Sang Penyelamat La Galigo

| dilihat 3423

AKARPADINEWS.COM | SETIAP tanggal 21 April, gaung peringatan hari Kartini terdengar di seluruh pelosok negeri ini. Perempuan bernama lengkap Raden Adjeng Kartini, yang lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 itu dikenal sebagai pahlawan yang menggelorakan semangat emansipasi perempuan Indonesia agar terbebas dari kebodohan.

Di negara ini, banyak sosok perempuan yang layak disandingkan dengan nama besar Kartini. Para perempuan tangguh itu tidak hanya mencurahkan energi dan pikiran untuk kepentingan rakyatnya. Namun, mereka rela diasingkan hingga akhir hayatnya lantaran melawan pemerintah kolonial Belanda.

Di Aceh, ada sederet nama pemimpin perempuan yang mewakafkan hidupnya untuk rakyat. Mereka antara lain Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, dan Cut Meutia. Maluku memiliki Maria Kristina Tiahahu, Minangkabau punya Siti Manggopoh dan Jawa Barat memiliki Dewi Sartika, selain Inggit Ganarsih yang berjuang menemani Soekarno hingga mencapai tahta kepresidenan.

Di Tanah Bugis, Sulawesi Selatan, salah satu sosok hebat yang tidak bergelar pahlawan adalah sastrawan dan pejuang rakyat bernama Arung Pancana Toa Ratna Kencana Colliq Poedjie dan puterinya, Siti Aisyah We Tenri Olle dari Tanette. Tanpa sosok ibu dan anak yang memimpin kerajaan Tanette tersebut, Epos La Galigo tidak akan mendunia.

Bila JH Abendanon, sahabat Kartini mengumpulkan dan menerbitkan surat-surat Kartini pada tahun 1911 dan oleh Abendanon diberi judul: Habis Gelap Terbitlah Terang, maka Colliq Poedjie bersama Aisyah menghabiskan waktu 20 tahun untuk mengumpulkan dan menerjemahkan La Galigo. 

Colliq Poedjie merupakan bangsawan, cucu dari Raja La Rumpang Megga Matinro Eri Moetiara dari kerajaan Tanete, kerajaan Islam di Bugis. Dia menikah dengan La Tunampareq alias To Apatorang dan dikarunai tiga anak, salah satunya We Tenri Olle. Semenjak kecil, bersama sang ibu, We Tenri Olle telah dilatih menyelami sastra-sastra kuno Bugis, terutama La Galigo.

Kecerdasan We Tenri Olle tidak hanya di bidang sastra, namun juga di pendidikan dan pemerintahan sehingga ia dipercaya menduduki tahta Ratu kerajaan Tanete selama 55 tahun (1855-1910). Di bawah kepemimpinan We Tenri Olle, didirikan sekolah-sekolah di Tanete di tahun 1890-an agar seluruh rakyatnya melek huruf, tidak terkecuali perempuan. Disinilah terlihat bahwa suku Bugis mengedepankan kesetaraan gender. Kemampuan dan kecerdasan menjadi yang utama, bukan mengutamakan dominasi lelaki karena tradisi patriarkis.

Colliq Pujie dibantu We Tenri Olle mengumpulkan dan menulis ulang sureq La Galigo sebagai cerita rakyat sakral masyarakat Bugis dalam 12 jilid yang memuat hingga 300.000 larik sajak dalam bahasa Bugis, meskipun diperkirakan baru sepertiga dari naskah keseluruhan yang berhasil diselamatkan. Penerjemahannya bukan pekerjaan muda karena setiap larik sajak ditulis dalam huruf lontara kuno Bugis dengan cerita berangkai.

Perjuangan Ibu dan anak selama 20 tahun ini tidak sia-sia. I La Galigo yang tidak sembarang orang mampu membaca dan memahaminya menjadi epos terbesar melebihi epos India Mahabharata Ramayana. Kehebatan La Galigo serupa dengan epic Kirgizstan Manas berusia 1.000 tahun. Epos La Galigo yang berkisah tentang asal penciptaan dunia terutama sosok Sawerigading pahlawan yang gagah berani dan perantau.

La Galigo merupakan warisan tinta emas dari nenek moyang Bugis yang diselamatkan oleh Colliq Pujie dan puterinya.  Colliq Pujie juga menghasilkan karya lain yang masih bisa dibaca hingga kini, di antaranya Lontarakna Tanete, Syair Sarea Baweng, Sureq Panrita Sulessanae dan menyalin ulang La Toa, naskah kuno berisi petuah bijaksana raja Bone dalam pemerintahan. Selain itu, ia menciptakan aksara bilang-bilang yang terinspirasi dari huruf Lontara dan huruf Arab.

Tidak hanya sebagai pemikir abad ke-19, namun ia dikenal sebagai aktor pejuang yang melawan Belanda. Kemampuan dan kharismanya mampu mempengaruhi pengikutnya untuk melakukan perlawanan terutama pemberontakan rakyat Tanete tahun 1855.

Akibatnya, Colliq Pujie diasingkan selama 10 tahun di Lamuru Makassar sebagai tahanan politik Belanda. Selama di tahanan, Colliq tetap menulis karya sastra Bugis dan membantu  Benjamin Frederick Mathes, penerjemah Belanda yang memperkenalkan La Galigo ke seluruh dunia di tahun 1852.

Sayangnya, perjuangan sastrawan dan pemimpin perempuan dari tanah Bugis yang mendunia ini berakhir tragis. Tidak diketahui tanggal tepat kelahiran dan kematiannya. Begitupun dengan puterinya We Tenri Olle dan tidak ada gelar pahlawan tersemat di namanya.  Perjuangan dan penderitaan Colliq Pujie yang luar biasa salah satunya tersirat dalam salah satu bait pantunnya yang dapat menjadi refleksi. Ininnawakku muwita, Mau natuddu’ solo’, Mola linrung muwa. (Lihatlah keadaan batinku. Walaupun dihempas arus deras kesusahan, namun aku masih tetap mampu berdiri tegar).

Ratu Selvi Agnesia 

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Energi & Tambang
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 743
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 899
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 855
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya