Masjid Raya Al Mashun Medan

Suar Kota Berpadan Budaya Manca

| dilihat 2799

PENINGGALAN Guru Patimpus sekitar tahun 1590-an, berkembang jadi kota ternama di sebelah Barat negara kepulauan Indonesia. Kota kenal sebagai kota Medan, ibukota provinsi Sumatera Utara. Guru Patimpus, lelaki Karo bermarga Sembiring Pelawi yang menyunting putri Datuk Pulo Brayan, bersama khalayaknya, membangun kampung Medan Putri. Kampung yang terletak di titik temu alur sungai Deli dan Sungai Babura, inilah yang kemudian berkembang sebagai kota. Meski, terdapat berbagai catatan Portugis awal abad ke 16, yang menyebut Medan bermula dari kata dalam bahasa Arab: Medina, yang bermakna kota.

Lepas dari bagaimanapun kisah asal usulnya, pada masanya, Medan berada dalam kekuasaan Sultan Deli, yang mempunyai jalinan hubungan dengan Sultan Perak, dengan pengaruh Islam yang sangat kuat. Karenanya, artefak penanda eksistensi Kesultanan Deli, sangat terasa pengaruh Islam-nya. Salah dua artefak itu adalah Istana Maimoon dan Masjid Raya Al Mashun (yang terletak hanya 200 meter saja dari Istana Maimoon).

Menghubungkan kota Medan dengan Istana Maimoon dan Masjid Raya Al Mashun, dalam artikel ini, lebih hanya merupakan ilustrasi sederhana tentang posisi dan keberadaan masjid raya yang memang menjadi kebanggaan masyarakat Medan. Meski mempunyai bentuk arsitektur yang relatif sama atau mirip dengan Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh, Masjid Raya Al Mashun, relatif kurang memperoleh publikasi yang memadai.

Catatan historis yang didapat dari berbagai sumber, menyebutkan, Masjid Raya Al Mashun dibangun persis pada 1 Rajab 1324H, bertepatan dengan 21 Agustus 1906, dan baru selesai pada 10 September 1909. Pembangunan masjid yang dirancang oleh Dingemans dari Belanda, yang berbentuk simetris pada empat sisinya, dipimpin oleh Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah.

Sebagaimana halnya Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, rancang arsitektural Masjid Raya al Mahsun, merupakan paduan desain arsitektural yang berasal dari budaya Arab, India, dan Spanyol. Berbentuk oktagonal atau bersegi delapan, dengan empat sisi, dengan luas keseluruhan bangunan 5.000 meter. Desain  arsitektural yang memadukan konsep budaya Arab, Asia, dan Eropa inilah yang membuat masjid ini nampak unik. Memadukan tiga dimensi nilai peradaban dalam satu tarikan nafas: artistik, estetik, dan etik. Sesuai dengan fungsi utama masjid, sebagai community and civilization center.

Sebagaimana umumnya masjid, masjid Raya Al Mahsun, mempunyai sahn atau ruang utama yang lapang, dengan jarak lantai ke atap yang sangat tinggi, sehingga memungkinkan terjadinya perputaran udara yang optimal. Sahn dikelilingi oleh lorong empat sisi, sebagai mugatha – ada juga yang menyebutnya suntuh – dengan ketinggian tertentu dengan lantai halaman, untuk menegaskan dimensi u’la. Posisi lantai lebih tinggi, yang secara simbolis sering dimaknakan sebagai muru’ah atau darajah. Pembeda kemuliaan insan yang bersujud dengan manusia pada umumnya.

Anasir artistik dan estetik masjid ini dikukuh-kuatkan dengan keberadaan kubah sebanyak lima buah, dengan kubah terbesar terletak persis di tengah, di atas sahn. Empat lainnya, berada pada empat sisi, yang boleh juga disebut sebagai sayap. Penanda dimensi ke-islam-an sebagai agama samawi, di setiap kubah diberi penanda bulan sabit sebagai ornamen penghias.

Masjid Raya al Mahsun ini, memang terbilang satu dari sedikit masjid di Indonesia, yang dikenal luas karena kuatnya perpaduan anasir artistik, estetik, dan etik-nya sebagai satu kesatuan desain arsitektural yang integral. Melambangkan kekayaan khazanah budaya dan keindahan, seperti dituliskan Van Ronkel dalam majalah Nion (1916-1934). Meski, pada dasarnya, tidak hanya sekadar menampakkan keindahan dan kekayaan kultural semata. Karena masjid ini juga memadukan dimensi filosofi islam tentang bait Allah, yang lebih menyeluruh.

Ratih Baiduri (1996), yang meneliti masjid ini menyebut, dari aspek budaya, masjid ini mengekspresikan komponen arsitektur Islam yang berasal dari Mesir, sejak jaman raja Mamluk sampai periode Ottoman dan Maghribi. Komponen itu diperkuat dan dilengkapi dengan anasir Andalusia, India (berbasis Mughal Architecture), Arab, dan desain arsitek Kolomal (Eropa).

Walaupun demikian, merujuk kepada keseluruhan reka bentuk masjid ini, terutama konsep pintu dan jendela, sangat wajar juga, bila ada yang menyebut masjid ini dipengaruhi oleh perkembangan arsitektural masa Abbasiyah. Masa diperkenalkannya konsep kesultanan dalam khilafah Islam. Berbeda hampir diametral dengan pola arsitektural Persia, yang lebih adaptif terhadap seni rupa dan seni bangunan. Termasuk ornamen di dalamnya.

Ragam hias yang memengaruhi pola desain ragam hias kaca patri pada jendela, misalnya, merangsang kita berpikir terhadap masuknya pengaruh Persia, walaupun dilihat dari posisi letak ruang masjid dengan Istana Maimoon, pengaruh dinasti Abbasiyah yang lebih menonjol. Pengaruh budaya yang menempatkan masjid sebagai bagian dari kesultanan yang cenderung menampakkan kemegahan dan keindahan. Termasuk sebagai simbol kemakmuran.

Apalagi, pada masanya, posisi letak Masjid Raya al Mashun ini berseberangan dengan tempat permandian Sultan dan kerabat Istana Kesultanan Deli. Bahkan dalam banyak hal mengekspresikan karakter Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah, yang terkenal sangat concern dalam memelihara dan membangun citra (image building) diri dan kesultanannya. Setara dengan Sultan Perak yang menjadi mitra karibnya.

Berpadan Budaya Manca

KESULTANAN  Deli yang pada abad ke 19 masih merupakan bagian dari Kesultanan Siak Sri Indrapura di bawah kekuasaan Sultan Ismail, setara dengan kesultanan Langkat dan Serdang. Kerajaan-kerajaan kecil, sebagaimana dicatat oleh John Anderson, pegawai Kerajaan Inggris di Penang, Malaysia. Karenanya, keberadaan Masjid Raya al Mashun tak bisa dilepaskan kaitannya dengan spirit untuk tumbuh dan berkembang sebagai kesultanan yang tumbuh dan berkembang.

Spirit itu memperoleh ruang, ketika tahun 1860-an atau paruh kedua abad ke 19, penguasa Belanda mulai membebaskan tanah untuk perkebunan tembakau, yang dipelopori oleh Jacob Nienhuys, Van der Falk, dan Elliot. Nienhuys sendiri, datang ke Medan karena ajakan Said Abdullah Bilfagih, saudagar tembakau berkebangsaan Arab yang sempat menjadi ‘raja tembakau’ di Surabaya. Bilfagih, kebetulan, merupakan saudara ipar Sultan Deli Makmun al Rasyid Perkasa Alam. Sultan Deli sendiri, terkenal sebagai saudagar tembakau di Tanjung Spassi. Tembakau berkualitas nomor wahid untuk cerutu, sesuai hasil uji mutu di Rotterdam. Tembakau Deli, kemudian terkenal sebagai tembakau kualitas prima di Eropa.

Masji Raya al Mashun, sebagaimana istana Maimoon – yang disebut juga sebagai buah tangan Sultan Perak saat melamar salah seorang Puteri Deli – akhirnya memang menjadi bagian sangat penting kedigjayaan Kesultanan Deli. Posisinya menjadi sedemikian strategis, sebagai bagian dari suar budaya kota, ketika 1 Maret 1887 kota Medan menjadi pusat pemerintahan Karesidenan Sumatera Timur, yang sebelumnya berada di Bengkalis.

Sebagai suar kota, Masjid al Mashun memang berpadan dengan pesona budaya manca. Inilah yang membedakan masjid raya ini dan istana Maimoon, dengan dominansi pola desain dan arsitektur tradisional lokal. Baik Melayu, Karo, Batak, maupun Tapanuli.

Ornamen masjid ini, yang masih tetap berpegang pada ragam hias floris dan tidak dalam bentuk kaligrafi, menandakan kuatnya pengaruh Dinasti Abbasiyah. Hal itu juga nampak pda ornamen yang terdapat di mihrab, mimbar khutbah, mimbar muadzin, dan tiang-tiang penyangga. Pola desain ragam hias floris semacam ini, pada mulanya sangat dominan di lingkungan masjid-masjid di Mesir, Andalusia, dan Turki. Meski kini, telah banyak berganti dengan kaligrafi, baik Kufi maupun Baghdadi. Termasuk pilihan-pilihan warna yang dipergunakan.

Ornamen dengan ragam hias floris itu nampak menonjol pada kaca patri yang dalam banyak sengaja didesain untuk memperoleh efek cahaya matahari. Tak jauh berbeda dengan sedemikian banyak masjid yang berada di lingkungan budaya Melayu. Baik melayu Riau maupun Malaysia. Termasuk Aceh. Kini, beberapa bagian dari ragam hias itu sudah luruh dimakan usia, dan agaknya belum ada pihak yang memberi perhatian, untuk merenovasi dan bahkan menghidupkan kembali kekuatan ornamen masjid raya ini. Padahal, mungkin, tinggal Masjid Raya ini saja yang masih mempertahankan pola desain ragam hias floris. | BANG SEM

Editor : sem haesy
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 706
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 865
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 817
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Polhukam
16 Apr 24, 09:08 WIB | Dilihat : 203
Cara Iran Menempeleng Israel
14 Apr 24, 21:23 WIB | Dilihat : 177
Serangan Balasan Iran Cemaskan Warga Israel
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 423
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
Selanjutnya