Sepercik Ihwal Kelembagaan Kebudayaan

| dilihat 1374

Catatan Bang Sém

Perjalanan kebangsaan lima tahun ke depan (2019-2024) sangat menentukan bagaimana bangsa ini akan bergerak menjemput seabad kemerdekaannya.

Sejarah perkembangan bangsa ini menunjukkan, kita sedang akan mengakhiri fase ketiga pembangunan jangka panjang, yang masih belum keluar dari persoalan tak berujung mempraktikan demokrasi dari sudut pandang politik dan ekonomi, belum lagi memandang pembangunan sebagai gerakan kebudayaan.

Kita masih terlalu banyak membuang waktu, belajar memahami demokrasi melulu sebagai cara berebut kekuasaan, dan bukan bagaimana menempatkan demokrasi sebagai sarana kebudayaan sekaligus cara mewujudkan harmoni kebangsaan.

Karenanya, momen-momen demokrasi politik, seperti pemilihan umum, lebih banyak menimbulkan friksi dan konflik sosial, sekaligus transaksi kekuasaan yang tak berdampak langsung pada penambah-baikan kualitas. Pemilihan Umum belum menjadi ajang efektif dan efisien untuk beroleh pemimpin yang mampu menggerakkan transformasi nilai. Terutama karena pilihan-pilihan perubahan yang diambil lebih banyak merupakan model perubahan yang memerlukan waktu lama dan melelahkan.

Pada fase ketiga perubahan bangsa ini, para petinggi negeri menggerakkan rakyat untuk memilih perubahan reformatif dan lelah mengelolanya, sehingga dalam banyak hal, bahkan dalam konteks konstitusi dan hukum, berubah menjadi deformasi.

Lima tahun ke depan adalah awal transisi regeneratif dari era generasi baby boomers ke generasi millenial yang dari sudut pandang kebudayaan mempunyai perbedaan yang sangat kontras. Terutama karena perkembangan sains dan teknologi yang bergerak sangat cepat.

Hampir semua petinggi di negeri ini sibuk bicara tentang era revolusi industri 4.0, tanpa pernah mau mengkaji ulang tentang dimensi gerakan kebudayaan yang berada di dalamnya. Kita nyaris mengabaikan, bahwa revolusi industri 1.0 dari era agraris ke era industri, diawali oleh renaissainse (di Eropa), revolusi kebudayaan (di Tiongkok), restorasi Meiji (di Jepang).

Karenanya, ketika terjadi perubahan transformatif dari era industri ke era informasi (revolusi industri 2.0 dan 3.0) terjadi lompatan besar, kala sains dan teknologi mendorong perubahan cepat dari era informasi ke era konseptual di abad ke 21 kini. Di situ, perubahan budaya (termasuk nilai-nilai insaniah dan keadaban) menjadi ruh dalam keseluruhan konteks kebudayaan (Politik, sosial, ekonomi, pertahanan dan keamanan) serta beragam aspek yang menyertainya.

Demokrasi politik, sosial, dan ekonomi hanya bagian kecil saja dari budi dan daya, meliputi cita, karsa, cipta, dan karya yang bergerak bersamaan dengan bahasa, seni, tradisi, adat istiadat, resam, dan kriya.

Para perintis kemerdekaan bangsa ini, sejak berkembang pemikiran kebangsaan terbetik dan menjadi ruh pergerakan kemerdekaan, sudah menyadari dengan seksama esensi pembangunan manusia sebagai gerakan kebudayaan. Soempah Pemoeda 1928 adalah pencapaian gerakan kebudayaan yang sangat penting.

Esensi Soempah Pemoeda 1928 menjadi nafas panjang dalam proses formulasi ideologi Pancasila yang menghidupkan konstitusi Undang Undang Dasar 1945 yang terikat dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, unity and diversity, karena secara kultural, bangsa ini terlahir sebagai bangsa yang plural dan multikultural. Ironisnya, selama ini oleh setiap penyelenggara negara lebih kerap dijadikan sebagai bumbu retorika, katimbang sebagai pondasi utama penyelenggaraan negara.

