Demokrasi Dangdut

| dilihat 2141

PADA dekade 90-an saya karib dengan musisi, musik, dan lagu dangdut. Paling tidak sejak saya mengemban fungsi sebagai Manajer Program dan General manajer Operasi Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).  Banyak yang protes ketika musik dangdut mendominasi programa siaran televisi yang semula ‘seperti kelas sekolah pindah ke layar’ itu.

Tak usai-usai saya mesti menjelaskan hakekat pendidikan di balik musik dangdut. Apalagi, saya termasuk yang keukeuh memegang adagium: pendidikan tak hanya sebatas pengajaran. Coba simak dan pelajari begitu banyak lagu dangdut yang populer, banyak sekali pendidikan hidup yang terdapat di dalamnya. Lebih dari itu, yang paling menarik adalah musik dan lirik lagu dangdut sebagian terbesar merupakan refleksi kehidupan sosial sehari-hari.

Meskipun beranjak dari empirisma hidup keseharian yang personal dan sangat inward looking, begitu tembang dangdut populer dan menjadi domain publik, banyak hikmah menarik di dalamnya. Secara sosiologis, dangdut adalah produk budaya massa yang berpijak pada populis modes. Orientasinya sangat merakyat.

Coba simak rangkaian tembang bertajuk: Termiskin di Dunia, Gubug Derita, Sepiring Berdua, Takut Sengsara, Judi, Mabok Bae, Pagar Makan Tanaman, Terlena, Anggur Merah, Senyum Membawa Luka, sampai Oplosan. Hadapkan tembang-tembang itu dengan realitas sebagian besar masyarakat kita, khasnya, lapisan akar padi (grass root). Sebagian besar tembang itu menggambarkan refleksi faktual realitas pertama kehidupan kita: kemiskinan persisten yang bersandingan dengan kemiskinan kultural dan struktural. Peristiwa mengenaskan yang kita peroleh dari kabar media di balik peristiwa distribusi zakat dan BLSM (bantuan langsung sementara mandiri), menunjukkan realitas sosial dengan serangkan fakta brutal di lapangan.

Di balik sebagian tembang lainnya, tersimpan juga realitas lain kehidupan faktual, ekspresi masyarakat melodius, yang sensitif, temperamental, dan mudah terkecoh. Dan, selalu menjadi korban.

Memandang dangdut tidak semata-mata sebagai karya musik, melainkan sebagai fenomena sosial, menghadapkan kita dengan fakta lain. Yakni, rakyat terlalu muda terseret ke dalam fantacy trap. Bahkan kini, ketika kita sedang menggerakkan transformasi demokrasi. Demokrasi kita bahkan boleh disebut demokrasi dangdut. Yaitu demokrasi yang mengekspresikan naluri, perasaan, dan aksi demokrasi. Hasilnya, terlalu banyak dan sering proses demokrasi diwarnai oleh naluri politik, dan belum dikelola oleh nalar politik.

Simaklah cerita dan peristiwa di balik persekongkolan korupsi sapi yang melibatkan Presiden PKS (Partai Keadilan Sejahtera) – Luthfi Hassan Ishaq dan Fathanah. Simak juga isu di balik kasus korupsi  simulator SIM – Dirlantas Polri – Djoko Susilo, atau kasus Hambalang yang melibatkan Menteri Pemuda dan Olah Raga Andi A. Mallarangeng dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. 

Di sisi lain, coba dalami hasil-hasil survey soal persepsi rakyat terhadap figur-figur calon pemimpin bangsa ini secara kritis. Hampir semua kalangan yang berminat mencumbui suksesi kepemimpinan nasional, sibuk mengutak atik popularitas dan elektabilitas figur dengan metode riset atau survey tunggal, yang tak menangkap dimensi lain di balik angka-angka polling. Seolah-olah popularitas dan elektabilitas setarikan nafas dengan karakter, kredibilitas, integritas, kompetensi dan kapabilitas kepemimpinan yang diperlukan rakyat.

Kita seolah abai, urusan negara mesti dikelola oleh figur pemimpin yang konsisten dan konsekuen dengan perjuangan kebangsaan berdimensi jauh ke masa depan.  Eksplorasi popularitas dan elektabilitas yang digerakkan oleh media (baik mainstream maupun sosial) secara sistemik menyeret rakyat (dan bangsa ini) ke dalam fantacy trap. Ironisnya dalam situasi demikian institusi-institusi pendidikan kader pemimpin bangsa (Lemhannas, misalnya) perlahan kehilangan pamor.

Akibatnya terjadilah perburuan popularitas (sekaligus elektabilitas) dengan cara-cara  tak elok. Umpamanya, menggunakan program komunikasi institusi publik untuk kepentingan personal campaign dengan beragam kilah.  Di sisi lain, juga terjadi fakta tragis, media (untuk dan atas nama rakyat) melakukan fait a comply terhadap figur populis yang seharusnya menyelesaikan komitmennya secara konsekuen. Jokowi bisa disebut sebagai sosok yang mengalami kondisi semacam itu.

Ketika menjabat Walikota Solo, Jokowi di-fait a comply untuk mengabaikan konsistensinya terhadap komitmen melayani rakyat sesuai masa jabatan. Dan kini, meski Jokowi berulang kali mengatakan belum membuktikan prestasinya membenahi Jakarta, arus fait a comply sudah mendorongnya untuk berlaga dalam pemilihan Presiden RI 2014 – 2019.

Gerak dan ekspresi demokrasi dangdut semacam ini, tak hanya mengorbankan kader bangsa semacam Jokowi untuk lebih menguatkan kapasitasnya sebagai pemimpin bangsa. Bahkan langsung tak langsung mengorbankan rakyat untuk selalu tak berkutik di dalam kubangan fantasi karena sergapan angka-angka survey.

Meskipun demokrasi dangdut merupakan suatu fase yang harus dilalui dalam proses transformasi demokrasi bangsa ini, tak keliru bila partai politik dan institusi sosial bangsa (seperti universitas, LIPI, dan Lemhannas) duduk bersama. Mereka perlu memfasilitasi proses penyusunan scenario plan suksesi kepemimpinan bangsa. Dengan demikian, proses suksesi  bisa dijalani secara lebih visioner. Sekaligus, memberi bobot terhadap transformasi demokrasi Indonesia.

Bangsa ini memiliki begitu banyak figur sebagai future leader yang tersembunyi di balik hiruk pikuk dinamika demokrasi dangdut. Ada Anies Baswedan, Agus Martowardoyo, Rachmat Gobel, Sjafri Syamsuddin, Pramono Anung, dan lainnya yang perlu dicermati.

Proses scenario planing itu perlu, agar kita tak mudah menyanjung figur dengan ekspektasi emosional dan kemudian menjatuhkannya saat kecewa. Jangan sampai, kita harus menggumamkan potongan lirik lagu Terlena (Ikke Nurjanah) berulang-ulang setiap jelang suksesi: Masih terngiang di telingaku, bisik cintamu, betapa lembut dan mesranya. Aku terlena.. Air mata bahagia, jangan menjadi duka.... Lantas selalu mengulang ekspresi kekecewaan di penghujung masa kepemimpinan dengan mendendangkan lirik : Untuk apa sih kau sulam benang biru menjadi kelambu ..kalau hanya untuk mengejar yg lain.. |

Editor : Web Administrator
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 634
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 784
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 751
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Energi & Tambang