Teater-Puisi Urat Jagat

Realitas Paradoks dalam Balutan Seni

| dilihat 2003

AKARPADINEWS.COM| Puisi kian bergerak, tidak hanya menjadi sekadar tontonan dan milik sang penyair. Namun, puisi menangkap realitas kehidupan manusia yang urban atas nama modernitas yang mempreteli dinding-dinding kemanusiaan.

Puisi menangkap manusia yang teragresi menjadi objek kekuasaan zaman yang memainkan tema-tema hedonisme, kehancuran moral, perang, kematian diri dan keserakahan pada alam. Di sinilah puisi berperan penting merespon realitas manusia dan zaman.  

Teks-Teks puisi berbahasa Sunda dan Inggris karya Godi Suwarna dalam gelaran Poetry Performing Arts “Urat Jagat/Veins Of The Universe” menyiratkan kritik pada tabiat manusia yang menjadi budak zaman dan kehancuran alam. Didapuk Sutradara Sandra Fiona Long, Urat Jagat dipentaskan empat kota 14-24 Februari 2015 di (Selasar Sunaryo & BPU UPI Bandung, Bentara Budaya Jakarta, Rumah Dunia Serang dan Bentara Budaya Bali) di mana terlihat berbagai perubahan detail elemen seni ketika Akar Padi menonton setiap kota. 

Urat Jagad dimainkan dalam kemasan kolaborasi seniman lintas negara dan budaya oleh Mainteater Bandung dan Mainteater Australia. Para pemain: Godi Suwarna, Sandra Fiona Long, Jodee Mundy, Mal Weeb Wawan Sofwan, Heliana Sinaga dan Sahlan Bahuy  menyuguhkan ke-13 puisi secara teatrikal dalam ekspresi lokal dan global. Tata artistik bambu, multimedia dan detail-detail bunyi dari Mal Weeb yang dinamis menjadi elemen daya pukau panggung.

Unggal énjing, Ujang sarapan érloji tina roti nu katingal sapertos lémpéngan beusi. Dina patuangan Ujang, seueur pisan érloji nu ngawartosan, iraha sapatu Ujang kedah lumpat ka sakola, iraha panangan Ujang kedah ngétang jumlah kancing dina acuk, iraha mastaka Ujang kedah janten taar Papap, kedah janten damis Mamah, kedah janten waos Aa, kedah janten ilat Tétéh. “

Penggalan “Sajak Si Ujang Lebet Sakola” dibawakan dengan gaya puisi naratif oleh Heliana Sinaga yang mengkritik pada persoalan pendidikan dalam konteks domestik (keluarga) dan institusi sekolah. Diwakili oleh imajinasi anak kecil yang polos, Ujang selalu merasa diintimidasi oleh waktu (arloji) dalam setiap aktivitasnya. Ujang harus patuh pada ibu, kakak dan peraturan sekolah. Manusia memasuki dunia pendidikan untuk dibentuk menjadi pengikut (follower).

Kepekaan nurani Godi menyoal perang, tersaji pada sajak “Libanon”. “Sabaraha jumlah mayit poe ieu..?” Angin nanya kana pucuk-pucuk palma nu nyaksian perang ti detik ka detik”. Suara-suara mulut aktor menyerupai bom, angin, dan bisikan mengiaskan bila perang tidak pernah punya mata. Perang memakan korban dari detik ke detik dan tak pernah ada kedamaian yang disisakan perang.

Penyair Sunda peraih penghargaan Rancage selama tiga kali berturut-turut ini juga ahli memainkan kata dengan satir yang merujuk pada fenomena besar. Seperti dalam sajak “Studio Armageddon” yang dibawakan Sahlan Bahuy dengan pembacaan puisi nge-rap dalam suasana diskotik dan gemerlap lampu.

Kata Armageddon yang bermakna peristiwa besar di akhir zaman (kiamat), seolah menjadi dampak dari kehancuran moral manusia. Serupa dengan “Sajak Melayu” yang dibawakan Wawan Sofwan diselingi lagu “Mabuk Lagi” Cucu Cahyati. Manusia yang dimabukan alkohol dan seks, akhirnya hanya menjadi segelintir mayat hidup yang bergoyang sepanjang malam.

Kembali Ke Sunyi

Awal dan akhir puisi di Urat Jagat adalah kesunyian di balik dunia yang semakin berubah. Sunyi bagi manusia adalah lahir dan mati. Sunyi adalah permenungan jiwa dan puisi adalah tempat bertandang sunyi.

Ketika awal layar panggung di buka menyiratkan multimedia menyerupai cahaya semesta, di balik layar, Godi melantunkan teks “Jagat Alit” diceritakan manusia seolah menyerupai bayangan/wayang. Tuhan sebagai dalang yang berkuasa dengan keberadaan wayang (manusia) di dongeng dunia ini.

Puisi “Simpening Simpe” (Sepinya Sepi) serupa mengisahkan hidup manusia hingga ajal menjemput. Pada awal dan akhir puisi di Urat Jagat menjadi sebuah titik kontemplasi bagi pemain dan penonton dalam pementasan ini. Sebenarnya, Urat Jagat adalah hasil proses hampir dua minggu dalam bentuk workshop bersama untuk mengeksplorasi teks, gerak, bunyi dan elemen seni lainnya. Ketika Akar Padi berkunjung melihat latihan, “Sunyi kembali ke sunyi” juga merupakan salah satu materi eksplorasi khususnya dalam gerak dan emosi.

Dengan waktu yang cukup singkat tidak sepenuhnya pertunjukan ini menampilkan yang terbaik. Salah satunya, mengamati gerak tubuh para aktor dari Australia lebih pada “Tubuh yang Berpikir” sedangkan para pemain dari Bandung bertumpu pada naluri ketika bergerak.

Selain itu, teks-teks multi bahasa tidak sepenuhnya dipahami dan menghasilkan missing link di imajinasi penonton. Namun, kolaborasi ini akhirnya bertumpu pada puisi dan kesunyian untuk memaknai tentang dunia dan alam yang terus berubah, yang selanjutnya menjadi renungan bagaimana manusia menjalani dan menghayatinya.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Humaniora
02 Apr 24, 22:26 WIB | Dilihat : 534
Iktikaf
31 Mar 24, 20:45 WIB | Dilihat : 1058
Peluang Memperoleh Kemaafan dan Ampunan Allah
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 286
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 752
Momentum Cinta
Selanjutnya
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 951
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1175
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1440
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1586
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya