226
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 322
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya