MENGIKUTI perkembangan berita ihwal pencapresan dan kesibukan petinggi partai politik sibuk membentang jejaring koalisi, dan kesibukan mereka bersoal tentang BBM dan Rakyat, saya teringat nasihat almarhum ayah. Terutama acapkali beliau marah dengan para politisi. Kalimat paling melekat di benak saya adalah, “nu gebleg oge, bisa bae jadi raja.” Artinya, si Pandir pun bisa menjadi pemimpin.
Hal itu bisa terjadi, bila kita memilih pemimpin hanya sekadar dilandasi oleh rasa senang dan tidak senang, hanya mengandalkan intuisi. Apalagi sekadar fantasi popularitas dan elektabiitas. Kondisi itu bisa membuat situasi negara segalanya carut marut.
Amun di nagara, sagala-gala sarwa edan. Eta tandana, anu jadi raja teh jelema burung. Anu bener hese mah.. jadi raja bener. Anu bener-bener salalawasna nyekel benerna bebener kabener. Di tengah keadaan yang carut marut dan perilaku politik yang mengabaikan etika, siapa saja – khususnya yang menggunakan jalan licik – bisa saja tampil sebagai petinggi. Maka sangat sulit bagi seorang yang baik menjadi pemimpin yang baik. Sangat sulit bagi yang sungguh patut memimpin bangsa menjadi pemimpin sungguhan, yang sungguh benar akan memegang kebenaran sebenar-benarnya.
Dalam situasi demikian, siapa sungguh yang patut menjadi pemimpin (mudu kumaha nu jadi raja)? Jawabnya adalah “Ari raja teh mudu bener. Nyaho dibener, nyaho disalah. Nyaho dihade, nyaho dihenteu pihadeun. Ulah eudeuk digaweeun. Ari nyaho teu pihadeeun, teu pihadeeun ka nu diurus. Ulah bener bae pieun nu ngurus. Ulah hade pieun nu ngurus wungkul.” (Pemimpin yang benar, tahu tentang benar dan salah. Berani menegakkan kebenaran karena faham mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, lantas menjadi teladan bagi rakyat).
Dialah pemimpin yang mau memikul amanah dan tanggungjawab, laiknya seorang bapak terhadap keluarganya. Tidak meninggalkan tanggung jawab itu di tengah jalan. Ia juga mesti mampu mengelola, mendidik dan mengasuh rakyat, laiknya ibu menjalankan fungsinya terhadap anak-anaknya. Mampu mempraktikan kepemimpinan yang kreatif dan inovatif agar rakyat bekerja optimal. Bukan menyebar kerisauan dan kekuatiran (Gawe raja mudu ngaraksa sakumaha bapa, bari ngaraksa kumaha ema. Mudu ngurus kumaha indung. Mudu minangka sawah kanyaah. Ulah minangka kawah kacaah. Anu bedah di saban marah).
Pemimpin kini, tak harus menguasai segala hal, melainkan harus memahami semua hal, sehingga mampu memimpin berdasarkan kekuatan tim. Mewujudkan pengertian, termasuk memahami: bagaimana melihat dan mencermati, mendengar dan menyimak segala gagasan dan aspirasi yang dipimpinnya. Ia menjadi pemandu prosesi bangsa dalam melakukan transformasi. Ia paham apa yang harus dilakukan dan dihindari. (Raja têh teu mudu-mudu teuing pinter, tapi nu mudu mah inyana ngarti. Ngarti neuleu bari ngaraksa. Ngarti ngarasa tina ngadeuleu. Abeh kaharti kunu diaping, bari karaksa kunu diraksa).
Akankah kita mendapatkan pemimpin seperti ini (lagi)? |