Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji'uun

| dilihat 3192

BEBERAPA sahabat saling bertanya dalam suatu kesempatan buka puasa bersama beberapa hari lalu: “Apa hal yang membuat kau berkirim ucapan Alhamdulillah, kepada setiap teman yang mengakhiri jabatannya dengan mulus?”

“Lantas, apa pula maksud kau mengirim ucapan Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un bagi setiap teman yang baru dilantik memangku jabatan..?”

Saya jawab dengan enteng, “Ya, karena mereka dapat mengakhiri tugas dengan baik dan tak tersangkut beragam masalah”.

Kepada para rekan yang baru menerima jabatan, termasuk kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) usai pengambilan sumpah 20 Oktober 2004, memang saya kirimkan ucapan: inna lillaahi wa inna ilaihi roji’un.

Saya lakukan itu, karena sejak dilantik, yang sesungguhnya sedang mereka terima, bukan hanya kepercayaan dan amanah. Melainkan juga hasad, hasud, ghibah, buhtan, fitnah, dan bahkan berbagai prasangka negatif. Paling tidak, sanjung puja yang bisa membuatnya lengah dan kelak kehilangan integritas diri.

Hidup di tengah masyarakat yang sedang berbenah memperbaiki peradabannya, seringkali menghadapkan kita pada ambivalensia budaya. Dalam kondisi semacam itu, jabatan yang di dalamnya tersandang amanah dan tanggung jawab, baru terasa nikmatnya, justru ketika kita mengakhirinya.

Persisnya, ketika kita kembali menjadi manusia biasa, tanpa simbol dan atribut sosial tertentu. Paling tidak, pada saat jabatan berakhir, ketika itulah sebagian terbesar dari kerumitan formal berakhir pula. Dan kita menjadi manusia merdeka.

Seorang sahabat menyoal istilah ‘inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’ yang sering dikonotasikan dengan musibah.

Kepadanya saya katakan, bagi saya, jabatan adalah musibah. Artinya, rangkaian ujian dan cobaan yang diberikan Tuhan, dan merupakan sesuatu ‘yang datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah’ jua. Meskipun Allah memberinya melalui manusia. Karena itulah, satu-satunya motivasi dalam menyandang jabatan yang harus ditonjolkan adalah ibadah.

Dengan cara demikian, satu-satunya kepedulian dalam menjalankan sesuatu jabatan (amanah) adalah melaksanakannya dengan baik, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Risiko akan datang menyertai, bahkan risiko yang paling pahit dan getir. Karenanya, acap menyandang sesuatu jabatan, selalulah berpegang teguh pada aturan yang mengaturnya.

Di dalam organisasi politik, tentu persoalannya lebih rumit. Karena selain  aturan, siapa saja yang menyandang jabatan politik, akan berhadapan dengan aneka kepentingan yang seringkali berlawanan dengan aturan dan fatsoen yang telah disepakati.

***

JABATAN bukanlah sesuatu yang harus diburu atau dipertahankan dengan keukeuh dengan beragam alasan. Karena yang utama adalah bagaimana bekerja keras, bekerja cerdas, bekerja ikhlas, dan bekerja tuntas agar jabatan itu memberi manfaat bagi orang banyak. Langsung atau tidak langsung.

Salah satu hal terberat dalam menyandang sesuatu jabatan adalah menjalankan fungsi mendidik lingkungan sosial di mana jabatan itu berada.

Dalam proses mendidik, yang selalu menjadi tantangan terberat adalah mengubah mindset (minda) atau cara berfikir insan yang berada di dalamnya. Kemudian, menyiapkan sumber daya yang harus disiapkan untuk melakukan proses regenerasi.

Bagi lingkungan pemerintah dengan budget yang memadai dan mempunyai panduan yang jelas dari negara, program penyiapan sumber daya manusia untuk kepentingan regenerasi dapat dilakukan dengan baik. Pun demikian halnya dengan organisasi bisnis, yang sejak awal mempunyai master plan dan visi bisnis yang jelas.

Tidak demikian, tentu, dengan organisasi bisnis yang bergantung pada ‘suasana hati’ pemilik sumber daya modal. Selain memerlukan daya tahan untuk mengimbangin kecenderungan yang berubah-ubah, juga harus selalu siap sedia berhadapan dengan kondisi dissatisfactory faction.

Dalam konteks itulah, jabatan bukan sesuatu yang menyenangkan. Selain dapat menjadi ujian tak berkesudahan, jabatan, bahkan dapat menjadi jalan berduri dan berliku.

Amanah akan berhadapan dengan kondisi, tanggung jawab akan berhadapan dengan hasrat, keinginan, dan kepentingan. Hanya ada dua jalan yang bisa ditempuh dalam situasi demikian: bertahan dengan tanggung jawab sambil berusaha menciptakan keadaan lebih baik, atau justru sebaliknya: meninggalkan jabatan itu.

Pengalaman hidup, terutama dari para mantan penyandang jabatan (pejabat) di lingkungan pemerintahan dan bisnis, mengajarkan perlunya daya tahan menabung kesabaran, menunda kesenangan. Kecuali bagi mereka yang menikmati jabatan sebagai kekuasaan, dan kelak harus menderita panjang, mengalami post power syndrome, saat jabatan terlepas dari bahu.

Karenanya, perlakukan jabatan tidak sebagai kekuasaan, melainkan sebagai kewenangan menjalankan fungsi, lengkap dengan risikonya.

Jadi, siapa saja yang beru dan akan menyandang jabatan baru atau amanah baru yang berat, mulailah dengan dengan mengucapkan: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun lalu berusaha mencapai ujung pelaksanaan amanah itu dengan husnul khatimah.

Kelak, setelah mengakhiri jabatan dengan baik, ucapkanlah Alhamdulillah... !!|

Editor : Web Administrator
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 634
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 785
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 751
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Energi & Tambang