Tambora Menyapa Dunia, Momentum Harmonisasi Manusia-Alam

| dilihat 1857

AKARPADINEWS.COM| Dua abad lalu. Tepatnya 10 April 1815, Gunung Tambora, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) meletus. Hentakannya begitu dahsyat. Suaranya bergemuruh, terdengar hingga Sumatera. Tambora memuntahkan pancaran api yang disertai jutaan kubik material magma, gas panas, debu, dan batu menjadi aliran piroklastik panas, menghanguskan segala yang dilaluinya.

Hentakan Tambora juga menghempaskan air laut sehingga menyebabkan tsunami yang gelombangnya hingga ribuan kilometer. Letusan Tambora tercatat sebagai letusan gunung terdahsyat, Setelah letusan Toba (74.000 tahun lalu), dan melebihi letusan Krakatau tahun 1883. Tidak hanya menewaskan 117.000 orang. Letusan Tambora telah mengubur peradaban tiga kerajaan: Kerajaan Tambora, Kerajaan Pekat, dan Kerajaan Sanggar.

Debu vulkanik merobek atmosfer dan mempengaruhi iklim dunia. Di Eropa dan Amerika Utara, matahari tertutup debu sehingga musim dingin berkepanjangan. Mereka menyebutnya A Year Without Summer, tahun yang tanpa musim panas. Akibatnya semua tumbuhan mati. Sebagian ahli menyebut angka kematian akibat Tambora 91.000 jiwa. Jumlah korban tewas itu, belum termasuk korban lainnya yang terkena dampak Tambora di negara-negara Eropa dan Amerika.

Letupan Tamboran juga mengakibatkan bencana kelaparan dan penyakit akibat abu vulkaniknya yang menyebabkan perjalanan tahun kala itu tanpa musim panas di dua benua itu. Hingga saat ini, berbagai ahli dari luar dan dalam negeri masih mencari jejak sisa tiga kerajaan yang hilang sekaligus efek domino letusan terhadap peradaban sejarah dan kebudayaan dunia.

Tambora dalam bahasa Bima berarti “Ajakan menghilang” yang menurut dongeng setempat, ada pertapa yang jasadnya tiba-tiba menghilang. Konon, sudah banyak penjelajah di Tambora yang jasadnya belum diketemukan. Bila dihubungkan dengan bencana, Tambora telah melenyapkan sebagian tubuhnya sendiri.

Gunung yang awalnya berbentuk super volcano kerucut dengan tinggi menjulang 4.200 meter dari permukaan laut, akibat letusan katastropik ini, memenggal ketinggian Tambora hingga tinggal 2.851 meter. Tambora juga membentuk kaldera raksasa yang masih aktif hingga saat ini.

Rupanya ada hikmah di balik bencana dahsyat itu. Tuhan telah mengembalikan kehidupan dari titik nol. Dua abad kemudian, kehidupan berkembang di kaki Tambora yang berada di wilayah Kabupaten Bima dan Dompu. Di atas endapan bekas aliran proklastik panas, tumbuh rumput dan padang savana luas, membentuk hutan baru. Pemukiman merebak, penduduk baru berdatangan, dan kehidupan kembali berdenyut di di atas jasad-jasad yang terlupakan dan terbaring bisu di bawah tanah yang kini mereka injak.

10 April 2015 lalu, dilakukan peringatan letusan Tambora. Acara yang didukung Pemerintah Provinsi NTB itu mengangkat tema: Tambora Menyapa Dunia. Selain mengenang bencana tersebut, acara itu juga menjadi ajang promosi pariwisata dengan target menarik dua juta wisatawan domestik dan luar negeri. Serangkaian acara digelar, antara lain penjelajahan dengan mobil dan motor trail (trabas) dan pendakian gunung melalui tiga jalur Desa Doro Peti, Desa Pancasila, dan Desa Doro Canga. Acara itu juga diramaikan berbagai etalase budaya dari Suku Sasak, Suku Bima, dan Suku Samawa.

Namun, dari berbagai kemeriahan yang disugukan, perhelatan Tambora Menyapa Dunia dinilai berbagai pihak hanya sebagai ajang seremonial dan promisi pariwisata belaka. Paox Iben Mudhaffar, penulis novel Tambora 1815 mengkritisi peringatan ini hanya sekedar ajang pariwisata, pendapatan, dan peringatan tanpa konsep yang matang.

Ketika dihubungi Akar Padi News, Paox mengkhawatirkan kerusakan lingkungan di sekitar Tambora akibat ulah manusia yang ramai mengunjungi acara tersebut. Acara itu laksana hura-hura tanpa mengindahkan etika gunung dan ajang pamer para petualang dengan kendaraan yang mengusik keheningan Tambora.

Menurut Paox, gunung adalah poros bumi dan peradaban. Dalam kosmologi gunung, terdapat imanen dan transenden hingga menciptakan karakter budaya yang khas. Kebudayaan dan tradisi ini yang seharusnya ditampilkan. Bencana Tambora sudah menjadi mekanisme alam dan perlu disadari bila Indonesia sebagai Ring of Fire (cincin api), memiliki 130 gunung berapi aktif dan pertemuan dari tiga lempeng besar.

“Kita sebenarnya tidur di atas kasur bencana dan kita menjadi salah kaprah saat menjadikan peringatan ini dengan cara yang modernis,” tegas Paox yang pernah menjadi tim perumus TMD dan memutuskan hengkang karena ketidakcocokan dengan pemerintah.

Letusan Tambora harusnya tidak sekedar dipandang sebagai peristiwa katastropik (bencana alam). Sejarah mencatat, kekalahan Napoleon Bonaparte dalam perang 100 hari karena cuaca buruk akibat Tambora. Sedangkan dalam novel ensiklopedik kolonialisme, Tambora dikemas dalam kisah percintaan. Paox memaparkan, sebelum Tambora meletus, perdagangan budak di era kolonialisme kala itu begitu memperihatinkan. Para budak perempuan itu didatangkan dari Indonesia Timur termasuk Bali dan Bima.

Novel Tambora 1815 merupakan salah satu upaya Paox melihat bencana Tambora dengan kacamata baru. Begitu pula dengan peringatan TMD. Dari sisi antropologi, bencana merujuk pada nature dan culture. Antara alam dan kebudayaan manusia terkadang tidak harmonis, sehingga dibuatlah ritus atau upacara untuk mengkomunikasikan keduanya. Antara jagat alit dan jagat ageng, manusia dan alam punya ikatan melalui ritus ini.

Ritus dan upacara dalam bentuk festival seni tradisi ini yang seharusnya lebih utama ditampilkan dalam peringatan Tambora untuk memaknai peristiwa ini dengan kontemplasi, sekaligus menjaga keselamatan dan kehamonian alam dan manusia. “Seharusnya kita mengajak orang untuk hidup harmoni lagi dengan alam. Bukan berpesta di atas tulang belulang” tegas Paox.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1194
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 256
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 427
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 273
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya