Puasa, Antara Ritual Kebudayaan dan Kesalehan

| dilihat 1989

AKARPADINEWS.COM | SEBULAN lamanya umat muslim melaksanakan puasa di bulan suci Ramadhan. Secara harfiah puasa adalah menahan lapar dan dahaga mulai dari fajar sampai matahari terbenam.

Namun bila ditelisik lebih dalam, terutama dalam prespektif Antropologi Agama, puasa merupakan sebuah proses ritual kebudayaan dan kesalehan kolektif untuk melahirkan manusia baru yang lebih religis dan empati kebersamaan.

Sebenarnya, tidak hanya muslim, namun hampir seluruh agama mengenal dan melaksanakan puasa dalam aktivitas ritual. Secara estimologi, kata puasa yang sering diucapkan sebenarnya berasal dari bahasa Sansekerta. Berasal dari dua kata yaitu upa yang berarti dekat dan wasa yang berarti Yang Kuasa. Makna kata puasa tersebut adalah dekat kepada Tuhan yang kuasa.

Jadi upawasa yang kemudian diserap dan dilafalkan menjadi kata “puasa” di dalam Bahasa Indonesia dipahami sebagai perbuatan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam Islam, kata saum atau siyam berarti puasa, atau berpantang makan dan minum dan melakukan hubungan seksual mulai waktu fajar hingga matahari terbenam.

Secara ritual kebudayaan, negeri kita mengenal berbagai tradisi ritual menjelang puasa yang tidak ada di negara lain, termasuk di Makkah dan Madinah. Pertama, di mulai dengan mengucapkan berbagai ucapan, “Selamat menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan” di berbagai media, dari mulai spanduk, media cetak, televisi hingga melalui telepon genggam.

Kedua, di masyarakat Indonesia terdapat tradisi membersihkan diri dan tradisi nyekar atau berziarah ke makam orang tua atau leluhur. Terdapat pula tradisi kumpul bersama dengan keluarga, terutama pada puasa hari pertama seperti munggahan, bancakan dan slametan di Suku Sunda dan Jawa.

Berbagai akulturasi ini diterima, diakui dan dilaksanakan oleh masyarakat muslim Indonesia.   Proses ritual kebudayaan ini merupakan bentuk dari akulturasi budaya dengan kebudayaan dan tradisi lokal yang terdapat di Indonesia. Selanjutnya, kita mengenal istilah Imsak sebagai batas makan sahur.

Dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad SAW mengajarkan batas makan sahur adalah waktu fajar (saat adzan subuh/fajar). Tidak dikenal istilah Imsak. Dalam Al-Quran, Allah SWT juga berfirman, “Dan, makan dan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam yaitu Fajar” (QS Al Baqarah 2: 187).

Di sisi lain, puasa sebagai ritual kesolehan kolektif tiada lain merupakan sebuah peristiwa untuk menjadikan kita sebagai manusia baru. Puasa merupakan ajaran untuk menahan hawa nafsu dengan ganjaran pahala yang tidak hanya sekedar menahan lapar dan dahaga, namun juga tidak melakukan nafsu lain dalam ucapan seperti membicarakan keburukan orang lain, tidak berbohong dan berbagai larangan lain. Tujuannya adalah membentuk manusia yang memiliki kematangan spiritual dan kesucian hati secara vertikal pada Tuhan dan secara horizontal pada sesama.

Dalam Antropologi Agama dan Sosial, puasa merupakan proses periode peralihan. Mengacu pada “teori liminalitas” Victor Turner, puasa dimaknai sebagai waktunya mengalami sebuah peralihan dan transisi bagi manusia. Dalam liminalitas, ritual tersebut memberikan sebuah kesempatan pada seseorang untuk merasakan pengalaman dasar sebagai manusia dan kepada subjek ritual.

Turner dalam The Ritual Process menjelaskan tiga tahap ritual yang dapat dihubungkan dengan makna puasa yaitu: Separasi, liminal dan reintegration. Pada Separasi, subjek ritual beralih dari alam profan ke dunia sakral. Lalu pada liminal, adalah sebuah fase ketika subjek mengalami keadaan yang berbeda dengan dunia fenomenal/realitas keseharian, seperti menahan lapar, haus dan nafsu di sinilah terdapat proses anti-struktur—berbeda dengan struktur yang kita lakukan sehari-hari.

Terakhir, pada tahap reintegration adalah merayakan kemenangan, di mana subjek mengalami penyadaran diri dan refleksi hingga merayakannya pada hari Idul Fitri. Subjek yang telah berhasil melaksanakan ritual kesalehan yang diberlakukan secara kolektif ini telah mendapat nilai-nilai baru dan seolah terlahir menjadi manusia baru.

Pada akhirnya, puasa sebagai salah satu ritual peralihan dengan tujuan untuk merefleksikan ajaran suci, merujuk pada dimensi horizontal (sesama manusia) seperti merasakan lapar yang miskin dan dimensi vertikal (pada Tuhannya) yakni mendekatkan diri dan bersyukur pada apa yang telah dianugerahkan sang pencipta.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Energi & Tambang
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1185
Rumput Tetangga
Selanjutnya