Telaga Budaya Kaum Urban

| dilihat 2786

PERTUMBUHAN kota-kota dari agropolis menjadi metropolis, dan kemudian berkembang sebagai megapolis -- dengan interstate zona – merupakan pertumbuhan peradaban manusia. 

Pada setiap perkembangan kota, perkembangan budaya mesti menyertainya. Apalagi, perkembangan kota tak hanya berhenti pada sekedar pengembangan fungsinya secara demografis dan geografis.

Kota sebagai wilayah habitat manusia tak hanya memerlukan sentra-sentra ekonomi, bisnis, dan ekonomi. Kota juga tak hanya memerlukan sentra-sentra unggulan di sektor pendidikan dan sosial. Kota memerlukan sentra-sentra budaya. Misalnya dalam bentuk pusat-pusat budaya, meliputi pengembangan kesenian, kreativitas, dan teknologi.

Memandang pertumbuhan kota sebagai sentra pengembangan budaya dan peradaban, berbagai prasarana kota, terutama pusat-pusat belanja atau mal, mesti dipandang dan diposisikan sebagai sentra kebudayaan dan peradaban.

Dengan pemikiran semacam ini, kita menempatkan mal sebagai bagian dari pusat pencerahan manusia. Dengan cara demikian, maka mal selain menjadi pusat perdagangan dan bagian strategis pertumbuhan ekonomi, juga sebagai telaga budaya.

Peran sebagai telaga budaya ini menjadi sangat strategis. Terutama dalam mengembangkan fasilitas kota sebagai community center, yang memainkan peran social understressed reduction. Paling tidak, sebagai pusat budaya urban, mal perlu dirancang sedemikian rupa untuk memberikan space yang memadai bagi berlangsungnya proses humanity recovery. Apalagi kecenderungan pertumbuhan kota dengan segala kompleksitasnya, cenderung mendegradasi ruang interaksi kemanusiaan (human interaction space).

Merujuk pada pemikiran ini, mal sebagai pusat kebudayaan kaum urban, dalam banyak hal memberi manfaat besar. Baik dalam mendorong proses kreatif masyarakat urban. Pun, untuk menciptakan suasana harmonis manusia. Khasnya dalam memenuhi hasrat dan keperluan manusia memperoleh harmoni sosial.

Bayangkan, alangkah indahnya bila setiap pengelola mal menyiapkan ruang interaksi masyarakat urban dengan dimensi estetika, artistika, dan etika yang ditawarkan produk-produk budaya. Mulai dari produk seni berkualitas yang bernilai ekonomi tinggi, sampai handycraft. Tentu masyarakat urban akan mendapatkan kembali dimensi kedalaman ruhaniahnya, ketika mereka memenuhi keperluan konsumsi ekonomisnya.

Selanjutnya, kesadaran menjadikan mal sebagai pusat kebudayaan kaum urban, akan mendorong tumbuhnya kesadaran baru masyarakat tentang pentingnya harmoni keperluan ruhani dan jasmani. Dan, mal sebagai sentra aktivitas masyarakat (community center) akan tumbuh kembang menjadi salah satu sentra pencerahan yang berdampak positif.

Di tengah kompleksitas dan dinamika masyarakat urban yang sangat mudah tersergap oleh berbagai situasi ‘dalam tekanan’ (under pressed), keberadaan mal sebagai telaga budaya di tengah kota, akan menjadi katarsis. Manfaatnya adalah terbangunnya public mental health yang dalam banyak hal, dapat menurunkan berbagai kekerasan. Termasuk mengurangi kriminalitas dan kekerasan kota.

Kita akan mengatakan, siapa saja pengelola mal yang mampu menjadikan mal sebagai pusat kebudayaan kaum urban atau telaga budaya, dia akan memperoleh keuntungan dan kemanfaatan yang besar. Baik dalam konteks ekonomi, budaya, maupun kemanusiaan.

Apalagi bila kelak, dari perannya sebagai telaga budaya, mal tumbuh sebagai ruang peradaban baru kaum urban yang visioner. Di tangan pengembang dan pemilik mal yang peduli terhadap kemanusiaan, mal akan berkembang menjadi wahana peradaban kota.| N. Syamsuddin Ch. Haesy

Editor : sem haesy
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1159
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 429
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 999
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 236
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 712
Momentum Cinta
Selanjutnya