Tilik Literasi Betawi

| dilihat 1473

Catatan Ringan Bang Sèm

Literasi bagi kaum Betawi bukan sekadar belajar membaca, menulis, dan menghitung. Literasi bagi kaum Betawi adalah melakukan proses kreatif sebagai suatu sikap dan bukan hanya bakat.

Literasi bagi kaum Betawi adalah cara untuk memahami dunia dan akhirat dalam satu tarikan nafas, yang memberikan dorongan gairah dan ghirah dalam menjalankan kehidupan secara sosial, ekonomi, budaya dan politik sekaligus.

Karya-karya literasi kaum Betawi mempertemukan realitas pertama dengan realitas kehidupan kedua, sekaligus mempertemukan sesuatu yang dapat dilihat dan disentuh secara empiris maupun di luar empirisma manusia.

Kaum Betawi memperoleh referensi literasinya dari dinamika kehidupan yang dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, serta nilai-nilai kehidupan beragama. Inilah yang kemudian membuat kaum Betawi mampu berinteraksi dengan beragam nilai sosial, ekonomi, budaya dan politik.

Sebagaimana masyarakat dunia lainnya, bagi kaum Betawi, literasi ditujukan bagi semua orang, tanpa memandang usia, ras, jenis kelamin, agama, budaya dan asal sosial, untuk memperoleh pengetahuan dasar, menengah dan tinggi. Karenanya, literasi bukanlah tujuan, melainkan alat mengembangkan kapasitasnya untuk menghampiri dan menganalisis  sesuatu yang bergerak dinamis dalam kehidupan sehari-hari. Sekaligus menjadi refleksi kritis dalam berinteraksi dan merespon kehidupan duniawi dan ukhrawi.

Berbagai karya literasi kaum Betawi, seperti hikayat, pantun, cerita lisan, cerita pendek, narasi dalam pertunjukan teater rakyat, jampe, dan syair lagu Melayu, Gambang Kromong,  dialog dalam aksi Palang Pintu, khutbah Jum'at, khutbah nikah, sampai pidato politik, memberikan gambaran menyeluruh refleksi kritis yang bernilai informasi, edukasi, dan sekaligus menghibur. Karena dalam literasi kaum Betawi, retorika mengalir dalam narasi dan diksi yang multifungsi.

Pidato politik Muhammad Husni Thamrin, Pidato dan khutbah KH Abdullah Syafi'ie dan para kyai lainnya, pidato politik dan tabligh Hj. Tutty Alawiyah, khutbah dan tabligh KH Zainuddin MZ, kolom Mahbub Djunaedi, sketsa Firman Muntaco, kisah sahibul hikayat allahyarham Zaid - yang dilanjutkan puteranya Sofian Zaid, cerita-cerita folklore yang dikemas baik oleh babe Chaer, dialog Bang Madi di RRI, catatan peristiwa Babe Alwi Shahab, skenario film Sjumandjaya, Ali Shahab, Nawi Ismail, ekspresi literasi kaum Betawi. Tentu, demikian juga halnya dengan syair-syair lagu allahyarham Mashabi, Husein Bawafie, Munif Bahasoan, dan Benyamin S.

Dalam banyak hal, ketika menyaksikan pergelaran lenong atau topeng, juga sketsa Firman Muntaco dan karya-karya film Syumandjaya dan Nawi Ismail, kita menemukan realitas pertama kehidupan sosial yang diubah menjadi realitas kedua dengan durasi yang padat. Sebaliknya, pada kisah sahibul hikayat kita menemukan formulasi fantasia yang cair dan ringan, khasnya ketika berkisah ihwal jin sebagai bagian dari semesta yang hidup bersama manusia.

Pada sahibul hikayat, formula fantasia mempertemukan seluruh anasir semesta, termasuk kehidupan para raja (baik manusia maupun jin) yang secara sosial tidak menjadi bagian empiris kaum Betawi. Sahibul hikayat menghadirkan refleksi kritis kehidupan sosio, ekonomi, dan politik sebagai bagian dari budaya, dengan menggunakan formula yang relatif kaya, menjadi narasi black commedy yang bisa dirasakan siapa saja. Menempatkan humor dan kelakar bukan sebagai tempelan, melainkan satu kesatuan yang utuh.

Dalam mengeksplorasi fantasia, juga demikian. Literasi Betawi mampu mempertemukan subyektivitas dalam kehidupan dengan fiksi yang sering dianggap sebagai pelanggaran dalam budaya dan agama. Terutama, ketika dalam kisah sahibul hikayat mengalir pola narasi nilai dengan nafas pendidikan agama, termasuk memasukkan narasi sekaligus irama dalam rawi dan berbagai produk literasi klasik. Termasuk memasukkan jampe ke dalam konstruksi narasinya.

Dalam literasi Betawi juga kita dapati kemampuan mengelola logika bahasa - semantik yang tak berhenti hanya pada kekuatan tata bahasa, terutama karena sebagian terbesar kaum Betawi di masa lalu, karib dengan apa yang disebut sebagai 'ilmu alat,' yaitu nahwu, sharaf, manthiq, dan bayan.

Modal lain yang dimiliki oleh para pelaku literasi Betawi ketika mengelola subyektivitas dalam memandang kehidupan yang dinamis dan mempertemukannya dengan fiksi adalah spontanitas. Kendati masih ada juga satu dua yang masih bermain-main dengan mood.

Alhasil, menilik literasi Betawi saya melihat ada dua sikap kreatif yang mengemuka, yakni sikap panoramis yang menempatkan inspirasi secara luas, dan sikap penggali sumur, yang menggali sesuatu sangat dalam seperti yang dilakukan sejumlah ulama Betawi dalam melahirkan karya-karya khas mereka, yang tak selalu sama dengan kitab kuning yang sangat beragam.. |

Editor : Web Administrator
 
Energi & Tambang
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya