( PUKUL DUA BELAS, Soesi Sastro - Buku Kumpulan Puisi, Cetakan Pertama - November 2015, Diterbitkan oleh Kosa Kata Kita - Jakarta | Supervisi Penerbitan: Kurniawan Junaedi, Pengantar Sapardi Djoko Damono )
BILA puisi hendak dipahami sebagai ‘lukisan aksara’ – Buku Kumpulan Puisi Bertajuk “Pukul Dua Belas,” menunjukkan penyair Soesi Sastro, berhasil ‘melukis dengan aksara.’
Soesi berhasil mengubah impresi tentang realitas pertama kehidupan, menjadi ekspresi yang menjelma menjadi ‘lukisan aksara,’ yang menggambarkan realitas kedua kehidupan itu.
Dengan formula sederhana, Soesi mengajak kita menikmati puisinya sebagai ‘lukisan aksara’ yang mampu mempertemukan dimensi empiris menjadi renungan batin tentang sesuatu yang berada di luar empirisma kita. Mengubah sesuatu yang biasa-biasa saja dalam empirisma kita sebagai manusia, menjadi sesuatu yang bermakna.
Beberapa puisi berikut tampak sebagai lukisan sketsa yang getir:
pagi ini juru parkir tak bersuara
mulutnya membuka seperti lubang celengan
menelan uang-uang logam
tangannya bergerak ke atas ke bawah
tubuhnya kaku
dagingnya besi
(Juru Parkir)
tukang batik khawatir lilin malam tak lagi terbeli
harganya terbang tinggi
“pohon pinus di hutan tak lagi bergetah tapi berdarah,
tubuhnya dihisap lintah,” begitu katanya
(Tukang Batik)
Lukisan itu terasa getir, ketika disandingkan dengan lukisan sketsa buram dari puisi naratif yang menohok seperti ini :
jangan menangis isteriku
memeras pengusaha itu biasa
mempersulit perizinan usaha itu wajar
menerima uang panjar perkara itu juga biasa
amplop-amplop datang ke ruangan menyerahkan diri
gulungan koran gendut berisi tergeletak di atas meja-meja
anak buah cukup senang bolu gulung isi, gurih katanya
…..
jangan menangis isteriku ini rahasia kita berdua
sumpah jabatan itu hanya deretan kata yang wajib dibaca
lupakan saja
(Pesan Suami di Rumah Sakit kepada Istrinya)
Lukisan sketsa itu juga kita dapati pada puisinya yang lain :
maka jadilah koruptor bila ingin kaya sekaya-kayanya
makan plastik, dinamit, granit, kredit
tidur bersama kecoa, lipan, laba-laba
hati berkoreng, bernanah
mikir di luar kepala
menulis daftar sajian pemerasan
maka jadilah apa saja ketika neraka dan surga
masih di tangan Tuhan
(Surga dan Neraka di Tangan Tuhan)
pintu nadir telah membuka bicara
tentang langit kita yang meninggi berbisik mesra
bagi laut maha luas lantang menerjang gelombang bumi
dindingnya bening memantulkan wajah ambisi manusia
menjilat getah menguliti masa amarah
tanganmu meremas sekat kacanya
relung pagi bumi luka robek
(Sang Ruang)
Lukisan sejenis dengan obyek lain, kita dapati dalam puisi : Ibu Gagah, tamasya tamak, Sahabat dan Pemilu, Aku Mati Bagi Waktu, dan beberapa puisi lainnya.
Soesi juga melukis rindu, bagai melukis dengan akrilik. Ia mempertemukan rindu dan pilu aneka warna, ke dalam kanvas lukisan naluri dan rasa. Simaklah puisi-puisinya: Matahari di Laut Merah, Kiriman Pertanda, Rindu di Jalanmu, Kambium tak di Tempat, Takdir di Matamu, Mahagony in Blue, Lelaki Pencari Suaka, Ketika Jarak tak Berjarak, Menepi, Rindu Akut, Kelopak Malam, Itulah Rindu, dan Tidak Terlambat.
Soesi menafikan metafora untuk mengekspresikan rindu yang multi makna. Ia membiarkan persepsinya tentang rindu, hadir di dalam kanvas fantasi yang mudah dikenali, mudah dirasa, dan mudah direnung oleh siapa saja. Melalui puisi-puisinya, itu Soesi menggunakan kata sederhana yang padat makna.
matahari memeluk Laut Merah
bebatuan di bibirmu tak meragu
mengucap rindu pada takdir-Mu
(Matahari di Laut Merah)
ada rindu di antara jalan-jalanmu
ada sesal di tepinya
ada cinta yang tertunda
(Kiriman Pertanda)
jalan tak berpeluh lagi
angin menari berbalut siang
ketika matahari tersenyum
di jalanmu rindu membentang
(Rindu di Jalanmu)
keringat kota terus mengucur
angin cinta tak mampu mengusap
gugur daun kuning menyerapah di halaman
jemari pohon rela melepasnya
rindu tak rekat
kambium tak di tempat
(Kambium Tak di Tempat)
rinduku pada rindang pohonmu
seperti merah saga tak sempurna
(Takdir di Matamu)
wangi dupa asapnya membiru
wajah rindumu melintas ragu
(Mahogany in Blue)
ketika tawa mengajak bibirmu terbuka
ada rindu yang tertunda
(Lelaki Pencari Suaka)
bukankah jauh jarak di kasat mata hanya ilusi pandang
kegelisahan tubuh dimana kesejatian tak pernah
mengenal jarak dalam jiwa
ketika kita memiliki cinta sederhana.
dan rindu kita adalah semangat
(Ketika Jarak Tak Berjarak)
rindumu tetap kudekap
rinduku padamu bagai tinta cina di mana bisa
kutuangkan garis garis mawar,
tulisan cinta dan namaku
(Menepi)
rindu tingkat akut adalah ketika dua matamu sepanjang
jalan hanya tampak wajahku meskipun halilintar, badai,
hujan deras atau tukang asongan lalu lalang di situ
(Rindu Akut)
merinduimu adalah tetes embun di ujung daun, indah
diterpa angin pagi di mana matahari akan melumat
tabirnya
(Kelopak Malam)
itulah rindu
rindu membelai ujung akar
(Itulah Rindu)
pagi itu aku bangun dari mimpi pagi
aku ada di dalam nadimu
mencari pintu keluar
aku rindu cahaya
(Tidak Terlambat)
Dari bagian lain buku kumpulan puisi ini, ketika kita mengeja hakekat puisi sebagai medium yang mempertemukan dimensi artistika, estetika, dan etika, termasuk dimensi spiritual di dalamnya, Soesi juga menyajikan lukisan abstrak ekspresi batinnya. Namun tetap dalam bingkai simpel. Bahkan, ketika dia ingin menghadirkan ekspresi akalbudi perempuan dengan pesona persona yang ketus. Soesi menghadirkan abstraksi dengan tetap berpijak pada realitas empiris. Dia tidak lari dari eksistensinya sebagai bagian dari kehidupan bumi, meski matahari dan rembulan, pinus dan kambium atau aneka flora lain bisa datang dan pergi, membawa sukacita sambil meninggalkan lara.
Simaklah puisi ini :
kalimat yang lepas dari bibirmu ingin pulang
ketika bertemu waktu
engkau telah miliki surga katamu
ada surga lain di atas surga
(Mencari Surga yang Lain)
vihara itu menghangat asap hio
kian akrab di wajah malam
jarinya tak mampu menuai air mata
indah merah lilin kusiram tinta hitam
pelan kutinggalkan pintu nirwanamu aku pamit
(Merah Lilin Vihara)
Sejumlah puisi di dalam buku ini, mengingatkan saya kepada sejumlah sosok pemikir idola, para penyair yang menuliskan puisinya sebagai doá. Saya teringat Rabi’ah dari Basrah, ketika menikmati puisi yang ini :
waktu berhentilah untukku
tanpa hentikan nafas-nafas yang berserak di bumi
wahai engkau yang dipuja pujangga
ingin kutukar air mata ini dengan indah tatapmu
(Menukar Air Mata)
Seketika juga teringat Imam Al Ghazali, kala membaca puisi ini :
ramaimu adalah sepi, sepimu adalah rindu
tak sejenakpun mampu kau tutup tirai
bianglala warna di angkasa
hatimu selalu mencari rasa merdeka di mana-mana
pernah ada di kotak obat
bahkan di tumpukan kaset-kaset tua
akhirnya sepimu menyangkut pada seutas tali matamu
tak pandai berdusta nadimu tak berdenyut,
kau mati di muara cinta
(Ramainya Sepi)
Victor Hugo segera terbayang, dan remang Notre Dame selepas subuh -- dilihat dari jembatan atas Sungai Seine -- segera melintas, ketika menikmati puisi yang ini :
dua doa merayap di tubuh lilin-lilinmu
meleleh-leleh hangat bertumpuk di bibir cawan
dentang mengaduk malam
melipat rembulan dan matahari dalam rindu rasa nyamanmu di depan pintu pagi
musim menanti lonceng
kehangatan masih ada sisa gairah
ketika kulewati Notre Dame
(Lonceng Pagi di Notre Dame)
Pada puisinya bertajuk Pukul Dua Belas, yang menjadi judul buku kumpulan puisi ini, sesaat saya terantuk dan tersedar tentang waktu yang tak pernah bisa didaur ulang. Mengingatkan kita tentang hakekat manusia yang mudah bermain-main dengan waktu.
Mari simak :
jarum panjang mengendus jarum pendek
jarum panjang mencium jarum pendek
jarum panjang melumat jarum pendek
jarum panjang menyetubuhi jarum pendek
jarum panjang meninggalkan jarum pendek
pergi kembali mengendus-endus
mencium melumat menyetubuhi
meninggalkan putaran yang tidak punya hati
jarum panjang pergi melenggang-lenggang
bergerak tegap seperti langkah tentara
kadangkala mulus seperti roda tanpa rem
bahkan melata seperti ular berbisa
mata mengintip menanti penuh degup
suara dentang ketika adzan tiba
makan siang datang
rehat terbuka
tidur lelap
memasang perangkap
menabur kembang dan berbicara dengan Tuhan
Kesemua puisi itu bersinggungan dengan puisinya yang lain: Matahari tak Kau Bawa Pergi, Matahari tak Berkaki, Malam Kehabisan Kata, Awan Pagi ini Berbeda, Rasa Bersalah, Pukul Duabelas Malam, Takdir di Matamu, Menanti Ujung Usia dan lain-lain.
Dalam buku kumpulan puisi ini saya juga menemukan lukisan realis tentang perempuan, seperti yang terekspresikan melalui puisi-puisi : Senyum Perempuan dan Gairah Jiwa, dan Bumi adalah Ibu. Saya juga menjumpai lukisan tentang alam di begitu banyak puisinya dalam buku kumpulan puisi ini.
Soesi nampaknya memang karib dengan alam dan lingkungan sekitar. Matahari, rembulan, awan, bumi, tanah, pinus, embun dan lainnya menjadi sesuatu yang karib dengannya. Begitu banyak puisi di dalam buku puisi ini, berhubungan dengan itu semua. Yang menarik adalah, Soesi terbilang penyair yang membebaskan dirinya dari sejumlah kosakata yang sering dihindari oleh perempuan. Misalnya: nanah !
Karena seluruh puisi di dalam buku kumpulan puisi ini, merupakan puisi kamar, buku ini, layak menjadi souvenir.. |
N. Syamsuddin Ch. Haesy