Elektabilitas Jokowi

| dilihat 2196

SUBUH baru lewat. Di luar gerimis masih turun. Anak bungsu saya kembali mengajak berbincang tentang Anies Baswedan, idolanya. Sekali-sekala saya ingatkan dia untuk lebih lekas menyelesaikan tesis S2-nya di Universitas Indonesia, karena sudah molor tiga bulan dari janji yang diberikannya pada saya.

Dia memperlihatkan hasil survei Pusat data Bersatu (PDB) yang antara lain didirikan oleh seorang sahabat, Prof. Dr. Didik J. Rachbini. Survei itu mengambil angle kualitas. Hasil survey itu dipublikasikan Jum’at (17/1). Mengutip pendapat Didik, anak saya mengatakan, “Jokowi memang bagus secara elektabilitas, tapi kalah dari sisi kualitas dengan Anies Baswedan.”

Mungkin anak saya paham, saya termasuk seseorang yang selalu ragu dengan hasil survey tentang elektabilitas di jaman ketika media sosial dan media mainstream bisa ‘dimainkan’ dengan daya penetrasi hipodermik pembentukan persepsi. Hal itu tercermin dari klaim berbagai pihak yang sedang berjuang mendorong Jokowi maju ke Pilpres 2014. Antara lain klaim yang diekspresikan Ibnu Kurniawan – koordinator Nasional Relawan Indonesia Baru (RIB) : dukungan masyarakat terhadap Jokowi dilakukan secara spontan dan sangat massif. Artinya, elektabilitas itu dibangun hanya mengandalkan tiga faktor: instink, sense, judgement, dan perceiving. Jadi, jelas, dukungan tidak dilansasi oleh nalar (think). Hal itu jelas menunjukkan, ‘masyarakat’ yang dimaksudkan adalah masyarakat yang menjadi korban penetrasi hipodermis aksi kurcaci saiber (cyber trooper).

Oleh sebab itu, boleh jadi benar hasil survey PDB, bahwa elektabilitas Jokowi mengalami ‘fall in’ dari 36 persen (September 2013) menjadi 28 persen (Januari 2014). Dari aspek popularitas, Rhoma Irama menduduki posisi teratas, tentu dengan tingkat elektabilitas yang rendah (0,5 persen).

Saya teringat pandangan Prof. Dr. Andi Hakim Nasution, ahli statistik dan jagoan survei ilmiah tiada tanding. Beliau mengatakan, angka-angka yang dihasilkan survey bukanlah indikator pasti yang menunjukkan validitas nyata pada realitas pertama. Angka-angka yang dihasilkan survey hanyalah indikator untuk melakukan plan off dan plan on untuk menggerakkan suatu aksi.

Bagi demokrasi yang masih menganut flat voter, boleh jadi hasil survey bisa menjadi titik berangkat untuk melakukan mobilitas massif. Hasilnya? Demokrasi hanya akan melahirkan kepemimpinan yang hanya mengandalkan orientasi populis modes semata. Bahayanya: kelak akan membuat rakyat kecewa, lantaran mudah ‘melarikan diri’ dari situasi.

Meski sama memiliki orientasi populis modes, Obama mempunyai basis kuat yang dia bina sendiri melalui aksi-aksi ‘turun tangan’ terhadap berbagai persoalan rakyat di Amerika. Berbeda dengan Jokowi. Tapi, justru kondisi itulah yang hendak dieksplorasi oleh Australia dan Singapura, seperti tercermin dari pandangan yang dilontarkan Faifax Media (yang mempunyai: Sydney Morning Herald, The Age, dan Bisbane Times) yang belakangan hari rajin menggocoh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Bos Fairfax, Michael Bachelard menilai para bakal capres 2014 menilai, Jokowi adalah sosok yang menyimpan ambisi sebagai Presiden RI 2014-2019. Ambisi itu dikemasnya dengan penampilan bersahaja.

Dengan kata lain, Jokowi pandai menyimpan ambisi dalam ‘pesona kerakyatan.’ Kalangan lain di Australia memandang Jokowi satu-satunya jangkar yang bisa diyakini bakal memperkuat kepentingan Australia bila dia jadi Presiden. Pertimbangan inilah yang, agaknya, dipergunakan Abbot – PM Australia, mengkhianati Presiden SBY yang kadung menganggapnya sebagai sahabat.

Dari sudut pandang Singapore interest atau ‘Singapore connection interest,’ Jokowi adalah satu-satunya sosok yang bisa menjadi pilihan untuk menawarkan model suksesi kepada Megawati Soekarnoputri dan PDIP yang dipandang bakal jadi jawara Pemilu 2014. Situasi akan berubah, bila Aburizal Bakrie dipandang sebagai ‘mitra yang paling bermanfaat.’

Jadi? Jangan terlampau heran bila elektabilitas Jokowi bergerak melonjak dan nyaris ‘aneh’ dibandingkan dengan elektabilitas nama lain yang disebut-sebut sebagai bakal capres. Dalam situasi demikian, Anies Baswedan, lagi, harus dipertimbangkan.|

 

Editor : Web Administrator
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1182
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 520
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1610
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1392
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya