Sinden Republik Memotret Persoalan Bangsa

| dilihat 3697

JAKARTA, AKARPADINEWS.COM | Sinden memiliki haluan riwayat yang panjang dan berliku. Sosoknya tampil bak dua sisi mata uang. Dia kerap dipuja di atas gemerlap pentas, namun acapkali dihina dalam kehidupan sosialnya.

Lantunan suara sinden keluar dari kurungan ayam besar yang parkir di tepi pentas. Sejurus menerangnya lampu pentas, keluar tiga sinden, Sruti, Soimah, dan Rita Tilla. Sesaat kemudian, muncul Endah Laras dan pesinden asal Amerika Serikat, Megan Colleen. Mereka lalu menghadap, meminta petuah kepada seorang sinden senior, Nyi Sinden Sepuh, di istananya.

“Sekarang kalian sudah diwisuda. Kalian sudah keluar dari kungkungan. Nah, apa cita-cita kalian,” tanya Nyi Sinden Sepuh yang diperankan dalang edan Sujiwo Tejo kepada kelima sinden.

Kepada Nyi Sinden yang sudah renta, kelimanya melontarkan adagium-adagium citanya; tentang nasionalisme, menjunjung bangsa, membela tanah air, mengangkat budaya bangsa, dan cita-cita luhur nan ideal yang terdengar klise.

“Kalau begitu pergilah. Kejar cita-citamu. Jangan pernah mengeluh,” pesan Nyi Sinden. Mereka pun mentas, berkelana menemui cakrawala baru, dunia sinden lengkap dengan suka-duka, bertemu dua wajah sinden; dipuja saat pentas, dicemooh pada peri kehidupan sosialnya.

Kisah hidup para pesinden itu coba dihimpun sutradara Sujiwo Tejo pada pentas kedua Indonesia Kita di tahun 2015 dengan judul Sinden Republik. Sujiwo Tejo menegaskan lakon Sinden Republik tak hanya merefleksikan persoalan dunia sinden, tetapi juga merefleksikan bermacam persoalan saat ini. “Sinden adalah kunci untuk merefleksikan banyak persoalan berbangsa dan bernegara, itu yang sering dilupakan orang,” ujarnya.

Beragam persoalan yang selama ini tependam kemudian mulai terkuak oleh kedua pasang kakek-cucu, masing-masing diperankan, Butet Kertarajasa, Cak Lontong, dan Miing Bagito, Akbar, ketika mencari rajah yang tersemat di punggung sinden terpilih. Kedua pasang kakek cucu itu ditampilkan sebagai penonton setia sinden yang kerap sawer atau dikenal dengan istilah Bajidor “Barisan Jiwa Dorhaka”.

“Kunci persoalan ada pada rajah di punggung. Kenapa punggung sinden?” tanya Nyi Sinden. “Karena sinden tulang punggung perekonomian keluarga,” jawab Akbar. Aki Miing pun menambahkan,”Karena sinden vote getter dalam Pemilu yang membutuhkan goyangan sinden.” Nyi Sinden kemudian memerintahkan kepada mereka untuk mencari tahu.

Perjalanan kedua pasang kakek-cucu kemudian sampai ke sebuah tempat bernama kampung sinden, tempat hidup dan tumbuh kembang para pesinden. Di situlah peran kedua pasang kakek-cucu sebagai bajidor kontan tampak pada acara tayub, menari bersama sinden.

Rita Tilla menyinden bersama, berlenggok aduhai didampingi semarak bunyi kendang. Mereka saling berpasangan, bermuka-muka, hingga tiba pada acara Bukak Klambu. Masing-masing dari pasangan kakek cucu itu mendapat giliran masuk ke dalam sebuah bilik, klambu, persis adegan dalam cerita Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

Selesai acara Bukak Klambu, sebuah misteri terkuak. Kesamaan kalung yang dimiliki Cak Lontong, Sruti, dan Soimah, membuka tabir bahwa ketiga orang yang terpisah, bahkan Sruti dan Soimah yang senantiasa saing-menyangi dalam segala hal menyangkut profesinya sebagai pesinden, tak lain adalah saudara kandung. Ibu mereka adalah sinden kenamaan yang melegenda bernama Ngatijah, yang tak diketahui rimbanya.

Butet Kertaradjasa yang selama pertunjukan menjadi orang tuna rungu, yang cespleng berceloteh. “Selepas peristiwa politik pada tahun 1965, Ngatijah dibawa aparat bersama dengan para pemain Ketoprak, wayang orang, dan kesenian tradisi lainnya. “Mereka hilang. Kalau meninggal pun jasadnya tak ada,” ungkapnya. “Beranikah kita sebagai bangsa meminta maaf atas kejadian yang memilukan itu. Kepada korban seperti Ngatijah”. Butet semakin maju ke muka pentas. Merunduk, lalu berucap “Saya sebagai warga negara meminta maaf.”

Musik mengalun lirih, cerita berpindah ke istana Nyi Sinden. Nyi Sinden mempertanyakan tujuan kelima sinden itu berkumpul. Nyi Sinden mengungkapkan bila tak ada kesamaan penderitaan untuk kalian berkumpul. Kelima sinden pun terdiam. Nyi Sinden terus meradang, mengatakan bahwa kelimanya tak saling merasakan penderitaan sesamanya. “Jangan hanya jadi sinden yang hanya tahu permukaan. Jadilah pesinden yang mengetahui isi, esensi menjadi sinden,” tegas Nyi Sinden.

Tak berapa lama, dalam sebuah layar putih muncul pesinden senior Waldjinah. Pelantun tembang walang kekek itu tampil dalam sebuah video, menyampaikan nasihat kepada kelima pesinden dalam keadaan sakit. “Saya meminta agar kalian jadi pesinden yang baik. Teruskan perjuangan saya,” petuahnya. Ia kemudian melantunkan tembang andalannya Walang Kekek sembari menahan sakitnya. Lagu itu tak sampai selesai Kelima pesinden dengan isak tangis meneruskan tembang itu.

“Kuat nak. Kuat. Ayo teruskan lagu itu. Ayo,” pinta Nyi Sinden kepada kelimanya. “Kalian harus mengolah keluhan menjadi senandung”.

Dirga Adinata 

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 340
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 823
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1089
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1342
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1483
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya