Tradisi Merantau di Indonesia

| dilihat 3767

AKARPADINEWS.COM | MIGRASI dari satu tempat ke tempat lain menjadi bagian dalam kehidupan manusia. Proses perpindahan itu lantaran manusia memiliki misi, mencari sumber-sumber ekonomi atau ingin mengetahui lingkungan luar, jauh dari kampung halamannya.

Dalam Islam, migrasi disebut dengan hijrah, dari Bahasa Arab, yang artinya menjauhkan diri atau berpindah tempat. Di jaman Nabi Muhammad SAW, bersama para sahabat, Rasulullah hijrah dari Mekah ke Madinah, dengan tujuan menyebarkan firman Allah SWT kepada umat manusia untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akherat.

Hijrah dipahami sebagai jalan keluar meninggalkan darul kufur (kekufuran) menuju darul Islam (keimanan kepada Allah SWT). Islam juga mengajarkan kepada umat muslim agar berhijrah di jalan Allah SWT, dengan tujuan mendapatkan rahmat dan rezeki dari Allah SWT.

Bagi bangsa-bangsa barat, hijrah atau merantau dilakukan untuk mencari sumber-sumber ekonomi. Sejarah juga mencatat, kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke negara-negara di belahan dunia bermotif imprealisme. Nenek moyang masyarakat Indonesia juga mngadopsi budaya merantau. Mereka bergerak dari satu tempat ke tempat lain untuk tujuan mempertahankan hidup. Merantau bahkan menjadi tradisi salah satu suku di Indonesia.

Tradisi merantau dilakukan oleh banyak etnis di Indonesia seperti Bugis, Banjar, Batak, Jawa, Madura, Sunda, Padang, dan lainnya. Namun, budaya merantau ini lebih fenomenal dilakukan oleh etnis Padang. Kultur dan adat Minangkabau sejak abad ke-7, secara turun-temurun sampai saat ini, mendorong anak-anak muda Minangkabau untuk pergi merantau.

Menurut Amir Sjarifoedin TJ A dalam buku berjudul Minangkabau Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol, pepatah adat dan pantun-pantun Minangkabau menjadi pesan leluhur yang menjadi acuan pemuda Minangkabau untuk pergi merantau. Tujuannya, selain untuk mencari pekerjaan, pemuda itu diharapkan dapat mencari ilmu dan pengalaman serta penghidupan yang layaknya.

Mereka dituntut untuk mengadu nasib di negeri orang. Saat merantau, mereka sering bergantung pada seseorang yang diketahui seibu, sesama suku atau kaum untuk menjadi saudara--yang diharapkan dapat membantu saat di tanah rantau. Dan, selama tinggal di perantauan, mereka diwajibkan untuk bersikap dan bertindak terpuji sesuai adat dan agama Islam yang diajarkan secara turun temurun di Minangkabau.

Meski mengajarkan agar para pemuda untuk merantau, adat dan budaya Minangkabau mendorong kaum muda untuk kembali ke kampung halaman, dengan membawa sesuatu, harta, atau pengetahuan, sebagai simbol keberhasilan dirinya selama merantau.

Banyak tokoh perantauan berdarah Minagkabau yang dikenal di Indonesia seperti: Haji Agus Salim, Sutan Syahrir, Abdul Muis, Mohammad Hatta, Tan Malaka hingga sastrawan dan seniman Buya Hamka, Chairil Anwar, dan Usmar Ismail.

Di tanah rantau, semangat bekerja dan kemampuan mengolah pikiran menjadikan mereka tubuh menjadi tokoh-tokoh besar. Beberapa di antaranya dikenang sebagai founding fathers Indonesia, meski tidak ada yang menjadi Presiden Republik Indonesia karena budaya Jawa sentris.

Selain Suku Minangkabau yang berkarakter sebagai masyarakat agraris, tradisi merantau juga dilakukan Suku Bugis. Menurut Antropolog Christian Pelras, merantau bagi masyarakat Bugis sebagai suatu strategi ekonomi, khususnya dalam urusan perdagangan, bisnis, dan pertanian.  Sejak akhir abad ke-17, pemukiman orang Bugis tersebar di seluruh nusantara dan salah satu adat yang dipertahankan suku Bugis ketika merantau adalah Sirri yang dipahami sebagai kehormatan atau harga diri.  

Tradisi merantau bagi masyarakat Batak juga memiliki sejarah panjang. Misalnya, migrasi Batak Toba ke daerah Melayu terjadi sebelum masuknya Islam masuk ke Indonesia di abad ke-13.  Saat ini, Jakarta sebagai ibukota negara juga mempunyai lahan perantauan berbagai suku, termasuk suku Batak yang kebanyakan menjadi migran tetap dengan faktor pendorong yang bersifat ideologis, tradisi dan ekonomi.

Budaya merantau suku Jawa lebih dikenal dengan pola transmigrasi. Mereka tidak hanya tersebar di luar pulau Jawa di Indonesia, namun juga merantau ke negeri lain seperti penelitian Orang Jawa di Suriname karya Parsudi Suparlan. Dalam setiap perantauan, masyarakat Jawa masih memiliki keterikatan etnisitas dan identitas Jawa sebagai modal kultural.

Budaya merantau dari masyarakat Sunda adalah fase terakhir di banding suku lain, dengan alam agraris dan keterikatan oleh tempat kelahiran. Hal itu yang menyebabkan orang Sunda sering tidak betah berlama-lama merantau. Meskipun sekarang cukup banyak juga orang Sunda yang bekerja di tempat yang jauh dari dari tempat kelahirannya, namun orang Sunda masih menganggap perlu pulang ke kampungnya, sekurang-kurangnya setahun sekali. 

Merantau bagi suku-suku bangsa di Indonesia merupakan proses interaksi dengan dunia luar untuk beradaptasi dan menjadi manusia yang mandiri, dengan modal kultural etnis dapat menumbuhkan kecintaan, semangat untuk menghargai, menjaga dan melestarikan budaya dan adat yang ada. Dan, berbekal pengalaman di tanah rantau itu, mereka kembali untuk memajukan kampung halamannya.

Ratu Selvi Agnesia 

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Polhukam
19 Apr 24, 19:54 WIB | Dilihat : 246
Iran Anggap Remeh Serangan Israel
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 341
Cara Iran Menempeleng Israel
Selanjutnya
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 536
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1060
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 288
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 754
Momentum Cinta
Selanjutnya