Realitas pertama kehidupan masyarakat yang masih dibekap oleh ketimpangan sosial ekonomi dan rentannya integralitas kebangsaan, kian dalamnya jebakan fantasi bergelimang korupsi, dan masih jauhnya jarak fikir dan aksi nyata perubahan, serta banyak hal lainnya, menunjukkan kita belum hebat, belum maju, dan belum menang melawan persoalan laten seperti yang dialami di masa revolusi kemerdekaan. Pesan perjuangan, terutama, "mencerdaskan bangsa," belum lagi berbuah nyata.

Dalam konteks itu, kelembagaan kebudayaan dalam seluruh konteks penyelenggaraan negara ke depan menjadi penting. Kita sudah mempunyai modal strategis, yakni konstitusi UUD1945 -- yang saya pahami sebagai undang-undang kebudayaan yang sesungguhnya --, dan undang undang no.5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan - yang masih elementer, tapi memadai untuk melakukan perubahan nyata.

Modal yang sudah di tangan itu, menjadi penting, tak hanya untuk merumuskan Strategi Kebudayaan yang sesungguhnya, melainkan juga untuk menjawab persoalan di pelupuk mata: kontradiksi yang terwarisi dari masa lalu. Khasnya, meningkatnya populasi kaum terdidik yang cenderung menambah jumlah 'pekerja berpengetahuan,' menghidupkan intelektualisme, namun belum meningkatkan intelektualitas.

Dari sudut pandang ini, saya memandang kelembagaan kebudayaan dalam struktur penyelenggaraan negara mesti diwujudkan lebih nyata. Bung Karno telah memusatkan perhatian pada 'pendidikan dan pengajaran,' sesuai dengan keperluan bangsa di masanya; Soeharto menguatkan dengan terminologi kelembagaan 'pendidikan dan kebudayaan,' di era reformasi (Gus Dur sampai Susilo Bambang Yudhoyono) terjadi perubahan dengan orientasi pragmatis dengan terminologi 'pariwisata dan kebudayaan,' dan kemudian Jokowi kembali ke 'pendidikan dan kebudayaan.'

Lima tahun ke depan, semestinya kelembagaan kebudayaan menjadi lebih fokus dan jernih, dengan melakukan perubahan undang undang no 39/2008 tentang kementerian negara, dengan menempatkan Kementerian Kebudayaan yang secara khas mengurusi persoalan kebudayaan.

Kelembagaan kebudayaan ini penting, untuk mengubah minda bangsa dalam menempatkan manusia sebagai modal (investment) insan, tak semata-mata sebagai sumberdaya (resources) dan memberikan pelayanan tentang refleksi, inisiatif, kreativitas, inovasi, dan kecerdasan budaya. Terutama karena bangsa ini, selain mempunyai kearifan budaya, juga mempunyai kecerdasan budaya.

Pemusatan perhatian pada kebudayaan (terutama sistem dan sub sistem nilai) merupakan pilihan strategis untuk menguatkan peran manusia Indonesia dalam keseluruhan konteks kehidupannya, sebagai integrator untuk menjawab kompleksitas persoalan. Konsep asasinya adalah pembenahan minda (cara berfikir) dan perilaku, menggerakkan reorientasi pembangunan dengan demokrasi yang menumbuhkan gerakan kolektif cara penyelesaian masalah secara lebih efektif, efisien, kritis, dan beradab.

Kelembagaan kebudayaan juga penting untuk menempatkan manusia sebagai subyek dalam keseluruhan konteks pembangunan, mengharmonisasi pengembangan infrastruktur politik dan ekonomi dengan suprastrukturnya sekaligus. Terutama sistem nilai dalam keseluruhan proses pemajuan bangsa. Kata kuncinya adalah reorientasi pembangunan dilandasi oleh perubahan cara berfikir, bersikap, dan bertindak. | (Sentul, 24/3/19)

Editor : Web Administrator
 
Energi & Tambang
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 238
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 461
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 452
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 422
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya